Lalu bagaimana pengertian kota berdasarkan bidang keilmuan masing-masing. Kota adalah permukiman yang permanen relatif luas, penduduknya padat serta heterogen, dan memiliki organisasi-organisasi politik, ekonomi, agama, dan budaya (Sirjamaki, 1964). Ditegaskan pula oleh Hamblin (1975), kota adalah tempat yang dihuni secara permanen oleh suatu kelompok yang lebih besar dari suatu klen. Di kota terjadi suatu pembagian kerja, yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok sosial dengan diferensiasi fungsi, hak, dan tanggung jawab Dengan pengertian ini, Jones (1966) menegaskan bahwa kota tercakup unsur keluasan wilayah, kepadatan penduduk yang bersifat heterogen dan bermata pencaharian non pertanian, serta fungsi administratif-ekonomi-budaya Sebaliknya, kota bagi orang Islam pada dasarnya adalah, permukiman tempat seseorang dapat memenuhi kewajiban-kewajiban agama dan sosialnya secara keseluruhan (Grunebaum, 1955:142-144). kota dalam bahasa Arab‘madina’berarti suatu kota suatu permukiman luas tempat terjadi konsentrasi fungsi-fungsi keagamaan, politik, ekonomi, dan fungsi-fungsi lainnya. Suatu ‘madina’ pada prinsipnya adalah suatu ibukota administratif, selalu merupakan ibukota suatu nahiyyah atau rustaaq distrik(IM. Lapidus, 1969:69-73). Dari sudut ekonomi kota adalah suatu permukiman di mana penduduknya lebih mengutamakan kehidupan perdagangan dan komersial dari pada pertanian. Karena itu Max Weber (1966:66) memberikan pengertian kota ialah ‘tempat pasar’ , sebuah ‘permukiman pasar’(market settlement).Kotaialah sebuah permukiman permanen dengan individu-individu yang heterogen, jumlahnya relatif luas dan padat menempati areal tanah yang terbatas berbeda halnya dengan apa yang disebutkan desa-desa, kampung-kampung dan tempat-tempat permukiman lainnya (Louis Wirth). Namun MAJ Beg (1965:32) menekankan sebagai permukiman dengan aspek kependudukan yang padat, heterogen termasuk tentunya kelompok yang telah mengenal tulisan yang biasanya berada dalam masyarakat non-agraris. Pada bagian lain, Peter J.M Nas (1986:14) menegaskan, bahwa kota itu adalah: - suatu lingkungan material buatan manusia;suatu pusat produksi; suatu komunitas sosial; - suatu komunitas budaya; dan suatu masyarakat terkontrol. Sedangkan Paul Wheatley (1985:1), memberikan penjelasan sebagai berikut: - suatu arena tempat untuk masyarakat yang saling berperan antara kedua keinginan baik yang kreatif maupun yang destruktif dalam disposisi dan ruang; - untuk peningkatan lokal suatu yang karakteristik bagi gaya kehidupan, produksi dan pemikiran; - suatu pusat yang berfungsi untuk kontrol sosial, suatu penciptaan ruang yang efektif. Akhirnya Horace Miner (1967:5-10) mengatakan, bahwa kota sebagai pusat dari kekuasaan.
Pada kesempatan lain John Sirjamaki (1964), menambahkan bahwa yang disebut kota adalah pusat komersial dan industri, merupakan kependudukan-kependudukan dengan tingkat pemerintah sendiri yang diatur oleh pemerintah kota. Kota-kota itu juga merupakan pusat-pusat untuk belajar serta kemajuan kebudayaan. Kemudian Gordon Childe (1952), memberikan tambahan bagi pengertian kota dalam ukuran, heterogennya, pekerjaan umum, dan lainnya, yaitu masalah pengetahuan pertulisan yang merupakan esensi bagi katagorisasi kota yang memberikan ciri perluasan pengetahuan tertentu dan tinggi dari kelompok masyarakat non-agraris. Bahkan Lombard (1976:51) pun tidak ketinggalan memberikan pengertian yang besar maknanya mengatakan, bahwa Asia Tenggara menjadi wilayah yang penting untuk pengkajian budaya, karena wilayah ini merupakan ajang percampuran elemen-elemen kebudayaan Hindu, Budha, Cina, Islam, dan Barat. Suatu aspek penting dari kajian tentang proses akulturisasi yang terjadi di wilayah itu adalah kajian tentang perkembangan kota dan urbanisasi. Pada dasarnya kota memiliki ciri-ciri universal yang berhubungan dengan asal pertumbuhan, lokasi, ekologi, dan unsur sosialnya. Ciri-ciri tersebut terdapat pada kota-kota kuno yang ada antara lain di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Kartodirdjo, 1977:1-8) Kraton dan Alun-alun sebagai bagian kota
Sebagai pusat dari kota tradisional ialah kraton. Di sekitar kraton dapat dibangun rumah-rumah para sentana dan abdi dalem, tempat ibadah, dan pasar. Kadang-kadang kraton juga merupakan benteng dengan tembok yang melingkar, lengkap dengan lapangan dan tempat ibadah. Bahkan kota-kota administrative di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Surakarta menunjukkan pola yang sama di masa lampau. Nama-nama kampong dalam kota sering disesuaikan dengan abdi dalem yang tinggal di kampong itu. (Kuntowijoyo 2003:61). Dalam tata ruang kota keberadaan alun-alun sebagai ruang terbuka di antara kraton, masjid agung dan pasar dapat ditinjau dari beberapa aspek:
1. Dari aspek filosofis-religius, alun-alun berfungsi sebagai tempat untuk menampung luapan jamaah dari masjid agung, dan rangkaian upacara Garêbêg.
2. Dari aspek politis, upacara tersebut (Garêbêg Mulud) merupakan acara seba tahunan bagi para penguasa daerah untuk menunjukkan ketaatan dan kesetiaan kepada raja (Ricklefs, 1993:9).
3. Dari aspek ekonomis, karena pasar berada di dekatnya, atau di pinggirnya.
4. Dari aspek kultural, yaitu untuk pelaksanaan acara rampog macan (van Goens dalam Graff, ed, 1956:87-89).
Pada arah orientasi tersebut memegang peranan penting di dalam kajian tentang tata ruang kota di Jawa, karena ada dugaan bahwa pada masa itu kepercayaan tentang keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos masih berlanjut (Heine-Geldern, 1963:13,1). Alun-alun di Surakarta dan Yogyakarta masing-masing ber-jumlah dua, Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul, yang mengapit kraton. Behrend (1982:181-183), berpendapat bahwa tata ruang kedua alun-alun dan gapura-gapura di kraton Yogyakarta dan Surakarta menggambarkan tata ruang yang skematis makrokosmos, serta menekankan pentingnya sumbu utara-selatan sebagai sumbu seremonial. Alun-alun di sebelah utara kraton dalam beberapa hal dapat disetarakan dengan agora di kota-kota Yunani dan Romawi (Owens, 1991:3), serta maydan di beberapa kota Islam kuno di Asia Barat (Elisse:ef, 1976:97). Kesetaraan itu terutama dalam hal bentuk, yakni baik alun-alun, agora, maupun maydan berupa ruang terbuka, berbentuk segi empat. Dalam hal fungsi ada juga ke-samaannya, yaitu untuk berkumpul orang banyak. Agora dapat berfungsi sebagai tempat penyelenggara pe-merintahan, tetapi juga tempat melakukan aktivitas-aktivitas re-kreasional (Owens, 1991:3). Di wilayah lain di Alepo misalnya, maydan berfungsi sebagai tempat berlatih pasukan berkuda (Elisse:ef, 1976: 97). Dilihat dari segi tata ruangnya, agora dan maydan tidak menduduki ruang tertentu dalam tata kotanya. Agora dapat berada di tengah kota, tetapi dapat pula berada di pinggir, sedang maydan berada di depan kediaman penguasa.
Oleh karena itu, sejarah kota di Indonesia tidak dimulai pada waktu yang sama. Ancar-ancar bahwa kota muncul sebagai sebuah kategori dalam sejarah Indonesia pada awal abad ke-20 semata-mata didasarkan lebih pada sudut pandang sosio-kultural daripada ekologis (Kuntowijoyo 2003:62). Menurut Kuntowijoyo (2003:63) pada awal abad ke-20 sebuah kota Indonesia yang ideal akan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang sekaligus menunjukkan sejarah kota itu. Pertama, sektor kota tradisional yang ditandai dengan pembagian spatial yang jelas berdasarkan status sosial dan dekatnya kedudukan pemukim dengan kraton. Kedua, sektor pedagang asing, terutama pedagang Cina, yang mewarnai kehidupan kota dengan kaya bangunan, kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial-budaya tersendiri. Ketiga, sektor kolonial dengan benteng dan barak, perkantoran, rumah-rumah, gedung societeit, rumah ibadah vrijmetselarij. Keempat sektor kelas menengah pribumi yang kadang-kadang mengelompok dalam kampong-kampung tertentu, seperti Kauman di Kota Yogyakarta dan Surakarta, atau di bagian lain. Kelima, sektor imigran yang menampung pendatang-pendatang baru di kota dan berasal dari perdesaan sekitar. Di sela-sela tempat-tempat ini terdapat gedung-gedung sekolah, pasar, stasiun, dan tempat-tempat umum lainnya.
Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. (Kuntowijoyo 2003:64)
Oleh karena sejarah kota di Indonesia masih merupakan bidang yang belum digarap, biarlah sejarah kota dibuat seluas-luasnya, dengan catatan bahwa kekhasan kota hendaklah menjadi permasalahan yang pokok. Menurut Kuntowijoyo (2003:64-71) bidang garapan tersebut adalah: Pertama, bidang garapan sejarah kota ialah perkembangan ekologi kota. Ekologi ialah interaksi antara manusia dan alam sekitarnya, dan perubahan ekologi terjadi bila salah satu dari komponen itu mengalami perubahan. Kedua, bidang garapan sejarah kota ialah transformasi sosial ekonomis. Industrialisasi dan urbanisasi adalah bagian dari perubahan sosial. Ketiga, bidang garapan sejarah kota ialah sistem sosial. Kota sebagai sistem sosial menunjukkan kekayaan yang tak pernah habis sebagai bidang kajian. Keempat. Bidang garapan sejarah kota ialah problem sosial. Perkembangan ekologi, termasuk di dalamnya masalah kepadatan penduduk, mobilitas horizontal, dan heteroginitas dapat menyebabkan timbulnya masalah sosial. Kelima, bidang garapan sejarah kota ialah mobilitas sosial.
Pemahaman mengenai kota kuno di Jawa
Dalam Babad Tanah Jawi, kota disebut dengan kata kita, kuto dan negeri (A.H. Hill, 1960; J.J Ras, 1968; W.L. Olthof, 1941). Di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia, kota-kota kuno berdiri di pinggir sungai dan pinggir pantai dengan sistem pertahanan tertentu. Benteng mula-mula didirikan mengelilingi istana saja, bahkan ada istana yang tidak berbenteng sama sekali. Pada kota-kota yang memiliki benteng istana, kegiatan ekonomi berlangsung di luar benteng tersebut. Kemudian mulai ada penguasa -terutama di Jawa- yang memerintahkan membangun benteng kota, yang mungkin mencontoh kebiasaan orang Eropa dan sebagai jawaban atas ancaman militer Belanda (Reid, 1980:242). Sejak masa pemerintahan Sultan Agung wilayah Kerajaan Mataram-Islam dibagi menjadi empat, yakni (Tjiptoatmodjo, 1980:1-4): - Kutagara, adalah wilayah inti tempat raja dan para keluarganya serta para pejabat tinggi bertempat tinggal; - Nagaragung, adalah daerah yang ada di sekitar Kutagara dan memuat tanah lungguh para bangsawan dan pejabat tinggi; - Mancanegara, adalah wilayah yang ada di luar nagaragung; - Pasisiran, adalah daerah yang luar atau pinggir.
Dalam paham kosmos Jawa, pembagian wilayah tersebut di atas merupakan pencerminan alam semesta. Selain itu usaha untuk menciptakan kesejajaran antara makro dan mikrokosmos juga dapat dilihat dalam organisasi desa-desa menjadi mancapat dan mancalima. Pengelompokan ini berarti pengaturan tata ruang desa-desa ke dalam pola segi empat dengan satu desa disetiap arah mata angin utama, dan satu arah di tengah (Moertono, 1968:277). Kota-kota pusat pemerintahan kerajaan Mataram-Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu komponen pokok dan penunjang:
1. Pokok, berkaitan erat dengan kebutuhan hidup manusia, yakni tempat tinggal, keamanan, ekonomi, religi, rekreasi.
2. Penunjang, adalah komponen yang bersifat melengkapi namun tidak vital, seperti pintu gerbang pabean, loji dan benteng VOC, serta lumbung.
Ahli perkotaan aliran Perancis, seperti E. Pauty, berdasarkan proses terciptanya biasanya memilah kota menjadi dua, yakni bersifat alamiah dan dibuat dengan perencanaan (Hourani, tt.:9-10):
1. Kota yang alamiah tumbuh dari kecil tanpa perencanaan melalui rentang waktu yang panjang karena wilayahnya subur, komunikasi alamiahnya bagus, atau keuletan penduduknya. (Majapahit dan Kota Gede)
2. Kota yang dibuat dengan perencanaan atas perintah penguasa dimaksudkan sebagai pusat pemerintahan, atau kediaman raja. (kota Gresik dan Cirebon)
3. Tata kota adalah ekspresi sistem keagamaan, sosial, dan budaya serta hubungan dengan lingkungan dalam bentuk penataan komponen-komponen kota di dalam ruang-ruang tertentu.
4. Oleh karena itu, untuk menemukan gambaran fisik kota dan mengenali morfologinya, perlu dipelajari tata letak (layout) kota yang pada gilirannya merekam organisasi ruang dan topografinya.
Seperti halnya apa yang dijelaskan oleh Elissef (1976:90) pada masa lalu, proses terwujudnya tata kota berjalan setahap demi setahap, sehingga dapat dikenali urutan-urutan dalam pembentukan kota tersebut. Faktor-faktor yang menjadi prakondisi tumbuhnya suatu kota menurut Gideon Sjoberg (1965) ada tiga, yakni sebagai berikut:
1. suatu dasar ekologi yang menguntungkan;
2. suatu teknologi maju (relatif pada bentuk-bentuk pra-perkotaan) dalam kedua suasana baik agrikultur maupun non-agrikultur; dan
3. suatu organisasi sosial yang kompleks dan di atas segalanya ada struktur kekuasaan yang betul-betul berkembang.
Di dalam perkembangannya maka kota mempunyai banyak fungsi yang oleh Noel P. Gist (1974) dijelaskan sebagai berikut:
1. Production center, yakni kota sebagai pusat produksi, baik barang setengah jadi maupun barang jadi;
2. Center of trade and commerce, yakni sebagai pusat perdagangan dan niaga, yang melayani daerah sekitarnya.
3. Political capitol, yakni sebagai pusat pemerintahan atau ibukota negara.
4. Cultural center, kota sebagai pusat kebudayaan.
5. Health and recreation, yakni kota sebagai pusat pengobataan dan rekreasi (wisata).
6. Divercified cities, yakni kota yang berfungsi ganda atau beraneka.
Perbedaan kota dan desa
Definisi tentang kota tercakup unsur-unsur keluasan atau wilayah, kepadatan penduduk, kemajemukan sosial, pasar dan sumber kehidupan, fungsi administratif, dan unsur-unsur budaya yang membedakan kelompok sosial di luar kota (Jones, 1966:1-8). Para ahli sosiologi pada umumnya memandang kota sebagai permukiman yang permanent, luas, dan padat dengan penduduk yang heterogen (Sirjamaki, 1964:1-8). Lalu bagaimana perbedaan dengan desa. Di kota juga berkembang tradisi besar yang dengan penuh kesadaran ditumbuhkan di pusat-pusat pembelajaran, seperti sekolah, pesantren, dan tempat-tempat peribadatan. Di sisi lain di pedesaan sebetulnya juga tumbuh tradisi kecil, yang bias disebut budaya rakyat. Kota bersifat nonagrikultural, sehingga untuk keperluan penyediaan makanan harus dibina hubungan antara kota dan desa. Penegasan juga dilakukan oleh Redfield (1963:42-43), bahwa tradisi kecil tersebut tumbuh dengan sendirinya di kalangan masyarakat pedesaan tanpa penghalusan-penghalusan yang bias dijumpai pada tradisi kota. Meskipun ada perbedaan-perbedaan antara kota dengan desa, namun kota tak dapat dipisahkan dengan desa sebagai bagian dari suatu sistem yang lebih luas (Sjoberg, 1960:25). Demikian juga Weber (1966:66-67) berpendapat, bahwa salah satu ciri pokok kota ialah, sebagai pusat kegiatan perekonomian. Sementara itu Jones (1966:1-6) menjelaskan bahwa sesuai dengan fungsi dan golongan-golongan yang utama dalam masyarakat, kota dapat dibedakan atas beberapa tipe, antara lain kota dagang, kota keagamaan, dan kota pemerintah.
Sumber Pustaka
Adrisiyanti, I. (2000). Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Jendela: Yogyakarta.
Ansy’ari, S.I. (1993). Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Anthony, J.C. & Snyder, J.C. 1986. Pengantar Perencanaan Kota. Surabaya: Erlangga.
Anthony, J.C. & Snyder, J.C. 1989. Perencanaan Kota. Surabaya: Erlangga.
Budihardjo, E. (1997). Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: Djambatan.Hermanislamet, B. (1999). Tata Ruang Kota Majapahit, Analisis Keruangan Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Disertasi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Nas, d. P. J. M. (1979). Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.