Seputar Istilah Arsitektur
Akhmad Sekhu Arsitek, alumnus Jurusan Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta
DALAM sebuah acara seminar arsitektur, Budi A. Sukada, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Pusat, mengutarakan protes. Ia mendengar seorang pembawa acara yang mengucapkan organisasi yang dipimpinnya itu dengan nama: Ikatan Arsitektur Indonesia. Sang ketua menjelaskan bahwa terminologi yang benar adalah Ikatan Arsitek Indonesia, karena yang diikat dalam organisasi tersebut adalah orangnya, profesinya, yaitu arsitek. Bukan arsitektur, karena arsitektur itu adalah benda sebagai hasil karya dari arsitek. Arsitektur adalah seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, atau arsitek itu metode dan gaya rancangan sebuah konstruksi bangunan. Konon, kasus kesalahan pengucapan ini sering terjadi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih rendah tingkat kesadaran dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Singkatan organisasi ikatan profesi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bukan Ikatan Kedokteran Indonesia; Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) bukan Ikatan Akuntansi Indonesia; Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) bukan Ikatan Advokasi Indonesia. Lain konteksnya kalau singkatan organisasi kesarjanaan pada ilmu tertentu, misalnya Ikatan Sastra Ekonomi Indonesia (ISEI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia (ISOI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), ataupun Ikatan Sarjana Sastra Indonesia (ISSI).
Di surat kabar terbitan Ibu Kota beberapa tahun lalu, saya membaca adanya seorang selebritas cilik yang baru ”naik daun” yang ditanya wartawan tentang apa cita-citanya. Jawabannya: menjadi arsitektur. Mengapa masyarakat kita sering salah dalam mengucapkan istilah keilmuan? Dan kenapa sang wartawan yang menulis berita itu tidak menyunting kesalahan pengucapan narasumbernya? Mungkin sang selebritas cilik menjawab bercita-cita ingin jadi arsitektur, karena mendengar nama profesi seperti direktur, inspektur, kondektur, yang semuanya berakhiran tur menunjukkan bahwa itu orangnya, profesinya. Tapi ia tidak tahu bahwa arsitektur itu ”benda” hasil karya dari sang arsitek.
Sebenarnya, mendiang Y.B. Mangunwijaya pernah mengingatkan kita tentang istilah arsitektur yang berasal dari bahasa Yunani mempunyai arti terbatas, yaitu terdiri atas kata arkhe yang berarti asli, awal, utama, otentik; dan kata tektoon yang berarti berdiri stabil, kukuh, statis, sehingga arkhitekton berarti pembangunan utama, tukang ahli bangunan. Kemudian istilah arsitektur dihadapkan dengan istilah wastu, yang artinya lebih luas. Wastu yang berasal dari kata vasthu dari bahasa Sanskerta itu diartikan norma, tata bangunan, tata ruang, tata seluruh pengejawantahan yang berbentuk jadi punya arti luas dan komprehensif. Istilah wastu datang dari dalam, dari inti, jati diri, sikap hidup, bahkan bisa dikatakan sebagai kebudayaan bangsa. Peringatan Romo Mangun ini disampaikan lewat makalahnya berjudul ”Salah Satu Konsepsi Arsitektur Indonesia” yang disajikan dalam Kongres Nasional II Ikatan Arsitek Indonesia di Yogyakarta, pada 2 Desember 1982.
Tapi kita tampaknya lebih suka menyebut arsitektur. Itu berarti istilah tersebut seragam di seluruh dunia. Kalimat ”arsitek menghasilkan karya rancangan arsitektur” sesungguhnya bisa diganti menjadi ”seorang wastuwidyawan menghasilkan karya rancangan wastu”. Kalau saja kita mengikuti anjuran Romo Mangun untuk memakai istilah wastu tentu kita akan memiliki ciri khas bahasanya sendiri.
Apalagi tak ada yang mewajibkan bahwa sebuah istilah harus seragam di seluruh dunia. Istilah lokal justru akan memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Jika kita sepakat dengan Romo Mangun untuk menggunakan sebutan wastuwidyawan, tentu tidak akan terjadi salah ucap.
Seputar Istilah Arsitektur VIDEO