MASJID SALMAN ITB, TONGGAK ARSITEKTUR MASJID KONTEMPORER DI INDONESIA




MASJID SALMAN ITB, TONGGAK ARSITEKTUR MASJID KONTEMPORER DI INDONESIA

oleh Bambang Setia Budi 

 Bangunan masjid ini layak disebut sebagai satu tonggak arsitektur masjid paling penting bagi pembaruan bangunan masjid-masjid di Indonesia. Tonggak itu dapat dilihat pada upaya pembebasan diri dari tradisi dengan ditinggalkannya (hampir) secara total penggunaan idiom-idiom klasik seperti atap tumpang/tajuk pada masjid-tradisional atau kubah yang sering dianggap sebagai idiom universal dari masjid. 

Masjid Salman ITB – 
Menjadi satu tonggak paling penting arsitektur masjid kontemporer di Indonesia karena totalitasnya dalam upaya pembebasan dari tradisi. Sebutan masjid kontemporer, atau bisa juga modernistik/kiwari merujuk pada rancangan bangunan masjid yang berupaya membebaskan diri dari tradisi, atau paling tidak mere-interpretasi atas bahasa/ungkapan arsitektur yang telah ada/sudah lazim serta berkembang sebelumnya. Wacana desain arsitektur masjid modern oleh para perancang/arsitek masjid saat ini, memang sudah semestinya dilakukan dengan mere-interpretasi ungkapan-ungkapan lama atau bahkan pembebasan tradisi dalam makna pembaruan yang terus menerus. 

Masjid Salman yang dirancang pada tahun 1964 oleh Achmad Noe`man ini, tampaknya telah mampu memecahkan kesunyian penciptaan karya arsitektur masjid-masjid di Indonesia selama hampir lebih dari lima setengah abad. Di sinilah letak monumentalitasnya, artinya karakteristik dan perwujudan dari gagasan bentuk dan ekspresi arsitekturalnya, jelas telah merombak pola-pola lama dalam perwujudan bentuk dan ekspresi masjid-masjid di Indonesia yang telah ada sebelumnya. Gagasan-gagasan totalitas dalam pembebasan tradisi tersebut, termasuk dalam pengambilan pilihan material, teknik dan teknologi membangun masjid pada saat itu, tampaknya menjadi `sangat konstekstual` jika dilihat dari keberadaannya sebagai masjid kampus yang sudah sewajarnya penuh dinamika dan sumber pembaharuan. 

Jelaslah, ia telah hadir secara tepat dalam konteks ruang dan waktunya. Bahkan nama Salman itu sendiri - yang diberikan oleh Soekarno sebagai salah seorang sarjana lulusan Teknik Sipil ITB dan merupakan presiden RI pada waktu itu - cocok dengan bangunan masjid dan bagi lingkungan kampusnya, Institut Teknologi Bandung. Nama Salman merujuk pada seorang teknokrat brilian sahabat Nabi asal Persia Salman Al-Farisi yang mengusulkan gagasan menggali tanah pada perang khandaq (parit) sehingga menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam menahan serangan musuh pada waktu itu. 


***
Faktor penting dalam gagasan pembaruan tradisi berarsitektur, bisa saja lahir dari suatu pemikiran atau pandangan baru yang mendasar dan diyakini secara mendalam pada diri perancang kemudian diterapkan dengan kaidah-kaidah baru sesuai keyakinannya. 

Pada konteks ini, tentu yang dimaksud adalah gagasan baru yang berkaitan dengan arsitektur Islam pada umumnya dan arsitektur masjid khususnya. Jika ditelaah lebih jauh, maka pemikiran modern memang sangat terlihat dalam beberapa tulisan maupun pernyataan arsiteknya. Satu hal dari pemikiran sang arsitek yang paling mendasari perwujudan bangunan itu adalah penentangannya terhadap sikap `taqlid` (imitasi) yakni menerima tanpa dimengerti dalam segala persoalan. Terlebih imitasi dalam dunia desain/arsitektur, tentu sesuatu yang sangat tidak dibenarkan, sehingga pintu ijtihad untuk menghasilkan gagasan-gagasan baru harus selalu dibuka lebar-lebar. 
Arsitek harus selalu berijtihad dengan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan karya-karya yang `excellent`, kreatif dan inovatif sehingga menjadi karya budaya yang bermanfaat bagi diri sendiri dan umat. Menurutnya, tidak ada yang disebut sebagai arsitektur Islam sepanjang suatu ide atau karya tidak mengikuti secara ketat disiplin ilmu arsitektur. Sebab tidak ada satu aturan pun di dalam Al-Qur`an maupun hadits Nabi yang mengharuskan bentuk dan ekspresi bangunan harus mengikuti sesuatu. 

Terlebih jika mengikuti tuntunan hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Dan apabila suatu itu merupakan urusan duniamu, maka engkaulah yang lebih mengetahuinya (berhak menentukannya)”, 
maka muncullah keyakinan bahwa para desainer-lah yang paling berhak menentukan dan menterjemahkannya ke dalam perancangan tanpa harus terikat pada pemikiran-pemikiran tradisi dan budaya sebelumnya. Pandangan terhadap ungkapan-ungkapan arsitektural dari landasan-landasan kelaziman maupun tradisi, jelas telah bergeser kepada interpretasi individual yang bebas. Ini yang menyebabkan gagasan bentuk dan ekspresi masjid tersebut jauh meninggalkan tradisi perwujudan masjid-masjid sebelumnya di Indonesia. Dari sinilah latar kehadiran sebuah karya arsitektur masjid Salman dapat dimengerti. Yang paling monumental pada masjid ini sehingga kehadirannya begitu mencolok yang membedakan dengan yang lainnya adalah pada penampilan bentuk atap masjidnya. Pada saat sebagian besar atap masjid-masjid di Indonesia lainnya berbentuk atap tumpang, kubah, atau kombinasi dari keduanya, maka masjid ini didesain dengan menggunakan atap datar yang setiap ujung atapnya berbentuk melengkung hingga menyerupai sebuah mangkok terbuka.


Eksterior
– Ungkapan bentuk dan ekspresi bangunannya (terutama atap), jelas tidak mudah untuk dipahami oleh masyarakat umum sebagai bangunan masjid 






Gagasan bentuk dan ekspresi atap seperti itulah yang paling memperlihatkan orisinalitasnya karena ketiadaan contoh dan rujukan sejarah pada atap bangunan masjid di Indonesia. Ia juga telah mampu menegaskan kembali orientasi yang benar (kiblat), sehingga tidak lagi terjadi dualisme dengan arah vertikal sebagaimana ekspresi atap masjid-masjid di Nusantara sebelumnya. Menurut sang arsitek, bentuk atap beton yang menggunakan balok beton prestressed dalam grid dua arah yang membentang 25 meter tersebut diinspirasikan dari bentuk negatif atap bangunan Aula Timur – yang menjadi ciri khas atap-atap bangunan kampus ITB – di seberang jalan. Lengkungan atap sebenarnya bukan sekadar mengejar ekspresi bentuk semata, tetapi juga berfungsi sebagai talang besar bagi aliran air dari atap datarnya. Dengan menggunakan balok beton prestressed untuk solusi struktur bentang lebar ini, maka diperolehlah ruang shalat yang luas namun bebas kolom yang selalu menjadi salah satu ciri penting masjid rancangan Achmad Noe`man. 

Masjid inilah yang telah menjadi masjid pertama dalam penggunaan teknik dan teknologi seperti itu di Indonesia. Hal tersebut bisa terjadi tentu karena kemajuan teknologi yang memungkinkannya. Namun, bentuk dan ekspresi seperti itu tampaknya telah menimbulkan keragaman berbagai interpretasi bagi banyak pengamat seperti sebagai abstraksi bentuk telapak tangan yang sedang `berdoa` yang menengadah ke atas atau sebuah `mangkok` bagi ilmu, berkah dan rizki. Dan jika dihubungkan dengan menaranya, bentuk ini bisa juga diinterpretasikan sebagai bentuk huruf `ba` yang mengawali kata `bait` artinya rumah, sedangkan menara `menhir`-nya sebagai huruf alif yang mengawali kata `Allah`, sehingga secara keseluruhan berarti `bait Allah` atau rumah Allah. Yang jelas bahasa atap ini tidak serta merta mudah dipahami oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia sebagai bangunan masjid jika dilihat dari eksteriornya. 

Maka adanya menara di sebelah ujung bagian timur ruang terbuka masjid telah membantu masyarakat mengenalinya sebagai masjid. Elemen menara yang berbentuk menhir dan didesain serasi dengan bentuk masjidnya tersebut memang akhirnya menjadi satu-satunya penanda fisik dari sisi luar bahwa bangunan tersebut adalah masjid. Menara itu juga berfungsi untuk memperluas jangkauan suara adzan dan menjadi landmark kawasan Masjid Salman.


Mihrab – Ruangan mihrab yang dibentuk oleh dinding lengkung dengan tekstur dinding kasar (beton brut). Di atasnya digantung kotak hitam sebagai miniatur ka`bah sebagai aksentuasi  

Meski atapnya datar, rancangan masjid ini tetap dianggap cukup berhasil dan tanggap terhadap iklim tropis, terutama ditunjukkan dengan detail-detail talang air hujan, penggunaan ventilasi silang yang sangat baik dan adanya koridor yang lebar baik di samping kanan, kiri, maupun sebelah timur ruang utama shalat. Koridor-koridor tersebut telah berfungsi menjadi pengganti `overstek` dan sebagai ruang transisi dari ruang luar ke ruang dalam masjid. Yang menarik dari transisi ini adalah timbulnya kejutan ruang yang dinamis akibat adanya ruang koridor timur yang didesain dengan ketinggian rendah - karena adanya mezanin sebagai tempat shalat wanita – dengan skala monumental yang dirasakan ketika mulai memasuki ruang shalat utama. Selain kejutan ruang itu, suasana di dalam ruang shalat utama yang berbentuk persegi itu memang sangat berbeda jika dibandingkan dengan di luar bangunan. Di saat bangunan luar berkesan berat dan dingin karena dari beton, suasana di dalam ruang shalat terasa sangat hangat, akrab dan nyaman karena didominasi pemakaian material kayu jati ekspos baik pada lantai, dinding, dan plafon serta efek lampu temaram yang secara dramatis keluar dari balik persembunyiannya.

Lampu Tersembunyi – Efek cahaya lampu yang dramatis keluar dari celah-celah pertemuan kayu menambah hangat suasana ruangan masjid (Foto: Indra Yudha).




Karakteris
tik lainnya yang tak kalah penting dari rancangan masjid kontemporer ini adalah kuatnya pengaruh modernisme atau langgam `The International Style` pada berbagai perwujudan fisiknya. Hal ini bisa dilihat pada penggunaan bentuk-bentuk kubikal/volumetrik, simplisitas/minimalis, fungsionalisme, prinsip kejujuran material dan struktur, penekanan pada detail-detail dan tanpa ornamen. Pemisahan antara elemen kolom dengan dinding, permainan solid-void, dan detail-detail peralihan bahan sangat jelas memperlihatkan prinsip-prinsip kejujuran material maupun strukturnya. Sedangkan gagasan volumetrik, bentuk-bentuk lengkung, `sculptural effect` dan bahkan penggunaan beton brut pada mihrab, telah secara khusus mengingatkan pada idiom-idiom `Corbuesque` sebagaimana yang tercermin pada bangunan Chapel Notre-Dome-du Haut di Ronchamp, Perancis karya monumental sang maestro Arsitektur Modern Le Corbusier.






Kemegahan Arsitektur Dibalik Dangkalnya Potensi Wisata



Kemegahan Dibalik Dangkalnya Potensi Wisata

Pelestarian bangunan bersejarah di Surabaya timbul tenggelam. Percepatan modernisasi kota, tak seiring sejalan dengan upaya konservasi. Sebagian besar bangunan lama musnah, berganti ruko dan pusat belanjaan. Wajah kota tampak gagah dan megah, tapi miskin akan cita rasa perjuangan.

Sejak pemerintahan Hindia Belanda di Surabaya, ratusan abad lalu hingga awal abad 20, banyak bangunan didirikan untuk kelangsungan kekuasaan, perdagangan, dan pertahanan oleh bangsa kolonial. Bangunan-bangunan itu kokoh nan megah dengan corak arsitektur yang tiada duanya di dunia. Di masa kemerdekaan, banyak tempat dan bangunan itu digunakan sebagai arena bertempur memperjuangkan kemerdekaan. Jadi, selain karena pertimbangan arsitektur yang unik dan langka, juga nilai kesejarahan yang membuat kawasan atau bangunan itu harus dilestarikan sebagai cagar budaya.
Upaya pelestarian itu semestinya harus dilakukan sejak adanya Ordonantie Monumenten Nr 238 tahun 1931, sebagai dasar hukum yang sah ketika pemerintahan Hindia Belanda. Namun perhatian Indonesia baru terasa sejak dibuatnya UU Benda Cagar Budaya No 5 Tahun 1992. Toh, fasilitas hukum ini di Surabaya lemah di lapangan.
Sejak diundangkan perangkat hukum itu, masyarakat Surabaya sebenarnya sudah melakukan upaya-upaya untuk menerapkan tugas UU. Waktu itu, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Paguyuban Pelestarian Arsitektur Surabaya (PPAS) sekarang menjadi Lembaga Pelestarian Arsitektur Surabaya (LePAS), Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Jawa Timur, Dewah Harian Cabang (DHC '45) Surabaya dan Dewah Harian Daerah (DHD '45) Propinsi Jawa Timur, berkumpul untuk merumuskan program dan melakukan berbagai kegiatan untuk mendukung Pemerintah Kodya Surabaya waktu itu.
Berbagai seminar, memberi penghargaan kepada pengelola gedung bersejarah yang memiliki nilai arsitektur tingi, seni dan sejarah yang sangat tinggi sehingga terawat dengan baik, sampai membentuk Tim Cagar Budaya. Tim ini kemudian mengadakan penelitian dan inventarisasi berbagai gedung atau kawasan yang masuk dalam kategori cagar budaya. Realisasinya lalu dituangkan dalam SK Walikota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996, yang menetapkan 61 bangunan sebagai benda cagar budaya, dan SK Walikota Nomor 188.45/004/402.1.04/1988 yang menetapkan 102 lokasi benda dan situs. Dus, dalam dua tahun itu didapat 163 benda, bangunan dan situs yang masuk cagar budaya yang harus dilindungi.
Padahal, bila merunut sejarah panjang Surabaya, tidak menutup kemungkinan terdapat ratusan benda, bangunan atau situs yang dapat digolongkan sebagai cagar budaya. Dan sejak 1988 hingga sekarang, tidak ada pertambahan yang berarti. Sementara perkembangan kota terus berkejaran dengan SK Walikota yang tidak memiliki kekuatan apa-apa di lapangan. Akhirnya, ketidakberdayaan perangkat hukum yang ada tak mampu mencegah terjadinya pembongkaran berbagai kawasan atau bangunan bersejarah.
Keadaan ini diakui oleh Ir Tondojekti, ketua Tim Pelestarian Benda Cagar Budaya Surabaya. Kendala dan kesulitan yang dihadapi sangat banyak, termasuk berganti-gantinya pejabat yang berwenang, tidak adanya instansi khusus yang berwenang menangani, sehingga keberlanjutan usaha perlindungan terhadap benda cagar budaya yang sudah dimulai sejak awal 1990-an menjadi tersendat. Ditambah lagi minimnya dana yang akibatnya tidak bisa dilakukan penelitian dan inventarisasi terhadap bangunan bersejarah lainnya yang masih tersebar.
Selain itu, gejolak politik nasional yang meruntuhkan Orde Baru dan melahirkan Orde Reformasi juga turut menjadi sebab. Masa transisi itu membuat pemerintahan sibuk sendiri dengan soal-soal politik, sekaligus melupakan sektor penting mengenai perlindungan cagar budaya. Di tengah kesibukan seperti itu, berbagai bangunan dirobohkan untuk kepentingan bisnis yang sedang tumbuh di Surabaya. Seperti Pasar Wonokromo dan terakhir Stasiun Semut. Pembongkaran yang terakhir yakni Stasiun Semut seolah menyadarkan pemerintah dan masyarakat dari mimpi, lalu menggerakkan kepedulian kembali akan arti penting bangunan bersejarah yang masuk cagar budaya.
Menyadari keberadaan bangunan bersejarah lain yang terancam musnah, pemerintah segera mengambil inisiatif. SK Walikota sebagai perangkat hukum yang tidak berdaya, akan dikuatkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Ketua Tim Pelestarian Benda Cagar Budaya sekaligus Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Ir Tondojekti, melibatkan masyarakat luas, antara lain kalangan akademis, LSM dan masyarakat untuk menyusun Perda yang hingga kini sedang digodok. "Pak Wali (Bambang Dwi Hartono, red) menginginkan Perda ini segera selesai dan disahkan pada November mendatang, sebagai kado Hari Pahlawan," ujarnya.

Pariwisata
Keberadaan Perda menjadi amat sentral, karena akan menguatkan dan melengkapi SK Walikota yang lemah karena tidak memuat sanksi yang tegas terhadap siapapun yang dengan sengaja memusnahkan benda cagar budaya. Termasuk di dalamnya juga memuat kompensasi yang akan diberikan pada pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya. Sebab, bila tidak ada sanksi yang tegas dan kompensasi yang jelas, kecenderungan pembangunan fisik kota sangat membahayakan posisi aset, seperti bangunan bersejarah baik yang masuk benda cagar budaya atau tidak.
Menurut Budi, Ketua Bidang Sosial Budaya didampingi Ach Migdad, Kasubbid .... Pemerintah Kota Surabaya, dikhawatirkan apabila bangunan-bangunan kuno yang bernilai sejarah atau bangunan kolonial bernilai arsitektur peninggalan Belanda dirobohkan satu demi satu, maka hilanglah aset benda cagar budaya yang berarti hilangnya jati diri bangsa dan budaya, hilang pula wajah Surabaya "tempo doeloe" yang mempunyai nilai historis bagi masyarakat Surabaya dan yang bernilai arsitektur kota.
Dengan demikian akan hilang bukti-bukti fisik yang biasanya digunakan sebagai obyek studi lapangan pada bangunan-bangunan kolonial, umumnya peninggalan Belanda, yang memiliki gaya dan langgam tertentu, yang penting bagi pendidikan arsitektur dan arsitektur kota, atau bagi generasi mendatang yang belajar tentang arsitektur kota. Artinya, potensi pariwisata kota yang terkandung dalam wajah Surabaya "tempo doeloe" dengan arsitektur berlanggam klasik, yang umumnya disukai oleh wisatawan manca negara terutama dari Eropa juga akan hilang.
Kekhawatiran ini menjadi sangat beralasan, ketika Surabaya yang dikenal sebagai kota BUDIPAMARINDA (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan) memiliki kekayaan aset yang sangat besar, tapi tidak cantik sebagai obyek wisata. Seperti diungkapkan Muhtadi, Kepala Dinas Pariwisata (Disparta) Surabaya, kota Surabaya sebenarnya memiliki potensi sebagai obyek wisata yang sangat besar, bila dikembangkan dengan baik. Hanya saja keterbatasan yang membuat tidak mampu menjual obyek-obyek itu, terutama bangunan atau kawasan bersejarah. "Kita belum bisa berbuat banyak kalau menyangkut bangunan bersejarah sebagai obyek wisata, karena upaya pelestarian itu juga belum maksimal. Perdanya saja baru dibuat, jadi kita juga masih menunggu."
Potret kota Surabaya demikian makin menegaskan, pemeo yang berkembang di masyarakat bahwa Surabaya hanya kota transit dan bukan kota tujuan wisata mendekati kebenaran. Orang luar daerah atau wisatawan asing hanya 'lewat' untuk kemudian meneruskan perjalanan kembali ke daerah tujuan wisata lain yang lebih menarik. Aset-aset wisata modern yang menjadi obyek wisata unggulan Surabaya, hampir bisa ditemui di kota besar lain di Indonesia, sehingga tak lagi menarik. Sementara banyak wisatawan asing yang lebih suka mengunjungi obyek bernilai sejarah. Kalau di Blitar sekitar 30 persen wisatawan memilih obyek bersejarah, Surabaya belum ada catatan resmi.
Ketimpangan seperti ini pada suatu waktu akan membentuk karakter kota yang angkuh dan egois, tidak lagi peduli dengan bangunan kuno bersejarah sebagai aset bangsa, tidak menarik untuk berwisata, sebagaimana kota-kota medern lain yang miskin sejarah. Apakah dengan adanya Perda nanti wajah Kota Surabaya akan bisa diselamatkan, masih jadi tanda tanya besar. Jangan-jangan seiring disusunnya Perda, diam-diam ada kawasan atau gedung bersejarah termasuk cagar budaya digerogoti hingga musnah, untuk dibangun gedung baru yang megah, tapi kering akan nuansa.