Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan
Antariksa
Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya penegasan bahwa: - setiap kota pasti mempunyai sejarah; - di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan; - bagaimana kota itu mesti dibangun dan dikembangkan; - kegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya). Dengan demikian perkembangan dan perubahan yang terjadi akan memberikan makna atau arti bagi kota itu sendiri.
Perkembangan kota-kota telah terjadi dan pada akhirnya, memunculkan adanya dua teori:
1. Pertama, teori pemencaran (diffusionist theory) yang berpendapat bahwa gagasan pengembangan kota dipencarkan dari suatu wilayah peradaban atau kebudayaan ke wilayah lain di muka bumi ini.
2. Kedua, teori penemuan (inventionist theory) yang mengatakan bahwa gagasan pengembangan kota dapat saja timbul di suatu wilayah tertentu di muka bumi ini.
Menurut Giedeon Syoberg (1965), pola ruang sirkular, telah lama ada, mencerminkan adanya pemusatan kekuasaan dalam masyarakat pra-industri sebagai panutan dan pengendali, yang secara spasial maupun secara sosial, merupakan pola pusat dan pinggiran (center dan periphery). Ini berarti bahwa puncak kekuasaan berada di tengah ruang kota, dan semakin jauh dari tengah kota semakin rendah, sedangkan tentang pola ruang kota berbentuk papan catur atau grid (grid-pattern).
Oleh Stanislawski (1946) ditegaskan, bahwa pola ruang grid telah dikembangkan berikut landasan konsepnya dan dipakai pada kota Mohenjo Daro, bukan pada kota-kota pertama atau lebih tua, seperti di wilayah Mesopotamia dan di lembah Nil.
Menurut Spiro Kostof (1992), ciri-ciri kota adalah suatu tempat, berkembang dalam kelompok, mempunyai batas keliling, mempunyai berbagai jenis lapangan kerja, membutuhkan sumber daya, tergantung pada tata tulis, membutuhkan wilayah pendukung, memerlukan identitas monumental, terdiri atas manusia dan bangunan.
Namun menurut cara pandang sistem ruang kota atau permukiman terdapat empat unsur-unsur ruang yang saling berkaitan dan mendukung (Doxiadis 1968), yaitu
1. unsur ruang pusat (central part);
2. unsur ruang homogin (homogeneous part);
3. unsur ruang khusus (special part);
4. unsur jaringan sirkulasi (circulatory part).
Hasil penelitian Sjoberg dan Stanislawski di atas, bisa mendasari asumsi berikut ini: Pada dasarnya kota-kota pra-industri di manapun mempunyai struktur dasar perkotaan yang sama, maka pengetahuan pembangunan kota dan patokan penataannya dapat dipinjam dapat dipinjam untuk pembangunan kota lain. Secara hipotetis kemudian dapat dikatakan bahwa segenap bentuk pengetahuan, konsep, dan patokan tata ruang kota yang dipinjam dari ‘orang lain’, dalam penerapannya bagi masyarakat ‘sendiri’ akan memerlukan penyesuaian-penyesuaian.
Ada atau tidaknya pengaruh luar terhadap pertumbuhan kota:
Pertama, penganut teori difusi (diffusion) atau penyebaran gagasan dan temuan teknologi (dispersionist atau diffusionist) dalam perkembangan kota.
Kedua, penganut keyakinan akan adanya simpul-simpul komunitas di muka bumi ini yang secara mandiri memiliki akal unggul (inventionist) pendorong lahirnya kotakota dapat dilihat melalui dua golongan, yaitu golongan pertama, terjadinya kota merupakan regional.
Namun lahir dan terjadinya sebuah gejala berantai, antar budaya dimuka bumi, berupa penyebaran. Pengembangan kota dipandang sebagai suatu cara untuk untuk mengatasi persoalan demografis dan geografis setempat.
Golongan kedua, lahirnya suatu kota berdasarkan pemikiran atau penemuan masyarakat setempat, tanpa dipengaruhi faktor luar. Kelahiran kota disuatu wilayah dipandang sebagai peristiwa independen terhadap pengaruh luar.
Sejarah perkotaan sebuah pembelajaran
Kota besar seperti Roma dan London telah ada ribuan tahun, di era modern semenjak tahun 1800, telah menjadi bagian yang signifikan dari populasi total masyarakat yang berdiam di perkotaan. Pada tahun 1800, sekitar 3% dari populasi dunia tinggal di perkotaan, dari sekitar 5000 atau lebih; Di tahun 1900 proporsi tersebut meningkat menjadi 13,6%. Great Britain, membawa perhatian dunia, dengan urban proportion mencapai 80% di tahun 1921.
Apakah dimaksudkan kota lebih menarik dalam masyarakat kita, dibanding pada periode awal sejarah?
Apakah naiknya konsentrasi dari penduduk dimaksudkan bagaimana mereka berpikir dan bertindak?
Di era modern, mengapa beberapa kota tumbuh dan menjadi makmur dan lainnya mandek atau menurun?
Bagaimana kehidupan di metropolis, city, atau town berbeda dari kehidupan di village atau country?
Membangun kota di abad ke-20-an
Kota dan modernisme
a. Proses dari urbanisasi
Perkembangan perkotaan di abad ke-20 ditandai dengan munculnya giant urban agglomeration, housing millions of residents, dan spread out an immense amount of space. Jumlah terbesar adalah di Asia (lima kota) dan Amerika Latin (empat kota), dipimpin oleh Tokyo-Yokohama dengn 27 juta, dan Mexico City dengan 21 juta.
b. Bentuk urban
Aglomerasi besar selalu berhubungan pada “city-regions”, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jane Jacobs. Aglomerasi ini termasuk keduanya, pusat kotakota.
Bentuk dari city-region mempunyai karakter; - pada pusat kota lama; - konsentrasi yang sangat besar dari corporate towers; - dalam suburban; - kepadatan tempat tinggal rendah dan commercial sprawl; dan - pusat perbelanjaan sering kali di tengah. Sekarang dinamakan “Edges Cities”, “technoburbs”, yaitu merupakan:- kombinasi high-tech business, - dan beberapa fungsi-fungsi tempat tinggal serta komersial, - serta jauh dari pusat kota yang asli.
City-regions umumnya bukan karena political, tetapi dibuat oleh lusinan pemerintah lokal yang berjuang dengan penuh semangat untuk mempertahankan independen dari pemerintah pusat,dan mereka bukan keseluruhan dari bagian unit sosial dan ekonomi yang sama.
Ada empat karater dari American suburbanization:
1. low residential density;
2. high home ownership rate; 2. jarak yang tajam antara pusat kota yang relatif miskin dan wealthy suburbs; dan
3. the long length of daily journey to work.
c. Arsitektur modern
Arsitek dan perencana berpengaruh terutama sekali dalam menetapkan bentuk kota di abad ke-20.
Para modernis menolak penggunaan historical allusion dalam arsitektur, dalam prinsip desain yang berhubungan pada bentuk-bentuk industri “machine aesthetic”. Pengaruh dari Le Corbusier (1887~1968), yang menekankan purity of form dalam desain.
d. Lansekap sosial
Percampuran etnik dan ras di kota-kota besar Kanada secara dramatis telah berubah dalam lima tahun terakhir (British dan Franch di Montreal).
Corak multikultural dari kota-kota besar tidak seperti kota-kota kecil, towns, dan countryside, yang membuat sangat kontras antara mereka dan metropolis. lama dan komunitas suburban yang baru, yang telah tumbuh jauh melewati batas
Persepsi budaya dalam urbanisme
Persepsi kebudayaan dari kota-kota dapat digunakan pertama, untuk antropologi seperti ditegaskan oleh Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktivitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah, masyarakat di perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di mana budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik.
a. Urbaniti sebagai sebuah budaya
Lewis Mumford dalam The Culture of Cities (1938) melakukan pendekatan interdisipliner antara lain ahli filosofi, sejarah, kritik sastra, sosial, kritik arsitektur, dan perencana:
1. Dalam pandangannya, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat. Kota……adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti;
2. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu;
3. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways;
4. Max Weber, dengan peran budaya terhadap kota dalam The City (1905), mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity) – wujud kosmopolitan dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah;
5. Dalam Community Design and the Culture of Cities (1990), Eduardo Lozanourbanity sama seperti city dengan civilization. Argumentasinya, bahwa urbane community (komunitas yang berbudi) adalah salah satu yang menawarkan wargakota berbagai lifestyles – kesempatan untuk memilih, bertukar dan interaksi. Lozano percaya bahwa, bentuk ideal era sebelumnya dari sejarah perkotaan, seperti order (aturan) dan diversity (perbedaan), harus diintroduksi kembali ke dalam kota-kota yang berkharakter membosankan dan membingungkan. William Sharpe dan Leonard Wallock dalam Visions of the Modern City (1983), dalam pengantarnya menjelaskan bahwa, kota telah terlihat sedikitnya sebagai pemandangan sosial dan psikologi, keduanya memproduksi dan merefleksikan kesadaran modern;
6. Contoh lain adalah issue spesial dalam Journal of Urban History berjudul “Cities as Cultural Arenas”. Beberapa tingkat dari urban self-perception menjelajah dari kota pencerahan (enlightenment) abad ke-18 ke idea kota “decomposition” di abad ke-20;
7. Konsep provokatif dari urbanity yang menekankan perbedaan-perbedaan daripada komunitas (Thomas Bender). Bender percaya bahwa, notion dari komunitas bukan salah satu yang efektif dapat diterapkan pada pusat-pusat perkotaan yang besar, bila oleh komunitas dimaksudkan ikatan dari penduduk dari kesamaan ketertarikan dan nilai-nilai. Argumentasinya, bahwa notion of the city secara kolektif didasari oleh perbedaan daripada kesamaan. melihat
b. Seni sebagai budaya
Hubungan antara kota-kota dan budaya dikembalikan pada asal dari kota itu sendiri. Penataan perkotaan memberikan kekayaan, kesenangan, dan konsentrasi dari penduduk yang kreatif memproduksi seni seperti di Renaissance Florence.
1.Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya;
2. Menurut Jon Caufield, beberapa lukisan terlihat “menangkap atau melambangkan aspek krusial dari pengertian kota baru”;
3. Public art secara tradisional memberikan rasa pada kota sebagai dunia kolektif dan tempat berbagi. Selalu terdapat patung yang menyimbolkan figur-figur mitologi sebagai even yang penting bagi negara atau kota pada masa lalu. Modernisme cenderung untuk menghancurkan peran budaya dari public art dengan merusak gagasan dari ruang publik sebagai lahan bersama. Ahli perkotaan
c. Warisan sebagai budaya
Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah. Di Amerika Utara, permukiman perkotaan selalu diberikan prioritas untuk tumbuh daripada mempertahankan masa lalu. Gertrude Stein menaksir kota-kota di wilayahnya merupakan tipikal dari perilaku modernis: New York, San Fransisco, dan Cleveland. Puncak pelanggaran terjadi di tahun 1960-an ketika beberapa bangunan di seluruh wilayah dihancurkan dengan alasan bahwa sudah lama bertahan dalam perjalanannya dan tidak dapat diselamatkan nilainya. Apa yang disebut dengan “paradigm shift”, yang juga terjadi di tahun 1960-an, yaitu wargakota dan para professional untuk melihat kota-kota dengan cara pandang baru. Sebagai contoh, Jane Jacobs dalam The Death and Life of Great America Cities (1961) mengatakan, praktek perencanaan konvensional dengan memberikan saran/usulan/anjuran bahwa resep atau ketentuan perencana untuk merevitalisasi kota-kota pada kenyataannya akan membunuh mereka sendiri.
Sebagai contoh: - Di New York, lahan/tanah menjadi pertempuran hebat melawan real estate, yang memandang preservasi bangunan bersejarah sebagai pelanggaran dari properti (milik) mereka. - Penghancuran stasiun Pensylvania di tahun 1963, walaupun secara luas dikampanyekan untuk dilindungi, surat kabar New York Times mengutuk hal itu sebagai “monumental act of vandalism…..
Sumber Pustaka
Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Catanese, A. J. & J. C. Snyder. 1989. Perencanaan Kota. Eds. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni.
Evers, H.-D. & R. Korff 2002. Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gallion, A. B. & S. Eisner 1992. Pengantar Perancangan Kota. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Hermanislamet, B. 1999. Tata Ruang Kota Majapahit, Analisis Keruangan Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Disertasi, Tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Lynch, K. (1987). Good City Form. Cambridge: The MIT Press.
Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar sosiologi kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Peresthu, A. 2004. Globalisasi dan Transformasi Urban. Network: ALFA-Ibis Research
Spreiregen, P. D. 1965. Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company.
Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7.
Yunus, H. S. 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan VIDEO