Secara nalar, alternatif dalam desain dapat dilakukan dengan model berpikir sadar-diri dan introspektif yang dituntut oleh proyek yang mereka kerjakan ke pendekatan tidak-sadar-diri, berbasis-aksi yang alami. Perubahan peran desainer pun ditawarkan oleh Alexander (1964), bahwa pendekatan desain tak sadar berbasis-kriya (craft) harus mengalah pada proses profesionalisasi sadar-diri ketika masyarakat mengalami perubahan yang mendadak dan pesat yang secara budaya tidak dapat diulang kembali (Lawson 2007:25). Akhir-akhir ini arsitek-perancang bergantung hampir sepenuhnya pada metode intuitif, dan kemampuan desain secara luas dianggap sebagai bakat dan sering tidak dapat diajarkan. Pemikiran-pemikian yang konseptualistik pun diberikan dengan ide-ide yang terkadang terlalu idealis antara pemikiran barat dan kearifan local yang tradisionalistik menjadi sebuah permainan arsitektur dalam desain rancangan. Bahkan sekolah Beaux Arts yang sangat berpengaruh menganggap bahwa serangkaian faktor paling penting yang menyebabkan sifat dasar situasi desain adalah faktor yang diasosiasikan dengan hasil akhir atau produk akhir. Di bawah sistem seperti ini, siswa diperkenalkan dengan skema atau projek yang mereka bawa kembali ke studio untuk dikerjakan, dan mereka hanya akan menghubungi tutor mereka dengan serius ketika mereka telah menyelesaikan gambar akhir yang nantinya dikritisi oleh para juri (Lawson 2007:2). Pada akhirnya, berbagai pendapat pun muncul dan salah satunya datang dari Karl Marx dalam Das Kapital mengatakan seekor lebah membuat malu banyak arsitek pada saat ia mengonstruksi sarangnya tetapi yang membedakan arsitek terburuk dengan lebah terbaik adalah sebagai berikut: arsitek membangun strukturnya dalam imajinasi sebelum ia mendirikannya. Pada akhir setiap proses kerja kita mendapatkan hasil yang telah ada dalam imajinasi si pekerja sejak awal (Lawson 2007:2). Dengan demikian, proses imajinasi tersebut terjadi sejak awal dan di tetapkan oleh arsitek, dalam proses perencanaan maupun perancangannya. Imajinasi dengan konsep yang terstruktur maupun intuitif akhirnya juga menjadi bagian dari tahapan berarsitektur. Dengan cara pandang dan pendekatan pemikiran teoritik dan intuitif dipadukan dalam konsep rancangan dalam dua demensi menjadi tiga demensi.
Dalam pemikiran van Peursen (1976) yang dijelaskan dalam Strategi Kebudayaan dapat mengikhtisarkan sikap fungsional dengan satu kata. Yang dipentingkan dalam pikiran mitis ialah “itu ada”, dalam sikap ontologisme “apa itu”, sedangkan dalam pandangan fungsionalis ditanyakan “bagaimana itu ada?”. Apakah pemikiran tersebut juga menjadi bagian yang dapat diterjemahkan dalam pendekatan bahkan pemikiran arsitektur? Hal tersebut dijawab oleh Friederich Nietzsche dengan mengatakan, dunia ini adalah sebuah karya seni yang senantiasa diciptakan kembali. Tetapi, semua ini hanyalah ilusi, tidak lebih tidak kurang. Seluruh kemegahan “karya seni” menciptakan dirinya sendiri: dari diri dan untuk diri. Secara estetis merupakan inovasi yang sangat maju. Ia dianggap sebagai pendiri konsep “aesthetic metacritique” yang melihat “karya seni” sebagai dasar dari kemungkinan kebenaran (Grenz 2001:144). Seperti doktrin mistikal Plato tentang bentuk, dampak yang terjadi kemudian adalah pengikisan nilai (devaluasi) aktivitas seni dan penulisan oleh usaha terus menerus menggapai metafisika kehadiran, keterpisahan mereka dari sumber yang mengakibatkan mereka harus selalu bermain dalam imitasi-imitasi palsu (Noris 2003:81).
Pemikiran fungsionalis
Akan tetapi, dengan pemikiran fungsionalis, tidak berdiri sendiri, tetapi justru dalam suatu hubungan tertentu memperoleh arti dan maknanya. Dengan demikian pemikiran fungsionalis akan menyangkut hubungan, pertatutan dan relasi (van Peursen 1976:85). Istilah “fungsionalis” lalu dapat dijadikan sarana untuk meringkas dan menjelaskan sejumlah gejala modern. Gejala itu juga nampak dalam seni bangunan; bukan gedung sendiri menjadi tujuan, seperti dalam pandangan substansialistis, melainkan “komposisi ruang”, seperti misalnya diperbuat oleh M. Breuer, yang antara lain merencanakan gedung Supermarket di Rotterdam. Menurut van Peursen (1976:95) sebenarnya gedung tersebut ingin memperlihatkan, bagaimana manusia bekerja dan berfungsi di dalamnya, mencetuskan arti kehidupan manusia di dalam gedung itu dan sekitarnya. Karena terlalu memikirkan fungsi, banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut. Justru karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya seni modern hanya merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu kisah atau melambangkan suatu dunia imajiner (Grenz 2001:41). Dalam pandangan arsitek sekarang fungsi masih berperan meskipun permainan bentuk yang estetis menjadi ciri di setiap periode.
Arsitektur yang memiliki kualitas kehidupan adalah arsitektur yang mempunyai kebranian untuk mengakui dimensi spiritual dan transcendental manusia. Dua arsitek yang menonjolkan dalam abad ke-20, orang yang menempatkan kehidupan di pusat visi mereka dan berencana memenuhi persyaratan-persyaratan untuk kehidupan manusia yang bersinar, pada paruh pertama abad itu, adalah Frank Lloyd Wright dan, pada paruh kedua, Paolo Soleri. Sementara Wright merancang rumah-rumah individu yang sangat indah yang dipadukan secara organis dengan lingkungannya, Soleri telah merancang seluruh kota, yang disebut “Arkologi” (suatu gabungan arsitektur dengan ekologi), yang memenuhi tantangan era industrial dengan mencoba memadukan manusia dengan alam dengan cara baru. (Skolimowski 2004:135)
Imajinasi dan kreatif
Inventifitas diperlukan untuk mencapai perombakan dalam pandangan, tidak untuk memusnahkan sesuatu, melainkan untuk mencapai suatu pembaharuan yang menyelamatkan. Inventifitas berarti kaya akal, cerdas yang dapat memuncak menjadi “kreativitas”. Di sini inventifitas sungguh menciptakan sesuatu yang baru. Menurut A. Koestler bila seseorang karena fantasinya yang kreatif dan karena jalan pikirannya yang inventif dapat memasukkan unsur yang sama ke dalam dua sistem yang berlainan, maka unsur tersebut seolah-olah memperoleh sebuah dimensi yang lebih luas, sehingga dapat dipandang dari berbagai sudut dan ini mendekatkan kita pada pemecahan persoalan tersebut. Seperti prinsip arsitektur postmodern adalah semua arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk bangunan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Mereka ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan “apa fungsinya? Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan “bangunan-bangunan yang kreatif dan imajinatif” (Grenz 2001:41). Menurut Lawson (2007:2), hal ini disebabkan karena arsitektur adalah salah satu bidang yang ditempatkan di tengah-tengah yang matematis dan imajinatif. Sebagai ilustrasi dapat menjelaskan hal ini lebih visual lagi. Seorang arsitek, F. van Klingeren, diberi tugas merencanakan bagian pusat dalam sebuah kota; nah, unsur ini, perencanaan berlainan sama sekali. Sang arsitek melihat sebuah lukisan karya Paul Klee. Lukisan tersebut dipandangnya sebagai sebuah peta kota, dikaitkan dengan masalah yang sedang direncanakannya dan ilham ini berkembang menjadi maket pusat kota Lelystad. (van Peursen 1976:153) Memandang yang lama dengan cara yang baru, itu berarti mempertajam inventifitasnya. Kita tidak menambahkan sesuatu kepada pengetahuan kita yang lama, tetapi seluruh persoalan diberi bentuk baru, dilihat dalam kaitan yang baru.
Para arsitek modern mengembangkan gaya yang terkenal dengan International Style (gaya internasional). Arsitek mencari bentuk sederhana yang dapat menyampaikan sebuah makna tunggal. Cara yang digunakan adalah “repetisi” (pengulangan). Karena mereka juga hendak sempurna dalam geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model “dunia lain” (Grenz 2001:39). Geometri bertolak dari konsepsi-konsepsi tertentu, seperti “bidang”, “titik”, dan “garis lurus”, yang kurang-lebih dapat kita hubungkan dengan gagasan-gagasan yang sudah mapan. Geometri juga bertolak dari dalil-dalil sederhana (aksioma) yang melulu karena gagasan-gagasan itu pasti, cenderung kita terima sebagai “benar”. Atau sering disebut sebagai geometri Euklidesan (Einstein 2005:3-4). Dalam studinya tentang “geometri lingkungan” March & Steadman (1974) menjelajahi berbagai penerapan matematika untuk menggambarkan penataan ruang dalam desain. Buku mereka menunjukkan bagaimana geometri dapat digunakan untuk memahami baik hubungan formal abstrak maupun konkret. Cabang-cabang matematika seperti topologi dan aljabar Boolean dapat dipakai pada hubungan-hubungan yang eksis secara terpisah dari ruang tiga demensi. Sementara itu, ilmu geometri yang lebih konvensional dapat digunakan untuk mempelajari transformasi fisik seperti refleksi atau rotasi (Lawson 2007:207). Geometri seharusnya menghindari cara semacam itu agar bangunannya memperoleh kesatuan logis seluas mungkin (Einstein 2005:4-5). Penegasan ini juga dilakukan oleh March & Steadman (1974) dengan menunjukkan bagaimana batasan formal yang ditarik dari prinsip geometri dapat memiliki signifikansi intelektual dan praktis dalam desain (Lawson 2007:208).
Demikian pula, dunia gejala-gejala fisika yang dengan singkat disebut “dunia” (world) oleh Minkowski secara alami adalah empat-dimensi dalam pengertian ruang waktu. “Dunia” ini terdiri atas peristiwa-peristiwa tersendiri, yang masing-masing dideskrepsikan dengan empat bilangan, yakni tiga kordinat ruang x, y, z dan satu kordinat waktu, nilai-waktu t (Einstein 2005:65). Namun menurut Einstein (2005:166) pemikiran di atas ditentang oleh Descartes, yang mengemukakan alasan kira-kira begini: ruang itu identik dengan perluasan, tetapi perluasan terhubung dengan benda-benda; dengan demikian, tidak ada ruang tanpa benda-benda dan karena itu tidak ada ruang hampa.
Pemikiran dalam postmodernisme
Pada dasarnya Grenz (2001:200) menjelaskan, bahwa sebenarnya ada tiga tokoh yang menonjol sebagai pemikir postmodernisme, yaitu Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty. Mereka bertiga adalah trio nabi postmodernisme, kadang-kadang bernyanyi bersama dengan harmonis, tetapi lebih sering menghasilkan musik yang tidak harmonis yang merupakan ciri postmodern. Postmodernisme tidak mempunyai dunia pemikiran. Intinya adalah penolakan adanya realitas yang utuh sebagai objek dari persepsi kita. Postmodern menolak usaha untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal. Secara khusus, era postmodern menandai berakhirnya konsep “universe” – berakhirnya cara pandang yang total dan utuh (Grenz 2001:68). Dalam beberapa contoh misalnya, arsitektur postmodern sengaja memberikan ornament (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Ditekankan kembali oleh Grenz (2001:40) bahwa arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik gaya seni tradisionil, sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni tradisionil. Hal itu juga ditegaskan oleh Umberto Eco (2004:375) bahwa elemen-elemen ini tidak memiliki fungsi struktural: elemen-elemen tersebut tidak menyokong apa pun. Elemen-elemen tersebut murni dibubuhkan sebagai perhiasan, seraya berlagak memiliki fungsi. Di dalam kasus-kasus tertentu, bahkan terjadi pembunuhan arsitektur. Hanyalah style-nyalah yang diberi kesempatan hidup.
Oleh karena itu, Jones (1970) menegaskan: “mendesain bukan lagi sekedar meningkatkan stabilitas dunia buatan manusia: mendesain berarti mengubah, secara lebih baik atau lebih buruk, hal-hal yang menentukan arah perkembangannya” (Lawson 2007:125). Demikian arsitektur bertutur untuk menjawab dimensi keruangan alam semesta ini. Perjalanan pemahaman dan pemikiran telah berlangsung lama dalam merancang lingkungan maupun bangunan. Pemikiran dan teori berkonsultasi menjadi sebuah konsep yang harus diimplementasikan dalam sebuah rancangan. Nuansa pendekatan akademis dan intuitif menjadi sebuah komponen dalam perjalanan ‘berarsitektur’, kapan harus dimulai dan kapan harus diakhiri.
Sumber Pustaka
Eco, U. 2004. Tamasya Dalam Hiperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.
Einstein, A. 2005. Relativitas: Teori Khusus dan Umum. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Grenz, S. J. 2001. A Primer on Postmodernism, Pengantar untuk Memahami Postmodernisme. Yogyakarta: Yayasan ANDI.
Lawson, B. 2007. Bagaimana Cara Berpikir Desainer (How Designer Think). Yogyakarta: Jalasutra.
Noris, C. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jaques Derrida. Jogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz.
Skolimowski, H. 2004. Filsafat Lingkungan. Yogyakarta: Bentang.
Van Peursen, C. A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.