"Modern Movement in Indonesian Architecture","Perkembangan Arsitektur di Indonesia"
Meletakkan Situs Majapahit Dalam Tataran Pelestarian Budaya
Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan
Antariksa
Dalam pemikiran Syoberg (1960), ada tiga prasyarat utama untuk dapat lahir dan berkembangnya kota praindustri, yaitu
1, adalah lingkungan ekologis yang mendukung;
2, adalah teknologi, dan
3, adalah organisasi yang memiliki struktur kekuasaan (power structure) nyata.
Ketiga persyaratan di atas harus dipenuhi untuk melahirkan entitas komunitas yang disebut
- lingkungan ekologis berupa lahan yang sesuai serta kondisi iklim yang cocok sangat diperlukan bagi kehidupan penduduk; dan
- teknologi pertanian mendukung budidaya pertanian, mengatasi kebutuhan pergerakan manusia.
Apa yang oleh Gordon Childe (1957), disebutkan sebagai “pekerjaan umum” (public works) meliputi prasarana perkotaan, seperti jalan, persediaan air (water supply) dan pematusan (drainage), kompleks permukiman dan bangunan-bangunan umum peribadatan, candi dan monumen-monumen. Organisasi sosial yang cukup maju sebagai wahana ekonomi dan politik.
Definisi
Batasan
Penelitian Giedeon Sjoberg (1965) dan Spiro Kostof (1992), memberikan rangkuman kesimpulan hipotetis yang lebih luas, di antaranya, yaitu bahwa kota-kota praindustri di mana saja, di Eropa, di India atau di Cina, mempunyai pola dasar keruangan yang sama, baik berkaitan dengan struktur sosial maupun struktur ekonomi, kecuali bagi unsur kota yang memiliki kandungan nilai budaya khusus. Adanya nilai budaya yang bersifat khas dalam masyarakat
Pola
Secara teoritis pemakaian pola ini didasari atas dua macam pertimbangan (Stanislawski, 1946):
Pertama, adalah alasan efisiensi penggunaan ruang, berkaitan dengan anggapan bahwa bangunan pada umumnya berbentuk persegi (rectangular).
Kedua, adalah alasan berkaitan dengan penyiapan jalan untuk keperluan barisan prosesi memanjang dan lurus (straight processional street).
Dari Mohenjo Daro, pola kota ini menyebar ke berbagai wilayah, ke arah barat ke negara-negara Timur Tengah, seperti Yunani dan Romawi serta kemudian, ke negara Eropa lainnya, danke arah timur, meliputi bagian India lainnya, dan Cina. Penyebaran tersebut juga disertai segenap konsepsi, nilai manfaat strategis beserta persyaratannya.
Selanjutnya, Stanislawski (1946) merumuskan beberapa butir pokok pola
Pertama, pola
Kedua, pola
Ketiga, pola papan catur dapat diterapkan dalam pembangunan kota-kota satelit atau
Keempat, pola ini cocok untuk menyiapkan gubahan ruang
Kelima, agar pemanfaatan pola
Pola tengah dan lingkaran tepian
Pola sirkular, yang lahir kemudian merupakan upaya alternatif untuk menghindari pola ruang geometris yang cenderung kaku kurang individual, namun kemudian pemanfaatan pola sirkular untuk mewadahi pandangan kosmologis. Paham ini bahkan menempatkan penguasa atau raja pada kedudukan puncak pada pusat lingkaran pengaruh kuasa, yang dikenal dengan lingkar mandala.
Konsep kosmologis dalam penataan
a. Proses dari urbanisasi
b. Bentuk urban
City-regions umumnya bukan karena political, tetapi dibuat oleh lusinan pemerintah lokal yang berjuang dengan penuh semangat untuk mempertahankan independen dari pemerintah pusat,dan mereka bukan keseluruhan dari bagian unit sosial dan ekonomi yang sama.
1. low residential density;
2. high home ownership rate; 2. jarak yang tajam antara pusat
3. the long length of daily journey to work.
c. Arsitektur modern
d. Lansekap sosial
Percampuran etnik dan ras di kota-kota besar Kanada secara dramatis telah berubah dalam
Persepsi kebudayaan dari kota-kota dapat digunakan pertama, untuk antropologi seperti ditegaskan oleh Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktivitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah, masyarakat di perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di mana budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik.
a. Urbaniti sebagai sebuah budaya
1. Dalam pandangannya,
2.
3.
4. Max Weber, dengan peran budaya terhadap kota dalam The City (1905), mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity) – wujud kosmopolitan dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah
5. Dalam Community Design and the Culture of Cities (1990), Eduardo Lozanourbanity sama seperti city dengan civilization. Argumentasinya, bahwa urbane community (komunitas yang berbudi) adalah salah satu yang menawarkan wargakota berbagai lifestyles – kesempatan untuk memilih, bertukar dan interaksi. Lozano percaya bahwa, bentuk ideal era sebelumnya dari sejarah perkotaan, seperti order (aturan) dan diversity (perbedaan), harus diintroduksi kembali ke dalam kota-kota yang berkharakter membosankan dan membingungkan. William Sharpe dan Leonard Wallock dalam Visions of the Modern City (1983), dalam pengantarnya menjelaskan bahwa, kota telah terlihat sedikitnya sebagai pemandangan sosial dan psikologi, keduanya memproduksi dan merefleksikan kesadaran modern;
6. Contoh lain adalah issue spesial dalam Journal of Urban History berjudul “Cities as Cultural Arenas”. Beberapa tingkat dari urban self-perception menjelajah dari
7. Konsep provokatif dari urbanity yang menekankan perbedaan-perbedaan daripada komunitas (Thomas Bender). Bender percaya bahwa, notion dari komunitas bukan salah satu yang efektif dapat diterapkan pada pusat-pusat perkotaan yang besar, bila oleh komunitas dimaksudkan ikatan dari penduduk dari kesamaan ketertarikan dan nilai-nilai. Argumentasinya, bahwa notion of the city secara kolektif didasari oleh perbedaan daripada kesamaan.
1.Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa
2. Menurut Jon Caufield, beberapa lukisan terlihat “menangkap atau melambangkan aspek krusial dari pengertian
3. Public art secara tradisional memberikan rasa pada
Sumber Pustaka
Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa.
Catanese, A. J. & J. C. Snyder. 1989. Perencanaan Kota. Eds. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat
Evers, H.-D. & R. Korff 2002. Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial.
Gallion, A. B. &
Hermanislamet, B. 1999. Tata Ruang Kota Majapahit, Analisis Keruangan Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Disertasi, Tidak dipublikasikan.
Lynch, K. (1987).
Nas, d. P. J. M. 1979.
Peresthu, A. 2004. Globalisasi dan Transformasi Urban. Network: ALFA-Ibis Research
Spreiregen, P. D. 1965. Urban Design: The Architecture of Towns and Cities.
Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of
Beberapa Pemikiran Dalam Desain Arsitektur
Antariksa Pemikiran-pemikiran dalam desain arsitektur telah berkembang menjadi doktrin-doktrin yang banyak digunakan dalam merancang bangunan. Proses ini menjadi bagian dari perkembangan pemikiran arsitektur Barat yang banyak diserap dan digunakan dalam merancang bangunan, tentu saja dengan kelebihan dan kekurangannya. Kemudian Jones (1970) merangkum baik kelebihan dan kekurangan pendekatan terhadap desain ini dalam sebuah penggambaran proses tersebut sebagai “desain dengan cara gambar”. Jika seorang desainer tidak bena-benar membuat sebuah objek, maka ia harus merepresentasikan dengan cara lain. Hingga sejauh ini cara yang paling umum dan berpengaruh untuk mempresentasikan sebuah desain adalah gambar (Lawson 2007:27).
Akan tetapi, dengan pemikiran fungsionalis, tidak berdiri sendiri, tetapi justru dalam suatu hubungan tertentu memperoleh arti dan maknanya. Dengan demikian pemikiran fungsionalis akan menyangkut hubungan, pertatutan dan relasi (van Peursen 1976:85). Istilah “fungsionalis” lalu dapat dijadikan sarana untuk meringkas dan menjelaskan sejumlah gejala modern. Gejala itu juga nampak dalam seni bangunan; bukan gedung sendiri menjadi tujuan, seperti dalam pandangan substansialistis, melainkan “komposisi ruang”, seperti misalnya diperbuat oleh M. Breuer, yang antara lain merencanakan gedung Supermarket di Rotterdam. Menurut van Peursen (1976:95) sebenarnya gedung tersebut ingin memperlihatkan, bagaimana manusia bekerja dan berfungsi di dalamnya, mencetuskan arti kehidupan manusia di dalam gedung itu dan sekitarnya. Karena terlalu memikirkan fungsi, banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut. Justru karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya seni modern hanya merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu kisah atau melambangkan suatu dunia imajiner (Grenz 2001:41). Dalam pandangan arsitek sekarang fungsi masih berperan meskipun permainan bentuk yang estetis menjadi ciri di setiap periode.
Inventifitas diperlukan untuk mencapai perombakan dalam pandangan, tidak untuk memusnahkan sesuatu, melainkan untuk mencapai suatu pembaharuan yang menyelamatkan. Inventifitas berarti kaya akal, cerdas yang dapat memuncak menjadi “kreativitas”. Di sini inventifitas sungguh menciptakan sesuatu yang baru. Menurut A. Koestler bila seseorang karena fantasinya yang kreatif dan karena jalan pikirannya yang inventif dapat memasukkan unsur yang sama ke dalam dua sistem yang berlainan, maka unsur tersebut seolah-olah memperoleh sebuah dimensi yang lebih luas, sehingga dapat dipandang dari berbagai sudut dan ini mendekatkan kita pada pemecahan persoalan tersebut. Seperti prinsip arsitektur postmodern adalah semua arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk bangunan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Mereka ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan “apa fungsinya? Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan “bangunan-bangunan yang kreatif dan imajinatif” (Grenz 2001:41). Menurut Lawson (2007:2), hal ini disebabkan karena arsitektur adalah salah satu bidang yang ditempatkan di tengah-tengah yang matematis dan imajinatif. Sebagai ilustrasi dapat menjelaskan hal ini lebih visual lagi. Seorang arsitek, F. van Klingeren, diberi tugas merencanakan bagian pusat dalam sebuah
Pada dasarnya Grenz (2001:200) menjelaskan, bahwa sebenarnya ada tiga tokoh yang menonjol sebagai pemikir postmodernisme, yaitu Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty. Mereka bertiga adalah trio nabi postmodernisme, kadang-kadang bernyanyi bersama dengan harmonis, tetapi lebih sering menghasilkan musik yang tidak harmonis yang merupakan ciri postmodern. Postmodernisme tidak mempunyai dunia pemikiran. Intinya adalah penolakan adanya realitas yang utuh sebagai objek dari persepsi kita. Postmodern menolak usaha untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal. Secara khusus, era postmodern menandai berakhirnya konsep “universe” – berakhirnya cara pandang yang total dan utuh (Grenz 2001:68). Dalam beberapa contoh misalnya, arsitektur postmodern sengaja memberikan ornament (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Ditekankan kembali oleh Grenz (2001:40) bahwa arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik
Eco, U. 2004. Tamasya Dalam Hiperealitas.
Einstein, A. 2005. Relativitas: Teori Khusus dan Umum.
Grenz, S. J. 2001. A Primer on Postmodernism, Pengantar untuk Memahami Postmodernisme.
Lawson, B. 2007. Bagaimana Cara Berpikir Desainer (How Designer Think).
Noris, C. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jaques Derrida.
Skolimowski, H. 2004. Filsafat Lingkungan.
Tragedi Arsitektur Menjual Mimpi
"Para arsitek postmodernis mengatakan itu arsitektur Christmas Cake," ujar Sonny Sutanto M Arch dari Arsitek Muda Indonesia. Bentuk arsitektur ini merupakan potongan, bahkan serpihan, yang tidak punya makna apa-apa. Hanya, Fun, sweet and nice.
Yori Antar, juga dari AMI, menyebutkannya sebagai arsitektur balada, arsitektur seolah-olah, arsitektur tanpa akar. "Bukannya masyarakat kita suka dengan semua yang serba seolah-olah, yang semu, artifisial, dan enggan melihat kenyataan?" ujar Yori.
Arsitek yang mendalami Ilmu Filsafat pada Sekolah Tinggi Driyarkara, Hasan Halim, mengatakan, gaya arsitektur yang belakangan dibangun oleh banyak perusahaan real estat adalah gaya arsitektur Disneyland. Kawasan itu lantas menjadi theme park.
Masyarakat konsumen yang tinggal di dalam theme park seolah-olah hidup di Paris, Wina, Amsterdam dan kota-kota lain di dunia; mereka tinggal di dalam bangunan Romawi seolah-olah mendiami istana kaisar.
Mengutip Baudrillard dalam Hystericising the Millennium (1992) Halim mengatakan, Walt Disney merintis suatu dunia "konyol" yang menampilkan bentuk-bentuk lama dan sekarang, mozaik dari semua kebudayaan... semua dibekukan dalam bentuk keceriaan yang definitif; dibekukan seperti Walt Disney sendiri dibekukan dalam cairan nitrogen: dunia ajaib, gothic, Hollywood-semua masa lalu dan masa depan dalam simulasi.
Masyarakat konsumen kemudian hidup dalam dunia virtual yang disebut hyper-real. Mereka tinggal di lingkungan hiper-arsitektur; suatu campuran masa lalu dan masa kini, yang mengingkari tempat dan sejarah. Seperti astronot tersesat di angkasa luar, hiper-arsitektur tersesat dalam sejarah.
Ketua Masyarakat Lingkungan Binaan, Marco Kusumawijaya, menambahkan, itu bukan hanya sekadar arsitektur atau gaya Disneyland. Mungkin modus operandi Disneyland lebih tepat karena semuanya mengadaptasi sindrom yang sama: pihak penjual harus selalu menemukan sesuatu yang baru agar dapat terus bertahan dari waktu ke waktu.
Mereka memasang iklan dengan rayuan akan kesenangan dan kebahagiaan yang dalam bahasa pemasaran disebut gimmick. "Karena masyarakat konsumeris merasa wajib untuk menjadi bahagia, senang, menarik, bersemangat dinamis dan bergairah," sambung Halim, kembali mengutip Baudrillard.
"Suatu dreamland seperti Disneyland dan Taman Impian Jaya Ancol, misalnya, pun demikian, karena pengunjung biasanya datang untuk melihat atraksi baru tertentu sampai atraksi berikutnya lahir," lanjut Marco.
Mungkin itu sebabnya Yori melihat banyak pemilik kembali menjual rumahnya setelah menempati selama beberapa saat, karena merasa rumah tersebut tidak lagi memenuhi seleranya lagi.
Seperti dipaparkan tenaga pemasaran di sebuah kompleks peristirahatan di Puncak yang menggunakan tema-tema kota dunia itu, "Banyak yang menjual vilanya di kompleks A dan membeli di kompleks kami."
***
GEJALA bahwa rumah bukan lagi merupakan suatu kebutuhan barang sosial yang profan, menurut Marco, terjadi pada paruh kedua tahun 1990-an. "Rumah lebih menjadi komoditas untuk investasi atau aksesori secara berlebihan," ujarnya.
Gejala ini ditangkap oleh pengusaha pengembang perumahan bermodal besar, yang selalu menjadi "dewa" dalam mengatur budaya dan psikologi berarsitektur masyarakat Indonesia.
Seperti dijelaskan Ridwan Kamil, anggota Arsitek Muda Indonesia yang tengah melanjutkan studinya di University California of Berkeley, AS, istilah form follows finance bisa dijadikan ilustrasi sederhana bagaimana arsitektur dan permukiman di Indonesia dirancang oleh kekuatan kapital ketimbang lahir dari desain yang kritis.
Masalah mendidik klien yang menjadi tugas berat para arsitek pada kenyataannya, menurut pengamatan Ridwan Kamil, lebih banyak diatur ketimbang mengatur pola pikir pengembang atau pembangun perumahan. Arsitek akhirnya menjadi orang yang tidak merdeka.
Ini membuat tidak adanya perlawanan ideologis maupun kosmologis terhadap apa yang dipaksakan pengembang-yang acapkali menyewa konsultan dari luar negeri-sehingga dengan mudah terjadi marginalisasi tempat dan pencaplokan tempat ke dalam kapitalisme.
"Yang relevan dengan kasus kita adalah pencaplokan tempat ke dalam kapitalisme," kata Marco. "Perusahaan-perusahaan trans-nasional juga mempunyai kepentingan untuk membuat dirinya familiar atau domestik demi kepentingan pemsaran, tetapi tidak harus bertanggung jawab terhadap masyarakat."
Mereka, lanjut Marco, juga berkepentingan mempromosikan "tempat" sebagai ideologi (Disneyland, Kota Wisata, Kota Bunga, Legenda Wisata dan lain-lain), sementara masyarakat yang tidak kritis segera membahasakan dirinya sedemikian rupa supaya dianggap sejalan dengan kapital.
Kalau kemudian yang muncul adalah arsitektur-arsitektur tanpa akar, barangkali di satu sudut tercakup konsep fetishism (pemujaan) seperti dikemukakan Marco. Membeli tidak ada hubungannya dengan nilai guna, yang oleh Marx disebut sebagai fetisisme komoditas, karena obyek dimuati makna-makna yang memberi status kepada individu yang memiliki atau memakainya.
"Garis atau bentuk rumah Venesia, atau London atau Victoria atau apa saja, di tempat asalnya dimengerti mendalam karena ada sejarah dan maknanya," lanjut Marco, Ketika dipindahan ke sini tentu kehilangan maknanya, menjadi fetish saja."
Dalam pandangan Andra Matin juga dari Arsitek Muda Indonesia (AMI), daripada memilih arsitektur dengan tema-tema tempat seperti Monaco, Kyoto, Praha, Paris, dan seterusnya, mengapa tidak memakai nama arsitek saja sebagai "label" seperti yang dilakukan di Nexus Houses di Fukuoka, Jepang, dan di Bumi Kahuripan, Parung, Jawa Barat, sebelum krismon menghantam Indonesia. Dengan cara ini, para arsitek sebagai perancang bangunan bisa dituntut tanggung jawabnya.
***
LALU apakah gaya arsitektur luar tidak boleh diadaptasi?
"Coba lihat bagaimana para arsitek Belanda mengadaptasi arsitektur tradisional kita ke dalam arsitektur-arsitektur bangunan yang dibuat Belanda di Indonesia," ujar Ir Hilman Asnar dari PT Hilman dan Mitra. Hal yang sama juga dikemukakan Yori Antar dan Marco Kusumawijaya.
"Tiap arsitek boleh saja membawa kekhasannya masing-masing, tetapi disesuaikan dengan lingkungan di mana desain itu dibuat. Lepas dari suka atau tidak suka, tetapi Paul Rudolph dari Amerika sangat memperhatikan keadaan lingkungan yang beriklim tropis ketika mendesain gedung Wisma Dharmala," kata Andra.
"Rancangan arsitektur dari luar sekarang hanya diambil tempelannya, sistem estetikanya tidak dikembangkan dengan baik," sambung Andy Siswanto MArch. "Dengan begitu, kita tidak akan menemui seperti arsitektur Belanda yang mengadaptasi nilai-nilai arsitektur tradisional kita saat ini, karena arsitektur tradisional tidak banyak dieksplorasi lagi."
Van der Wall dalam Oude Hollandsche Bouwkunst in Indonesie (1947) mengklasifikasikan arsitektur "Belanda-Indonesia" sebagai refleksi perpaduan idiom-idiom arsitektur Eropa dengan nilai-nilai arsitektur tradisional lokal. Tanda yang paling khas adalah bentuk atap piramida yang tinggi agar arus udara mengalir dengan lancar. Kemudian beranda yang luas pada bagian depan dan samping rumah.
"Di rumah-rumah Belanda kita juga menjumpai lubang seperti jendela di bagian bawah rumah agar udara dingin masuk dari bawah naik ke atas, sehingga udara di dalam rumah tidak panas," ujar Hilman.
Kita bisa belajar dari arsitektur luar. Romo Mangun, menurut Andy Siswanto, pernah mengajak menjelajah dan belajar serius dari peradaban arsitektur besar seperti meneladani arsitektur besar India yang intinya adalah pembebasan diri dari dunia maya.
Juga bagaimana belajar dari arsitektur Barat dan filsafatnya yang bersumber pada pemikiran Hegelian penuh drama dialektika pergulatan ruang hampa dan gatra masif, antara kebekuan statika dan gelora dinamika, antara simetri dan asimetri dan seterusnya yang semua ini berakar pada sikap Barat terhadap materi atau tepatnya fenomen.
Lalu arsitektur Yunani yang merumuskan arsitektur sebagai archetektoon dan selalu mencari hakikat secara rasional yang oleh Romo Mangun dilacak pengaruhnya sejak zaman purba sampai ke era modernisme: teknologi tinggi, bersih dan iklim citra logika bening dan matematika eksak.
Juga hikmah dari Jepang berupa kepolosan, kesederhanaan, permainan garis-garis lurus dan bidang-bidang murni yang lembut dengan penataan ruang transparan terhadap alam yang direplikasi dalam miniatur taman-taman Jepang yang berjiwa Shinto dan Buddhisme Zen.
Namun, semua ini membutuhkan perjalanan yang jauh lebih reflektif, tidak sekadar merancang. Lebih jauh, selain menolak determinisme ekonomi dalam arsitektur, Romo Mangun menggugah pentingnya pencarian citra, dalam arti arsitektur harus bermakna, memiliki kesejatian, laras terhadap ekologi dan mampu memberi kontribusi pada pembangunan kosmos yang teratur dan harmonis.
Akan tetapi, semua yang dikatakan Romo Mangun hanya bisa dilakukan oleh arsitek yang merdeka, yang geraknya tidak dibatasi dunia di luar dirinya, yang pikirannya senantiasa dipenuhi pertanyaan kritis, serta penuh imajinasi untuk mampu menyerap kejadian dan rasa.
Kalau itu tidak terjadi, secara ontologis akan dijumpai paradoks peradaban manusia: kehidupan baru atau kemajuan hanya diperoleh setelah kehancuran. Apakah sekarang ini merupakan puncak kehancuran arsitektur di Indonesia, atau baru proses menuju kehancuran?