SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN SEBAGAI DASAR PERANCANGAN KOTA



SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN SEBAGAI DASAR PERANCANGAN KOTA

Pendahuluan

Dewasa ini kota-kota di dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat pesat, dalam perubahan tersebut, bangunan, kawasan maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan bangunan, kawasan ataupun objek lainnya yang lebih bersifat ekonomis-komersial. Gejala penurunan kualitas fisik tersebut, dengan mudah dapat diamati pada kawasan kotakota tersebut pada umumnya berada dalam tekanan pembangunan. Dengan kondisi pembangunan yang ada sekarang, budaya membangun pun telah mengalami perbedaan nalar, hal ini terjadi karena kekuatan-kekuatan masyarakat tidak menjadi bagian dalam proses urbanis yang pragmatis. Urbanisasi dan industrialisasi menjadikan fenomena tersendiri yang menyebabkan pertambahan penduduk yang signifikan serta permintaan akan lahan untuk permukiman semakin meningkat di perkotaan. Bagian dari permasalahan itu, akan membuat kawasan kota yang menyimpan nilai kesejarahan semakin terdesak dan terkikis. Pertentangan atau kontradiksi antara pembangunan sebagai kota “modern” dengan mempertahankan kota budaya yang masih mempunyai kesinambungan dengan masa lalu, telah menjadikan realitas permasalahan bagi kawasan kota Pendekatan perancangan kota yang banyak dilakukan pun jarang mengakomodasi keberagaman struktur sosio-kultural yang telah terbentuk di kawasan tersebut. 

Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik (physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact). Perangkat rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum banyak dipakai secara sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara umum pun belum dapat memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, baik situasi dan kondisi serta masyarakat yang menikmatinya. Atau dengan kata lain, masih terdapat adanya kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga demensi. Dengan demikian, konservasi/pelestarian bukanlah romantisme masa lalu atau upaya mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam merancang sebuah kota. 

 Sejarah Kota dan Kawasan (What is Urban History and Urban Area?) 

Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya suatu penegasan, yaitu bahwa: setiap kota pasti mempunyai sejarah; di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan; bagaimana kotakegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya). Sejarah perkotaan (urban history) pada dasarnya merupakan bidang studi internasional yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai nature of our societies, dengan menggunakan pendekatannya yang cenderung multidisiplin, maka dalam sejarah perkotaan tidaklah luar biasa untuk dapat menemukan beberapa ahli di antaranya, adalah ahli sejarah, arsitektur, geografi, perencana, atau kritikus sastra, dan mereka semua dapat dinamakan sebagai ahli sejarah perkotaan. Di sisi lain sejarah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan local history, dan studi tersebut difokuskan pada masalah lokal, atau beberapa aspek dari kehidupan di komunitas lokal serta dilakukan dengan sebuah analisa dan penjelasan. Ada empat pendekatan dalam bidang sejarah perkotaan yang dapat diidentifikasi: 

Pertama, secara umum ditekankan pada proses urbanisasi termasuk elemen demografi, struktur atau pendekatan sistem, dan aspek perilaku urbanisasi. 

Kedua, adalah urban biography merupakan tempat bersejarah yang istimewa, dan berhubungan dengan beberapa segi dari sebuah kota, seperti transportasi, pemerintah kota, perkembangan fisik, masyarakat dan organisasi sosial. 

Ketiga, memperlakukan beberapa tema, seperti ekonomi, sosial, arsitektur, dan sebagainya dalam konteks sebuah kota

Keempat, cultural studies, merupakan jalan baru dalam “reading” cities, dan memperkenalkan konsep untuk “read” communities. 


Belajar dari Sejarah Awal Berkembangnya Perkotaan 

Dengan mempelajari sejarah kota, kita akan dapat melihat pengejawantahan pemikiran jujur tentang penataan kota masa lampau, dari tata cara penataannya, sampai pada sumber kehidupan warisan sejarah sebagai tempat beraktivitas. Banyak hal yang dapat dipetik dengan mempelajari sejarah perkotaan dari Majapahit-Kota Indis-Kota Islam dan dari negara lain seperti India-Cina-Jepang, akan dapat memberikan tambahan pemahaman arti sejarah perkotaan yang lebih mendalam. 

Tata ruang kota Majapahit 

Struktur kekuasaan dari kerajaan Majapahit mempunyai pengaruh besar pada organisasi ruang kotanya, hal ini dapat dilihat dengan adanya: 1. wilayah inti pusat kerajaan Majapahit; 2. wilayah inti sistem candi-candi kerajaan Majapahit; 3. wilayah kantong (enclave) pemujaan arwah nenek moyang; dan 4. wilayah perdesaan kerajaan Majapahit. Di samping itu, perkembangan dari Majapahit secara makro wilayah dipengaruhi arus kecenderungan pertumbuhan, yaitu arus perkembangan kebudayaan Hindhu Jawa; dan perkembangan global di pihak lain. Pada penataan kota Majapahit mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Hindhu-India yang datang ke Jawa melalui medium agama Hindhu-Budha. Dengan demikian, kota Majapahit merupakan perpaduan antara unsur-unsur dua kebudayaan, India dan Jawa. Untuk ciri pola tata ruang kota Majapahit, dapat dilihat adanya: 1. pola ruang berpusat, dengan kawasan inti berpola grid, sedangkan kawasan luar melingkar berpola sirkular; 2. kawasan antara merupakan kawasan transisi, antara dua hierarkhi kawasan, antara dua tingkat masyarakat kota, dan dua jenis pola keruangan kota, terkendali dan organis; 3. keseluruhan kawasan kota merupakan sistem kerungan terbuka, baik secara ekologis, secara sosial, maupun secara kewilayahan yang diwujudkan dalam bentuk kota tanpa dinding fisik; dan 4. pemilihan perpaduan pola keruangan kawasan kota tersebut di atas dapat menjadi strategi keruangan jangka panjang yang adaptif. 

 Perkembangan awal kota Indis 

Kota Indis, muncul pada waktu hadirnya pemerintah kolonial Belanda, mulai abad ke-16. Pada awalnya perkembangannnya, kota ini menjiplak kota-kota asalnya, dalam perkembangannya, seorang ahli perkotaan Peter JM. Nas membedakan kota menjadi empat macam, yaitu di antaranya: kota awal Indonesia; kota Indis; kota kolonial; dan kota modern. Dalam kota Indis diketahui terdapat adanya: a. daerah benteng yang dihuni oleh pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai VOC; b. daerah perdagangan yang dihuni oleh orang-orang asing (kebanyakan orang-orang Cina); dan c. Kampung (pada awalnya berada di luar benteng), yang dihuni oleh penduduk pribumi. Kemudian pada perkembangan berikutnya, kota awal Indonesia memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola sosial-budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu kota-kota pedalaman dengan ciri-ciri tradisional, religius; dankota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan. Ada tiga ciri untuk memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu antara lain: budaya; teknologi, dan struktur kekuasaan kolonial. Pada kota-kota lama di Jawa sampai abad ke-18 tidak mengalami perkembangan yang berarti, dan kota-kota yang tidak mempunyai fungsi perdagangan, umumnya menjadi kota pusat pemerintah daerah. Bentuk kota kabupaten digambarkan tidak jauh berbeda dengan perdesaan sekitarnya, dan kelompok bangunan di kota-kota lebih rapat satu sama lain, dibanding kelompok perumahan di perdesaan. Untuk kota-kota pantai kuno, kelompok perumahan di kota pusat pemerintahan lebih jarang, bentuk bangunannya masih tradisionil. Elemen pembentuk ruang pada kota tradisional Jawa, antara satu dengan lainnya menggunakan dua prinsip, yaitu di antaranya mikrokosmos dualistis; dan mikrokosmos hirarkhis. (Santoso 1984) 

 Karakteristik kota Islam 

Dengan masuknya Islam, maka pengaruhnya pun juga memberikan ciri atau karakteristik kota Islam, yaitu antara lain: mempunyai benteng; mempunyai kompleks kediaman penguasa (istana; bangunan-bangunan pemerintahan; dan bangunan-bangunan pasukan pengawal); mempunyai civic center (masjid Jamik dengan madrasahnya; dan pasar); mempunyai perkampungan untuk penduduk dengan pengelompokkan (etnis; agama; dan ketrampilan); dan di luar benteng terdapat perkampungan untuk komunitas dengan beberapa (pekerjaan tertentu; dan pemakaman). Untuk komponen-komponen pokok dari kota Mataram-Islam dan kota yang berkembang di wilayah pantai utara Jawa dapat dikelompokkan: 1. Fungsi tempat tinggal dalam dua komponen: a. kraton beserta alun-alunnya bagi penguasa dan keluarga terdekatnya; dan b. permukiman lain yang terbagi dalam dua macam, yaitu antara lain: dalem bagi golongan bangsawan dan elite birokrat; dan permukiman bagi rakyat non elit; 2. Fungsi keamanan tercermin dalam komponen, yakni benteng baik dalam maupun luar, jagang, dan jaringan jalan; 3. Fungsi ekonomi tercermin dalam keberadaan pasar, jaringan jalan, serta nama tempat yang menunjukkan profesi; 4. Fungsi religi terlihat dalam keberadaan masjid, nama tempat yang menggambarkan profesi keagamaan dan alun-alun; dan 5. Fungsi rekreasi terlihat adanya taman dan krapayak. 

 Penataan kota di India 

Di dalam perencanaan kota dan desa di India waktu itu, salah satunya harus memperhatikan Vastu-purusha mandala baik dengan tatanan 64 maupun 81. Dinding atau tembok kota dibangun sepanjang batas dari mandala; dan jalan di buat dari arah utara-selatan dan timur-barat sepanjang garis padas dari satu padas ke berikutnya. Vastu-purusha mandala: sebagai dasar perencanaan kota Jaipur di India; dan semua jalan berada pada arah longitudinal timur-selatan-timur, dan barat-utara-barat. 
Swastika, adalah sebagai solar simbol bangsa Aryan kuno, dapat digunakan untuk perencanaan: 1. rumah tinggal; 2. layout tata ruang; 3. perencanaan kota; dan 4. menata sekuen dari jalan. Kheta, yang diperbolehkan untuk bertempat tinggal di wilayah ini hanya kasta Shudra di sini tidak mempunyai pusat; dan sebagai pusat adalah dinding/ tembok kota. Kemudian bentuk sederhana dari perencanaan kotanya haruslah jelas: 

  • kasta Brahma, harus bertempat tinggal dan bekerja di wilayah/bagian utara; kasta Kshatriya, di wilayah/bagian timur; 
  • kasta Vaishya, di wilayah/bagian selatan; dan 
  • kasta Shudra di wilayah/bagian barat. 

Dengan demikian, konsep dan pedoman penataan kota di India sesuai yang termuat dalam pustaka Manasara Silpasastra atau Kautilya Arthashastra. Di samping itu, mereka juga mempunyai unsur-unsur permukiman atau kompleks pusat kerajaan, antara lain: candi (mandira, devalaya); pasar (apana); jalan dan lorong (vithi); saluran air-selokan; istana raja; perumahan umum; pasar; gapura-pintu gerbang (gopura); tempat persediaan air, sumur; tembok kota; jalan bawah tanah; benteng; dan menara jaga, dan sebagainya. 

 Awal dari perkembangan kota kuno di Cina 

Kota-kota kuno Cina yang berhasil diketemukan dan dapat dijelaskan, bahwa: 1. semua kota di kelilingi dengan dinding/tembok dari tanah; 2. hampir keseluruhan bentuk pola kota adalah empat persegi dan persegi panjang; 3. keseluruhan bangunan digunakan untuk tujuan politik dan keagamaan; dan 4. ciri-ciri yang tetap/konstan adanya wilayah yang spesial menurut prinsip Cina dari segregasi sosial
Pada perencanaan kota Changan, kota di bangun dengan denah dasar simitris, mencakup area panjang 6 mil dari timur-barat dan 5 mil 3 meter dari utara-selatan. Pada bagian dinding-dindingnya mempunyai ketebalan 16 feet dan 22 mil 5 meter panjangnya, dan mempunyai tiga pintu gerbang di utara dan barat, serta delapan di utara. Kota dibagi menjadi lima bagian: a. di utara istana kekaisaran; b. istana; c. di sebelah utara istana kekaisaran di kelilingi dinding/tembok dari tanah; dan d. di selatan dari istana berisi bangunan pemerintahan dan badan-badan lainnya. Di samping hal tersebut di atas, dapat dilihat juga bahwa istana kekaisaran dan bangunan pemerintahan yang berkembang pada waktu itu seluruhnya terpisah dari pasar dan daerah tempat masyarakat bertempat tinggal. bersejarah, karena sebagian dari perjalanan sejarah kawasan yang masih menyimpan sejumlah peninggalan sejarahnya. itu mesti dibangun dan dikembangkan; serta adanya.

Perkembangan awal kota di Jepang

Kata machi adalah berasal dari satu blok ladang yang ditanami. Di mana sebuah ibu kota disusun/direncanakan dalam sebuah grid empat persegi panjang. Hal ini juga dimaksudkan bahwa satu blok kota di kelilingi oleh empat jalan, kemudian untuk Jori sistem adalah pembagian tanah untuk ladang yang ditanami padi, sedangkan Jobo sistem adalah sistem untuk pembagian tanahnya.

Tsubo, digunakan sebagai unit dasar dari ukuran tanah di dalam perencanaan kota, dan unit terbesar dari pembagi adalah persegi berjumlah dalam 36 area. Garis dari ri adalah timur-barat, sedangkan jo adalah selatan-utara. Tsubo di kelilingi oleh empat jalan yang sempit dan unit pembagi terbesar bo, di kelilingi oleh empat jalan lebar dinamakan oji. Denah dari kota terdiri dari delapan bo timur-barat, dan sembilan bo selatan-utara, untuk jalan utama yang di tengah, yang berjalan dari gerbang utama ke halaman istana adalah merupakan bagian pemerintahan, di dalamnya termasuk istana kekaisaran dan dinamakan Sujaku-oji. Jalan ini membagi kota ke dalam bagian yang sama, separuh dari kiri dari bagian kota dinamakan Sakyo, separuh sebelah kanan dari bagian kota di sebelah barat, dan Ukyo separuh sebelah kanan dari bagian kota di sebelah timur. Bo adalah menomori di sebelah luar dari pusat jalan, bo pertama, bo kedua, bo ketiga, dan bo keempat ke timur dan barat. Untuk menetapkan posisi arah di sebelah utara-selatan, garis dari empat bo dinamakan jo, dimulai dengan jo pertama di utara, sampai jo kesembilan di selatan. Karena itu, metode penamaan disebut sebagai pola dan perencanaan kota sistem jobo. Empat persegi panjang bo adalah membagi lagi oleh persilangan yang sempit ke dalam empat blok bujur yang serupa, dan sebagai akibatnya adalah dimungkinkan untuk menata setiap rumah menghadap matahari dan dengan halaman tamannya. 

Konservasi Perkotaan Pemahaman tentang konservasi 

Jika kita ingin bergerak untuk menyelesaikan masalah pelestarian, ada tiga pertanyaan kunci yang harus diajukan: 

(1) Apa yang ingin kita lestarikan? (Bangunan?, Karakter kota?, Kehidupan?); 
(2) Mengapa kita ingin melestarikan? (Karena aspek-aspek tersebut merupakan bagian dari warisan kota?, Untuk meningkatkan lingkungan dan penduduk?, Untuk menarik uang dari wisatawan?); dan 
(3) Untuk siapa kita lakukan pelestarian? (Pengguna saat ini?, Keseluruhan negara?, Warisan umat manusia?). 

Ada beberapa pemahaman dan pengertian mengenai conservation (konservasi), adalah tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin secara utuh dari bangunan bersejarah yang ada, salah satunya dengan cara perbaikan tradisional, dengan sambungan baja, dan atau dengan bahan-bahan sintetis. 

Pendapat lain mengenai konservasi: adalah, upaya untuk melestarikan bangunan, mengefisienkan penggunaan dan mengatur arah perkembangan di masa mendatang. Dari Piagam Burra, pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi. Untuk itu, alangkah baiknya kalau kegiatan konservasi/preservasi pun haruslah dapat memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap kota dan komponen-komponen yang ada di dalamnya. Manfaat tersebut antara lain sebagai atraksi yang menarik bagi wisatawan mancanegara, merupakan media untuk mempelajari perkembangan arsitektur dan kota, dan sebagai wadah pembelajaran sejarah kota bagi masyarakat. 

Usaha-usaha untuk preservasi akan memberikan manfaat praktis bila manfaat kegiatan tersebut, adalah sebagai berikut: 

1. preservasi lingkungan/kawasan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat kesinambungan, memberikan tautan bermakna dengan masa lampau, dan memberikan pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun lingkungan/kawasan lama; 
2. di tengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat sekarang ini, lingkungan/kawasan lama akan menawarkan suasana permanen yang menyegarkan; 
3. untuk mempertahankan bagian kota akan membantu hadirnya sense of place, identitas diri dan suasana kontras; 
4. kota dan lingkungan/kawasan lama adalah satu aset terbesar dalam industri wisata, sehingga perlu dipreservasi; 
5. salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang; 
6. membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologis dan merasakan bukti fisik suatu tempat di dalam tradisinya; dan 
7. membantu terpeliharanya warisan arsitektur, yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau. 

Dalam konteks pembangunan kota, tindakan untuk melestarikan warisan budaya perkotaan (urban heritage) diperlukan adanya motivasi. Motivasi tersebut antara lain adalah: 

1. motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah; 
2. motivasi untuk menjamin terwujudnya atau terpeliharanya tata ruang kota yang khas; 
3. motivasi untuk mewujudkan adanya suatu identitas tertentu yang dikaitkan dengan kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari kota; dan 
4. motivasi ekonomi, suatu bentuk peninggalan tertentu yang dianggap memiliki nilai atau daya tarik dan perlu dipertahankan sebagai modal lingkungan/kawasan. 

Konservasi dalam lingkup bangunan dan lingkungan: 

Konservasi atau pelestarian dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan, mula-mula berawal dari konsep preservasi yang bersifat statis, kemudian dari konsep yang statis tersebut berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan yang lebih luas lagi. Sasarannya tidak terbatas pada objek arkeologis saja, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan dan kawasan, dan bahkan kota bersejarah dan pada akhirnya, konservasi menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian lingkungan binaan yang mencakup preservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Tujuan dari itu semua adalah untuk memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa, sehingga makna kulturalnya yang berupa: nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini dan masa datang akan dapat terpelihara. 

Apa yang dimaksud dengan konservasi area? (What is a Conservation Area?) 

Konservasi area sebenarnya dapat meliputi beberapa hal, seperti perdesaan (rural), perkotaan (urban), arkeologi (archeology), atau natural area yang mempunyai kualitas spesial, dan patut untuk dilindungi. Konservasi area direncanakan/ditentukan berdasarkan beberapa alasan:

1. untuk melindungi lingkungan atau konteks dari kelompok elemen-elemen kultural, bersejarah (historical), estetik (aesthetic) atau nilai keilmuan (scientific value);

2. untuk menuntun dan mengatur perkembangan baru;

3. untuk mengurangi atau mengeliminasi ancaman yang spesifik seperti, pengembangan skala-besar, jalan-jalan, penzoningan kembali atau tekanan perkembangan;

4. untuk memberi insentif pengembangan dengan perlindungan bagi benda-benda yang mempunyai nilai dan menetapkan kriteria desainnya;

5. untuk mendapatkan pengakuan pada sebuah area dan mempromosikan nilai-nilainya; atau

6. untuk melindungi lingkungan, atau dilihat dari pandangan national monument.

Kemudian bagaimana dengan pemahaman arti area itu sendiri? Penentuan dari konservasi area tersebut diartikan bahwa kualitas yang spesial dari area itu dilindungi dan pengembangannya layak untuk diberikan. Pemilik, pengembang, arsitek, perencana, dan pemerintah yang berwenang akan menjaga bahwa pengembangan area itu sangat sensitif, dan bahwa perubahan tidak akan menghancurkan kualitas spesial yang diberikan sebagai makna budaya, dengan demikian konservasi area dapat diidentifikasi setelah survei komprehensif dan analisis kualitas pada area itu dilakukan. 

Konsep Konservasi 

Konsep awal dari pelestarian adalah konservasi, yaitu pengawetan benda-benda monumen dan sejarah (lazimnya dikenal sebagi preservasi), dan akhirnya hal itu berkembang pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi. Pada dasarnya, makna suatu konservasi dan preservasi tidak dapat terlepas dari makna budaya (Kerr, 1992). Untuk itu, konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya (Danisworo, 1991). Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992). Dalam perencanaan suatu lingkungan kota, unit dari konservasi dapat berupa sub bagian wilayah kota bahkan keseluruhan kota sebagai sistem kehidupan yang memang memiliki ciri atau nilai khas. Dengan demikian, Peranan konservasi bagi suatu kota bukan semata bersifat fisik, namun mencakup upaya mencegah perubahan sosial. Konsep yang dirumuskan untuk melakukan pekerjaan konservasi hendaklah disusun dalam suatu rencana (conservation plan) berdasarkan: 1. Penetapan objek konservasi, suatu upaya pemahaman dalam menilai aspek budaya suatu objek dengan tolok ukur estetika, kesejarahan, keilmuan, kapasitas demonstratif serta hubungan asosiasional; dan 2. Perumusan kebijakan konservasi suatu upaya merumuskan informasi tentang nilai-nilai yang perlu dilestarikan untuk kemudian dijadikan sebagai landasan penyusunan strategi pelaksanaan konservasi. Konservasi merupakan bagian integral dari perancangan kota, menurut Sirvani (1985), meliputi rumusan kebijakan, rencana, pedoman, dan program

Dapat diuraikan sebagai berikut: 

1. Kebijakan Perancangan Kota, merupakan kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. 

2. Rencana Perancangan Kota, merupakan produk penting dalam perancangan kota yang berorientasi pada produk maupun proses; 

3. Pedoman Perancangan Kota, dapat berupa pengendalian ketinggian bangunan, bahan, setback, proporsi, gaya arsitektur, dan sebagainya; dan 

4. Program Perancangan Kota, biasanya mengacu pada proses pelaksanaan atau pada seluruh proses perancangan. 

Menurut Shirvani (1985), menggunakan terminologi tersebut untuk mengacu pada aspek perencanaan dan perancangan yang dapat memelihara dan melestarikan lingkungan yang telah ada maupun yang hendak diciptakan. Dengan demikian diharapkan akan didapatkan: 

a. Kegiatan konservasi dan preservasi -sebagai bagian dari pelestarian- merupakan usaha meningkatkan kembali kehidupan lingkungan kota tanpa meninggalkan makna kultural maupun nilai sosial dan ekonomi kita; 

b. Arahan konservasi suatu kawasan berskala lingkungan maupun bangunan, perlu dilandasi motivasi budaya, aspek estetis, dan pertimbangan segi ekonomi; dan 

c. Preservasi dan konservasi yang mengejawantahkan simbolisme, identitas suatu kelompok ataupun aset kota, perlu dilancarkan. 

Pada bagian lain, sasaran konservasi perlu dirumuskan secara tepat di antaranya (Budihardjo, 1989): 

- Mengembalikan wajah objek konservasi

- Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini

- Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam objek pelestarian; dan 

- Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota dalam wujud fisik tiga dimensi. 

Akan tetapi dalam penjabaran konsep di atas, perlu dirumuskan: 

- Tolok ukur, kriteria, dan motivasi dari konservasi; dan 

- Bagian-bagian bangunan atau tempat yang akan dikonservasi, atau bagian kota yang akan dilestarikan. 

Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam proses penentuan konservasi adalah sebagai berikut: 

a. Kriteria Arsitektural, suatu kota atau kawasan yang akan dipreservasikan atau dikonservasikan memiliki kriteria kualitas arsitektur yang tinggi, di samping memiliki proses pembentukan waktu yang lama atau keteraturan dan keanggunan (elegance); 

b. Kriteria Historis, kawasan yang akan dikonservasikan memiliki nilai historis dan kelangkaan yang memberikan inspirasi dan referensi bagi kehadiran bangunan baru, meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali keberadaannya yang memudar; 

c. Kriteria Simbolis, kawasan yang memiliki makna simbolis paling efektif bagi pembentukan citra suatu kota. 

Kategori mempertimbangkan objek yang akan dikonservasi dapat dikategorikan sebagai berikut: 

1. Nilai (value) dari objek, mencakup nilai estetik yang didasarkan pada kualitas bentuk maupun detailnya. Suatu objek yang unik dan karya yang mewakili gaya zaman tertentu, dapat digunakan sebagai contoh, suatu objek konservasi; 

2. Fungsi objek dalam lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas lingkungan secara menyeluruh. Objek merupakan bagian dari kawasan bersejarah dan sangat berharga bagi kota. Objek juga merupakan landmark yang memperkuat karakter kota yang memiliki keterkaitan emosional dengan warga setempat; dan 

3. Fungsi lingkungan dan budaya, penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari keunikan pola hidup suatu lingkungan sosial tertentu yang memiliki tradisi kuat, karena suatu objek akan berkaitan erat dengan fase perkembangan wujud budaya tersebut. 

Revitalisasi Kawasan Kota 

Salah satu kegiatan dari konservasi adalah revitalisasi atau upaya untuk mendaur-ulang (recycle) yang tujuannya untuk memberikan vitalitas baru, dan meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada namun telah memudar. Kegiatan revitalisasi muncul karena adanya permasalahan yang muncul sejalan dengan perkembangan kota yang begitu cepat dan membawa perubahan yang cukup drastis. Perubahan tersebut seringkali mengakibatkan timbulnya masalah yang pembenahannya seringkali memaksa kota untuk mengabaikan pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan program peremajaan kota, penggusuran permukiman kumuh yang dilakukan dengan alasan demi keindahan kota, perubahan tatanan perdagangan tradisional menjadi tatanan modern, penghancuran bangunan-bangunan lama dan diganti dengan bangunan baru dengan dalih tidak memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala upaya revitalisasi biasa terjadi pada tingkat mikro kota, seperti sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bias mencakup kawasan kota yang yang lebih luas. Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota. Karakteristik dari kawasan yang membutuhkan revitalisasi, adalah kawasan mati (tidak berkembang lagi), kawasan yang perkembangannya melesat dari arah semula, dan kawasan-kawasan yang “ditinggalkan”. Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. 

Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Dilihat dari pengertian di atas, maka revitalisasi dapat menjadi alternatif dalam memecahkan masalah pelestarian wajah kota lama, dan kebutuhan ruang teratasi dengan meminimalisasikan pudarnya eksistensi kota lama. Pada dasarnya proses revitalisasi kota terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: intervensi fisik; rehabilitasi ekonomi; dan revitalisasi sosial/institusional. 

Revitalisasi adalah salah satu pendekatan dalam meningkatkan vitalitas suatu kawasan kota yang bias berupa penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi kualitas lingkungan hidup, peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya (Sujarto dalam Farma, 2002:23). Oleh karena itu, revitalisasi kawasan kota dapat juga disebut sebagai konsep pelestarian yang terintegrasi dengan “wajah” kota lama akan tetap terpelihara, aktivitas saat ini dapat tertampung dan dapat memberikan keuntungan ekonomi. Proses ini memerlukan dukungan dan peran aktif masyarakat, sehingga segala usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat tidak dipatahkan lagi oleh masyarakat. Disamping hal itu, pemerintah diharapkan dapat bertindak dengan lebih tegas, yaitu dengan memperjelas konsep-konsep konservasi kotanya, mempunyai produk-produk berkekuatan hukum, menindak oknum-oknum yang melanggar, serta mampu memotivasi partisipasi masyarakat. 

Mengapa Warisan Budaya? (Why heritage?) 

Adanya pengakuan bahwa warisan budaya (cultural heritage) yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Warisan budaya sebuah kota dapat dilihat dalam tiga bagian faktor:

- Social factors, termasuk di dalamnya menambah citra dan identitas kota, integrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan sistem nilai dari masyarakat.

- Politico-economic, menyertakan peran dari heritage pada pariwisata, dan kepentingan arkeologi dan kesejarahan.

- Planning factors, terutama dipergunakan pada architectural heritage, redevelopmen dan regenerasi objek heritage untuk dipreservasi serta integrasinya ke dalam proses pengembangan yang lebih besar pada kota secara keseluruhan. Untuk meletakkan isu dari heritage conservation dengan melihat seluruh proses dari pengembangan kota, baik itu berhubungan dengan isu yang lain, seperti pengembangan wisata, revitalisasi dari ekonomi daerah dan pemerintah daerah.

Beberapa contoh dari kota-kota yang telah melakukan heritage conservation Kathmandu: It’s the People’s Heritage (Participation and Awareness-Building)

- Penanggungjawab adalah pemerintah daerah Kathmandu Municipal Corporation (KMC) yang merealisasikan keinginan untuk mengintegrasikan konservasi warisan budaya ke dalam proses yang lebih luas dari komunitas dan partisipasi masyarakat.

- Keterlibatan komunitas sangat penting untuk keberhasilan dari beberapa langkah heritage, dan implikasinya untuk kebanggaan masyarakat dan citra kota.

- Preservasi warisan budaya secara langsung berhubungan dengan ekonomi kota, dan pariwisata menjadi aktivitas yang utama.

- KMC mendirikan Heritage and Tourism Department tahun 1977. Mengembangkan beberapa strategi heritage conservation di antaranya: program pendidikan dan kesadaran untuk publik; heritage tour untuk anak-anak sekolah, media radio dan televisi; partisipasi masyarakat; kerjasama publik-privat; dan financial incentives.

Penang: Preserving for the Future (Institutional and Policy Environment)

- kehidupan kota dengan arsitektur tradisional yang utuh, streetscape dan aktivitas sosio-ekonomi –menjaga nilai jual sebagai ‘produk wisata’.

- untuk mengembangkan dan menjaga identitas urban yang unik, kota difokuskan dengan memperhubungkan perencanaan fisik, kerangka kebijakan, dan master plan untuk menciptakan wilayah urban yang berkelanjutan dan dipertahankan untuk generasi mendatang.

- inisiatif program dan studi yang mengkombinasikan konservasi dengan tujuan luas dari local sustainability.

- mempersatukannya ke dalam rencana dan projek pariwisata, pada dasarnya menambah nilai ekonomi daerah, tetapi lebih untuk masa mendatang.

- inisiatif ekonomi yang berkelanjutan dijamin oleh kerjasama dengan sektor privat dalam bangunan potensi wisata untuk pengunjung dan penduduk setempat.

Manila: Getting the Framework Right (Documentation and Preservation)

- Untuk Pilipina, Intramuros (berarti, di kelilingi dinding) merepresentasikan permulaan dari pendataan sejarah mengenai perkembangan perkotaan (urban development).

- Usaha dalam restorasi dan redevelopmen dari Intramuros dimulai tahun 1965 untuk mencegah kerugian selanjutnya dan menggabungankan ke dalam mainstream dari urban development.

- Usaha dari preservasi Intramuros dilakukan dengan memisahkan urban planning dan biro pengembang bagi kawasan bersejarah. Intramuros Administration (IA) adalah bertanggungjawab untuk redevelopmen dan restorasi.

- Tindakan lain juga telah dilakukan, mengklasifikasi Intramuros sebagai ‘cultural zone’, merencanakan master plan kawasan yang terintegrasi, menghapus tata guna tanah yang tak sesuai, petunjuk perancangan dan peraturan urban streetscape untuk pengembangan mendatang, restorasi bangunan bersejarah, dan sebagainya.

Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan 

Dentoteki Kenzobutsu Gun Hozon Chiki atau preservasi untuk kolompok bangunan bersejarah – Den Ken Chiki – adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang, di bawah badan perlindungan benda cagar budaya. Istilah ‘preservasi’, mencerminkan pandangan statis dari pekerjaan pemerintah terhadap bangunan kuno dan kawasan bersejarah, sedangkan Den Ken Chiki, lebih dinamis secara alami, dengan konservasi kawasan bersejarah meliputi di dalamnya preservasi, restorasi, rekonstruksi dan penataan ulang, pertimbangan ekonomi, sosio-kultural, aspek hukum dan administratif. Perlu untuk diketahui, bahwa di kawasan tersebut, lebih dari 80% rumah tinggalnya sampai saat ini masih bertahan, yang rata-rata dibangun pada era Edo (1596 ~1868). 

Konservasi dan pembangunan berkelanjutan di kota bersejarah Vigan 

Kota Vigan merupakan kota yang terletak di Propinsi Ilocos Sur, Filipina, yang memiliki banyak bangunan bersejarah, yang terdiri dari 180 buah gedung pemerintahan dan rumah ibadah, gudang, taman, yang memiliki arsitektur abad ke-18 dan ke-19, yang merupakan percampuran antara arsitektur Spanyol, Mexico, Cina, dan arsitektur lokal. Penataan Kota Vigan memiliki ciri tata kota Hispanic. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat bertahan dari kerusakan, yang antara lain disebabkan oleh alam, perang dunia dan kebakaran besar yang terjadi pada tahun 1950 hingga 1970 yang menghancurkan banyak bangunan bersejarah. Kebudayaan yang dilestarikan juga termasuk industri tradisional, seperti pembuatan guci, batu bata dan ubin, perabotan kayu, garam, maguey rope, tukang besi, pemotong batu, dan hand-woven abel fabrics. Untuk melindungi warisan budaya sejarah Kota Vigan, maka dilakukan upaya preservasi dan konservasi. 

Pada awalnya (awal tahun 1990-an), usaha pelestarian ini banyak mendapat halangan dari pemerintah lokal dan para pengusaha, untuk mendukung hal tersebut UNESCO memberikan solusi preservasi dan konservasi Kota Vigan, sehingga dapat merubah seluruh kultur masyarakat untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut. Untuk mendukung kegiatan preservasi dan konservasi, para stakeholder lokal perlu meninjau kembali arah pembangunan daerahnya untuk di arahkan ke budaya, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: menarik para wisatawan, pemanfaatan kembali bangunan-bangunan kuno untuk berbagai macam kegiatan (museum, toko, penginapan, kantor, rumah makan, dan sebagainya), revitalisasi seni dan kerajinan tradisional, perbaikan dan pembangunan kembali bangunan untuk melestarikan budaya, mengembalikan keaslian di daerah pusat pelestarian pusat pelestarian (historic core), dan merehabilitasi jalur sungai kuno di sekeliling Kota Vigan untuk menghidupkan kembali industri di sekitar sungai dan mendukung kegiatan pariwisata. Pada kegiatan preservasi dan konservasi akan selalu berkoordinasi dengan badan-badan yang terlibat dalam kegiatan ini, seperti badan internasional, nasional, dan lokal. Penutup Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Banyak contoh kota di dunia yang sudah membagi area/kawasan mana yang perlu dipreservasi dan mana yang tidak. Ke arah mana preservasi kawasan tersebut berjalan, perangkat apa saja yang dibutuhkan, jadi pelestarian bukanlah ceritera masa lalu, atau upaya untuk mengawetkan suatu kawasan bersejarah, namun lebih ditujukan sebagai alat dalam mengolah transformasi kawasan. Upaya tersebut merupakan langkah yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan bagi masyarakat agar lebih baik, dan berdasarkan pada kekuatan-kekuatan aset sejarah lama yang terdapat di kawasannya. Hal ini sebaiknya dititikberatkan pada upaya pemanfaatan yang kreatif melalui pelaksanaan program partisipasi melalui kegiatan ekonomi dan budaya kawasan. Untuk itu, perancangan kota harus menjadi perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru. Dengan demikian, tanggung jawab terhadap pelestarian kota adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan tanggung jawab sektoral, multi dimensi, dan disiplin, serta berkelanjutan (sustainable).

Sumber Acuan

Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus.

Adrisiyanti, I. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Jendela: Yogyakarta.

Budihardjo, E. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta: Djambatan.

Danisworo, M. 1996. Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis Proses, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, VII (22): 70-76.

Farma, A.S. 2002. Strategi Perancangan dalam Meningkatkan Vitalitas Kawasan Perdagangan Johar Semarang. Tesis, Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota – Bidang Rancang Kota, Bandung: ITB.

Pontoh, N.K. 1992. Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori perancangan, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, IV (6): 34-39.

Srinivas, H. 1999. Prioritizing Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region: Role of City Governments, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.

Srinivas, H. 1999. Mediation for Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.

Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources, University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7. Source : Antariksa

SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN SEBAGAI DASAR PERANCANGAN KOTA VIDEO