”Quo Vadis” Arsitektur Indonesia
Oleh Yustinus Ade Stirman Setiap tanggal 5 Juni, kita memperingatinya sebagai Hari Lingkungan Dunia. Menyambut hari lingkungan ini, ada baiknya kita melihat kembali perjalanan arsitektur dan kota Indonesia yang saat ini kondisinya lagi linglung, tidak lagi mencerminkan kepribadian bangsa.
Arsitektur dan kota, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan yang melambangkan atau mencerminkan masyarakat penghuninya. Bahkan arsitektur dan kota menggambarkan citra suatu kota atau bangsa. Kota Roma, misalnya, sangat terkenal dengan arsitek bangunannya yang kokoh, megah yang umurnya sudah berabad-abad, merupakan warisan sejarah kejayaan bangsa Romawi.
Bangunan yang kokoh dan megah itu, melambangkan citra orang Italia yang pada masa jayanya terkenal sebagai bangsa yang memiliki prajurit atau bala tentara yang tangguh tak terkalahkan di medan perang, yang
berhasil menaklukkan dunia pada saat itu. Kepribadiannya sebagai bangsa yang kokoh dan tangguh itu, tercermin dalam arsitektur yang kokoh dan tangguh sebagai bangsa yang besar.
Hal yang sama juga terlihat pada arsitektur dan kota di Indonesia khususnya di Pulau Bali. Hanya bedanya, arsitektur kota Bali yang penuh dengan lukisan, ukiran, patung-patung yang bernilai seni tinggi mencerminkan penduduknya yang mencintai dan menjunjung tinggi nilai seni dan keindahan yang diwariskan nenek moyangnya secara turun-temurun.
Citra penduduk Bali yang menyukai dan menghayati nilai-nilai seni itu terwujud dalam arsitektur bangunannya yang sarat dengan seni.
Romo Y.B. Mangunwidjaya (almarhum) salah seorang pakar arsitek nasional, mengemukakan dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan merancang karya yang bernilai arsitektur; yaitu guna dan citra. Guna menunjukkan pada keuntungan, pemanfaan dan pelayanan yang dapat kita peroleh dari bangunan. Guna dalam arti aslinya, tidak hanya
bermanfaat tetapi juga punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih nyaman.
Sedangkan citra menunjukkan suatu gambaran (image), suatu kesan penghayatan yang mempunyai arti bagi seseorang. Misalnya, citra gedung istana yang megah melambangkan kemegahan, kewibawaan seorang kepala negara. Sedangkan gubuk yang reyot adalah citra yang menggambarkan penghuninya yang miskin serta reyot juga keadaannya.
Singkatnya, kalau arsitektur dan kota kita kacau-balau, hal ini kemungkinan besar merupakan pencerminan yang wajar dan jujur dari keadaan masyarakat yang sedang linglung. Dan inilah gambaran arsitektur dan kota Indonesia saat ini sebagai bangsa yang linglung yang kehilangan jati dirinya.
Pada masyarakat tradisional, kegiatan merencana, merancang, melakukan dan mengelola lingkungan buatan merupakan kegiatan swadaya dan swakarsa lokal dari penduduknya. Dengan demikian, lingkungan fisik yang terbentuk betul-betul secara wajar dan pas mewadahi aktivitas manusia yang menghuninya dengan segenap tata cara dan adat istiadatnya.
Keselarasan, keserasian dan keseimbangan ekologis pun lantas muncul dengan sendirinya secara spontan tanpa kehadiran perencana formal. Karya arsitektur dan kota lebih merupakan karya komunal dari penduduknya yang saling kenal dan memiliki warisan norma, tata nilai, dan tradisi yang disepakati bersama.
Pada masyarakat kontemporer, keadaan tersebut telah mulai masuk menjadi bagian dari sejarah masa lampau pengelolaan pembangunan dalam arti luas, yang cenderung kesan canggih yang didominasi para pakar dan pimpinan daerah selaku pembuat kebijakan yang begitu terobsesi untuk membangun tanpa memperhatikan kaidah, budaya atau lingkungan sekitarnya.
Arsitektur dan kota yang carut-marut itu terjadi karena adanya kesenjangan antara pihak yang memikirkan dan menyediakan fasilitas dengan pihak yang menggunakan fasilitas. Kesenjangan tersebut menyebabkan pembangunan yang telah dilaksanakan kadang-kadang bahkan sama sekali tidak menyentuh atau memenuhi harapan dari masyarakat yang memanfaatkannya.
Sebagai contoh di DKI Jakarta, misalnya, boleh dibilang arsitektur bangunan yang ada tidak lagi mencerminkan kepribadian penduduk Betawi sebagai penduduk asli kota Jakarta. Kalau kita lihat gedung-gedung bertingkat di bilangan Sudirman, Kuningan, Bundaran Hotel Indonesia, tidak lagi mencerminkan citra penduduk Betawi atau bangsa Indonesia. Hampir tidak ada satu pun gedung yang arsitekturnya khas Betawi. Yang ada hanya gedung pencakar langit yang arsitekturnya lebih mencerminkan citra bangsa Barat.
Sampai-sampai Friedrich Silahan, salah seorang pakar tata kota Indonesia, menuding semua bangunan bertingkat di sepanjang Jalan Thamrin Jakarta sebagai bangunan yang tidak berkepribadian Indonesia. Semua bangunan pencakar awan itu, tidak akan terasa aneh bila ada di Singapura, Hong Kong, AS atau Eropa.
Tidak hanya itu, demam arsitektur ala Barat juga merambah bangunan perumahan elite di DKI Jakarta dan sekitarnya. Rumah tipe Spanyol dan Italia menjadi primadona yang selalu menjadi incaran mereka yang berkantong tebal.
Orang merasa bangga tinggal di perumahan elite gaya Spanyol, ketimbang di perumahan khas Indonesia yang arsitekturnya dinilai kuno dan kolot. Di sini kita tidak lagi menghargai arsitektur sebagai warisan nenek moyang kita malah bangga dengan arsitektur barat. Padahal arsitektur itu belum tentu cocok dengan budaya dan iklim Indonesia.
Banyak perencanaan arsitektur dan kota yang dikerjakan tidak atas dasar cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi dan prostitusi yang bermotif komersial. Contohnya, penunjukan konsultan sering tidak didasarkan atas pertimbangan prestasi dan referensi pekerjaan yang telah dilakukan, tetapi kebanyakan karena kondisi dan komisi hasilya, sebuah karya berkualitas rendah.
Fragmentalisme dalam karya arsitek mengakibatkan bahwa arsitek berlomba-lomba untuk menciptakan monumen untuk dirinya sendiri tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya. Contohnya di sepanjang Jl. MH Thamrin Jakarta, setiap bangunan seolah ingin bicara dengan nada dan warna sendiri, kesan kesatuan tidak ada. Yang ada hanyalah suasana semrawut.
Parahnya lagi, para penentu kebijakan yang berada di pemerintahan kurang peka lingkungan, dan menderita obsesi membangun yang kelewatan. Contohnya, taman sebagai paru-paru kota berubah fungsi menjadi kawasan pertokoan atau perumahan.
Carut-marutnya arsitektur Indonesia saat ini memang tidak sepenuhnya merupakan kesalahan para arsitek.
Artinya kesemrawutan lingkungan buatan itu karena kesalahan para arsitek. Seolah-olah kelompok arsiteklah yang paling pantas untuk dituding dengan menjamurnya bangunan bergaya Moorish, dengan kolom dorik/lonik/korintian atau bangunan semacam kapsul ruang angkasa, dan lain-lain yang tidak ada silsilahnya di bumi Indonesia.
Meskipun demikian, bukan berarti para arsitek cuci tangan atas semuanya itu. Kalau mau jujur, sebenarnya para arsitek selama ini terbukti cukup banyak melakukan kesalahan. Tidak sedikit di antaranya yang terpaku dengan inovasi dan teknologi maju yang diagungkan sebagai cerminan modernitas. Estetika dilihat hanya sekadar sebagai falsafah, bukan sebagai suatu yang bermakna bagi masyarakat sendiri. Penekanan lebih condong pada struktur dan fungsi, sementara fiksi arsitektur dan intrikasi visual, seperti yang selalu ditemui pada bangunan tradisional hanya dipandang dengan sebelah mata.
Selain itu, kesalahan para arsitek yang lain adalah bahwa faktor manusia dalam perencanaan sering diabaikan. Keberhasilan dan kegagalan dari suatu karya arsitektur lebih banyak dinilai dari segi fisik dan visual saja daripada kaitannya dengan kekhasan dan perilaku manusia yang menggunakannya.
Untuk mengatasi kesemrawutan arsitektur kota Indonesia, menuju arsitektur yang serasi, selaras dan seimbang dengan iklim dan budaya bangsa Indonesia, maka yang perlu dilakukan adalah menggali arsitektur tradisional yang masih kita miliki.
Napas dan jiwa arsitektur tradisional perlu ditangkap dan diejawantahkan kembali ke dalam wadah yang benar.
Arsitektur tradisional sebagai salah satu bentuk warisan budaya yang tak ternilai adalah merupakan pengendapan fenomena dari waktu ke waktu yang berlangsung secara runtut dan revolusioner. Hanya saja masalahnya sekarang penelitian tentang arsitektur tradisional masih seperti embrio sementara perkembangan dan perubahan dan berlansung sangat cepat.
Selain itu, perlunya peran aktif segenap pihak. Dari pemerintah diharapkan adanya usaha penyempurnaan monumenten ordonantie 1931 disertai dengan development control yang terarah. Pemerintah perlu diimbau agar lebih peka terhadap lingkungan, tidak main bongkar saja, dengan dalih modernisasi.
Sementara dari pihak masyarakat sediri perlu dipupuk rasa kebanggaan dan kecintaan terhadap tradisi tata cara hidup dan budaya mereka masing-masing yang antara lain tercermin dalam khazanah warisan arsitektur daerahnya.
Tidak hanya itu, di perguruan tinggi perlu dikembangkan studi tentang arsitektur khas Indonesia, khususnya untuk bidang studi planologi.
Dalam rangka menyambut Hari Lingkungan Dunia kali ini, sudah saatnya para arsitek membumikan diri sehingga bisa mengungkapkan budaya bangsa secara baik dan benar lewat karya arsitekturnya yang mencerminkan citra bangsa Indonesia. Semoga!
*Penulis adalah mahasiswa program pascasarjana ilmu lingkungan Universitas Indonesia.
”Quo Vadis” Arsitektur Indonesia VIDEO