KALAU mengutip teori dari arsitek dan budayawan almarhum YB Mangunwijaya, bahwa arsitektur adalah cermin sikap hidup, bagaimana wajah arsitektur di kompleks-kompleks perumahan yang dipasarkan oleh para pengembang bermodal besar saat ini?
"Para arsitek postmodernis mengatakan itu arsitektur Christmas Cake," ujar Sonny Sutanto M Arch dari Arsitek Muda Indonesia. Bentuk arsitektur ini merupakan potongan, bahkan serpihan, yang tidak punya makna apa-apa. Hanya, Fun, sweet and nice.
Yori Antar, juga dari AMI, menyebutkannya sebagai arsitektur balada, arsitektur seolah-olah, arsitektur tanpa akar. "Bukannya masyarakat kita suka dengan semua yang serba seolah-olah, yang semu, artifisial, dan enggan melihat kenyataan?" ujar Yori.
Arsitek yang mendalami Ilmu Filsafat pada Sekolah Tinggi Driyarkara, Hasan Halim, mengatakan, gaya arsitektur yang belakangan dibangun oleh banyak perusahaan real estat adalah gaya arsitektur Disneyland. Kawasan itu lantas menjadi theme park.
Masyarakat konsumen yang tinggal di dalam theme park seolah-olah hidup di Paris, Wina, Amsterdam dan kota-kota lain di dunia; mereka tinggal di dalam bangunan Romawi seolah-olah mendiami istana kaisar.
Mengutip Baudrillard dalam Hystericising the Millennium (1992) Halim mengatakan, Walt Disney merintis suatu dunia "konyol" yang menampilkan bentuk-bentuk lama dan sekarang, mozaik dari semua kebudayaan... semua dibekukan dalam bentuk keceriaan yang definitif; dibekukan seperti Walt Disney sendiri dibekukan dalam cairan nitrogen: dunia ajaib, gothic, Hollywood-semua masa lalu dan masa depan dalam simulasi.
Masyarakat konsumen kemudian hidup dalam dunia virtual yang disebut hyper-real. Mereka tinggal di lingkungan hiper-arsitektur; suatu campuran masa lalu dan masa kini, yang mengingkari tempat dan sejarah. Seperti astronot tersesat di angkasa luar, hiper-arsitektur tersesat dalam sejarah.
Ketua Masyarakat Lingkungan Binaan, Marco Kusumawijaya, menambahkan, itu bukan hanya sekadar arsitektur atau gaya Disneyland. Mungkin modus operandi Disneyland lebih tepat karena semuanya mengadaptasi sindrom yang sama: pihak penjual harus selalu menemukan sesuatu yang baru agar dapat terus bertahan dari waktu ke waktu.
Mereka memasang iklan dengan rayuan akan kesenangan dan kebahagiaan yang dalam bahasa pemasaran disebut gimmick. "Karena masyarakat konsumeris merasa wajib untuk menjadi bahagia, senang, menarik, bersemangat dinamis dan bergairah," sambung Halim, kembali mengutip Baudrillard.
"Suatu dreamland seperti Disneyland dan Taman Impian Jaya Ancol, misalnya, pun demikian, karena pengunjung biasanya datang untuk melihat atraksi baru tertentu sampai atraksi berikutnya lahir," lanjut Marco.
Mungkin itu sebabnya Yori melihat banyak pemilik kembali menjual rumahnya setelah menempati selama beberapa saat, karena merasa rumah tersebut tidak lagi memenuhi seleranya lagi.
Seperti dipaparkan tenaga pemasaran di sebuah kompleks peristirahatan di Puncak yang menggunakan tema-tema kota dunia itu, "Banyak yang menjual vilanya di kompleks A dan membeli di kompleks kami."
***
GEJALA bahwa rumah bukan lagi merupakan suatu kebutuhan barang sosial yang profan, menurut Marco, terjadi pada paruh kedua tahun 1990-an. "Rumah lebih menjadi komoditas untuk investasi atau aksesori secara berlebihan," ujarnya.
Gejala ini ditangkap oleh pengusaha pengembang perumahan bermodal besar, yang selalu menjadi "dewa" dalam mengatur budaya dan psikologi berarsitektur masyarakat Indonesia.
Seperti dijelaskan Ridwan Kamil, anggota Arsitek Muda Indonesia yang tengah melanjutkan studinya di University California of Berkeley, AS, istilah form follows finance bisa dijadikan ilustrasi sederhana bagaimana arsitektur dan permukiman di Indonesia dirancang oleh kekuatan kapital ketimbang lahir dari desain yang kritis.
Masalah mendidik klien yang menjadi tugas berat para arsitek pada kenyataannya, menurut pengamatan Ridwan Kamil, lebih banyak diatur ketimbang mengatur pola pikir pengembang atau pembangun perumahan. Arsitek akhirnya menjadi orang yang tidak merdeka.
Ini membuat tidak adanya perlawanan ideologis maupun kosmologis terhadap apa yang dipaksakan pengembang-yang acapkali menyewa konsultan dari luar negeri-sehingga dengan mudah terjadi marginalisasi tempat dan pencaplokan tempat ke dalam kapitalisme.
"Yang relevan dengan kasus kita adalah pencaplokan tempat ke dalam kapitalisme," kata Marco. "Perusahaan-perusahaan trans-nasional juga mempunyai kepentingan untuk membuat dirinya familiar atau domestik demi kepentingan pemsaran, tetapi tidak harus bertanggung jawab terhadap masyarakat."
Mereka, lanjut Marco, juga berkepentingan mempromosikan "tempat" sebagai ideologi (Disneyland, Kota Wisata, Kota Bunga, Legenda Wisata dan lain-lain), sementara masyarakat yang tidak kritis segera membahasakan dirinya sedemikian rupa supaya dianggap sejalan dengan kapital.
Kalau kemudian yang muncul adalah arsitektur-arsitektur tanpa akar, barangkali di satu sudut tercakup konsep fetishism (pemujaan) seperti dikemukakan Marco. Membeli tidak ada hubungannya dengan nilai guna, yang oleh Marx disebut sebagai fetisisme komoditas, karena obyek dimuati makna-makna yang memberi status kepada individu yang memiliki atau memakainya.
"Garis atau bentuk rumah Venesia, atau London atau Victoria atau apa saja, di tempat asalnya dimengerti mendalam karena ada sejarah dan maknanya," lanjut Marco, Ketika dipindahan ke sini tentu kehilangan maknanya, menjadi fetish saja."
Dalam pandangan Andra Matin juga dari Arsitek Muda Indonesia (AMI), daripada memilih arsitektur dengan tema-tema tempat seperti Monaco, Kyoto, Praha, Paris, dan seterusnya, mengapa tidak memakai nama arsitek saja sebagai "label" seperti yang dilakukan di Nexus Houses di Fukuoka, Jepang, dan di Bumi Kahuripan, Parung, Jawa Barat, sebelum krismon menghantam Indonesia. Dengan cara ini, para arsitek sebagai perancang bangunan bisa dituntut tanggung jawabnya.
***
LALU apakah gaya arsitektur luar tidak boleh diadaptasi?
"Coba lihat bagaimana para arsitek Belanda mengadaptasi arsitektur tradisional kita ke dalam arsitektur-arsitektur bangunan yang dibuat Belanda di Indonesia," ujar Ir Hilman Asnar dari PT Hilman dan Mitra. Hal yang sama juga dikemukakan Yori Antar dan Marco Kusumawijaya.
"Tiap arsitek boleh saja membawa kekhasannya masing-masing, tetapi disesuaikan dengan lingkungan di mana desain itu dibuat. Lepas dari suka atau tidak suka, tetapi Paul Rudolph dari Amerika sangat memperhatikan keadaan lingkungan yang beriklim tropis ketika mendesain gedung Wisma Dharmala," kata Andra.
"Rancangan arsitektur dari luar sekarang hanya diambil tempelannya, sistem estetikanya tidak dikembangkan dengan baik," sambung Andy Siswanto MArch. "Dengan begitu, kita tidak akan menemui seperti arsitektur Belanda yang mengadaptasi nilai-nilai arsitektur tradisional kita saat ini, karena arsitektur tradisional tidak banyak dieksplorasi lagi."
Van der Wall dalam Oude Hollandsche Bouwkunst in Indonesie (1947) mengklasifikasikan arsitektur "Belanda-Indonesia" sebagai refleksi perpaduan idiom-idiom arsitektur Eropa dengan nilai-nilai arsitektur tradisional lokal. Tanda yang paling khas adalah bentuk atap piramida yang tinggi agar arus udara mengalir dengan lancar. Kemudian beranda yang luas pada bagian depan dan samping rumah.
"Di rumah-rumah Belanda kita juga menjumpai lubang seperti jendela di bagian bawah rumah agar udara dingin masuk dari bawah naik ke atas, sehingga udara di dalam rumah tidak panas," ujar Hilman.
Kita bisa belajar dari arsitektur luar. Romo Mangun, menurut Andy Siswanto, pernah mengajak menjelajah dan belajar serius dari peradaban arsitektur besar seperti meneladani arsitektur besar India yang intinya adalah pembebasan diri dari dunia maya.
Juga bagaimana belajar dari arsitektur Barat dan filsafatnya yang bersumber pada pemikiran Hegelian penuh drama dialektika pergulatan ruang hampa dan gatra masif, antara kebekuan statika dan gelora dinamika, antara simetri dan asimetri dan seterusnya yang semua ini berakar pada sikap Barat terhadap materi atau tepatnya fenomen.
Lalu arsitektur Yunani yang merumuskan arsitektur sebagai archetektoon dan selalu mencari hakikat secara rasional yang oleh Romo Mangun dilacak pengaruhnya sejak zaman purba sampai ke era modernisme: teknologi tinggi, bersih dan iklim citra logika bening dan matematika eksak.
Juga hikmah dari Jepang berupa kepolosan, kesederhanaan, permainan garis-garis lurus dan bidang-bidang murni yang lembut dengan penataan ruang transparan terhadap alam yang direplikasi dalam miniatur taman-taman Jepang yang berjiwa Shinto dan Buddhisme Zen.
Namun, semua ini membutuhkan perjalanan yang jauh lebih reflektif, tidak sekadar merancang. Lebih jauh, selain menolak determinisme ekonomi dalam arsitektur, Romo Mangun menggugah pentingnya pencarian citra, dalam arti arsitektur harus bermakna, memiliki kesejatian, laras terhadap ekologi dan mampu memberi kontribusi pada pembangunan kosmos yang teratur dan harmonis.
Akan tetapi, semua yang dikatakan Romo Mangun hanya bisa dilakukan oleh arsitek yang merdeka, yang geraknya tidak dibatasi dunia di luar dirinya, yang pikirannya senantiasa dipenuhi pertanyaan kritis, serta penuh imajinasi untuk mampu menyerap kejadian dan rasa.
Kalau itu tidak terjadi, secara ontologis akan dijumpai paradoks peradaban manusia: kehidupan baru atau kemajuan hanya diperoleh setelah kehancuran. Apakah sekarang ini merupakan puncak kehancuran arsitektur di Indonesia, atau baru proses menuju kehancuran?
MELANGKAHKAN kaki di ruang pamer Erasmus Huis sambil menatap panel-panel yang menampilkan sejumlah gambar bangunan karya arsitek muda Belanda, pengunjung akan melihat wajah Belanda yang modern. Di ruang yang hening itu, boleh dikata tak akan ditemukan gambar bangunan berlekuk klasik. Sebaliknya, yang terpampang di depan mata adalah bangunan-bangunan kosmopolitan.
Jika melihat wajah lama Belanda, yang paling mudah adalah dengan melihat bangunan peninggalan Belanda yang tersebar di seantero negeri ini, entah yang kini dipakai sebagai kantor-kantor pemerintah ataupun museum/ galeri. Nama-nama seperti Thomas Karsten, PAJ Moojen (penataan fisik Menteng, Gondangdia), Maclaine Pont (aula-aula Institut Teknologi Bandung), JH Horst (Gereja Emanuel, Jakarta), S Snuyf (Istana Merdeka, Jakarta), adalah nama arsitek Belanda yang meninggalkan jejak pengaruh arsitektur modern di Indonesia.
Kini di tangan arsitek-arsitek mudanya, Belanda menjadi modern untuk zamannya. Lihatlah karya Jeroen Simons yang menggarap Philips High Tech Campus di Eindhoven. Simons menonjolkan bentuk dan ruang yang begitu sederhana dengan efisiensi tinggi. Garis-garis sederhana tetap dipertahankan Simons untuk bangunan yang digunakan sebagai riset software. Keindahan justru ditonjolkan lewat lekuk detail anak-anak tangga.
Tak cuma itu. Menyimak proyek Simons yang bertajuk Multi Development Corporation di Gouda, kita akan melihat bagaimana gedung itu dibangun dengan mengandalkan materi kaca. Jadi, wajah modern Belanda kini identik dengan bangunan-bangunan kaca. Tidak hanya Simons yang cenderung memilih kaca sebagai "dinding" bangunan, banyak arsitek muda lainnya yang condong dengan pemakaian kaca.
Arsitek muda Belanda menapak pasti. It
u terbukti dengan kian banyaknya proyek publik ataupun proyek privat yang dipercayakan kepada mereka. Lihat Chris de Jonge yang dipercaya Intermezzo-Vrije Universiteit Amsterdam untuk menggarap Theatre Uilenstede sepanjang 1995-1998. Bersamaan dengan itu, klien Jonge, Stichting tot Bevordering van de Volksgezondheit in Milieuhgiene memintanya untuk menggarap Laboratory SUM di De Bilt.
Masih banyak nama lain. Sebut saja Paul de Ruiter, Diedrik Dam, Ad Kill, Bauke Tuinstra, Gerrit Goudkuil, Robert Mulder, Jos Van Eldonk. Mereka umumnya mendesain bangunan-bangunannya dengan sentuhan modern.
Uniknya, para arsitek muda Belanda yang tinggal tersebar di berbagai kota di Belanda ini justru baru saling kenal ketika mereka berpameran bersama di Erasmus Huis, Jakarta. Ini terungkap ketika mereka melakukan diskusi bersama AMI (Arsitek Muda Indonesia) beberapa waktu lalu.
Untuk bisa berkarya, tentulah mereka harus mendapatkan kesempatan terlebih dahulu guna mengimplementasikan ide-ide mereka. Dan itu berarti berkompetisi. Dengan adanya kompetisi yang sehat, tentulah diharapkan muncul arsitek-arsitek yang berkualitas.
Bicara tentang kompetisi, menurut Marco Kusumawijaya dari AMI, itu yang menjadi persoalan di Indonesia karena di sini tidak banyak kompetisi atau sayembara terbuka bagi para arsitek kita.
Sebaliknya, di Belanda ada banyak kesempatan untuk berkompetisi di mana arsitek muda bisa menunjukkan ide-ide segar. "Kalau tanpa kompetisi, proyek-proyek itu akan selalu jatuh kepada senior-senior. Kita di sini tidak ada kompetisi," kata Marco.
Sayembara atau kompetisi analog dengan lelang kalau dalam kontraktor. Tentu saja arsitek yang bekerja dalam tataran ide juga perlu "menjual" idenya melalui sayembara. Bagi mereka di Eropa, bangunan-bangunan publik banyak yang harus disayembarakan.
Untuk arsitek muda Belanda, kompetisi ini memang penting untuk karier mereka dan karena Belanda termasuk di dalam Uni Eropa (EU), kompetisi di semua negara anggota EU bisa diikuti. "Tetapi, kompetisi ini pun tidak mudah karena untuk bisa ikut kompetisi mereka harus mendapat referensi dulu," kata Cor Passchier, arsitek anggota ikatan arsitek Belanda BNA.
Irianto dari AMI, setuju bahwa sistem sayembara harus dikembangkan di sini untuk memberi kesempatan kepada arsitek muda berkembang. "Anehnya, yang dilelang adalah pekerjaan sipilnya, sementara kerja arsitekturnya tidak disayembarakan," kata bambang Eryudhawan, arsitek yang juga aktif di Ikatan Arsitek Indonesia selain di AMI.
Beberapa arsitek Belanda bisa dibilang sebagai arsitek dunia yang luar biasa. Bagi para arsitek muda Belanda, hal itu tidak menjadi masalah karena arsitek-arsitek pendahulu mereka itu sudah menjadi "milik" dunia.
Para arsitek muda Belanda tidak merasa senior-senior mereka sebagai saingan yang berarti karena para senior mereka bersaing pada tingkat global. Pun begitu, pemerintah lokal umumnya membantu bila arsitek muda Belanda-di sana batasan umur untuk bisa disebut muda adlah 40 tahun-mendapat bantuan ketika mereka memulai membuka biro arsitek mereka sendiri. Mereka misalnya mendapatkan pinjaman berbunga lunak serta mendapat potongan pajak.
"Bagi kita, karena prosesnya tidak terbuka di masa lampau, maka generasi yang lebih tua menjadi masalah karena seolah-olah menjadi suatu hegemoni, suatu dominasi, sehingga dalam batas tertentu itu menghambat ide-ide dari generasi muda," kata Marco.
***
PERUBAHAN gaya arsitektur dari klasik menjadi modern memang tak terelakkan. Belanda dalam hal seni budaya arsitektur memang sangat modern dan dinamis. Hingga kini Belanda tetap mengkonservasi warisan-warisan budaya arsitektur masa lampau. Namun, di sisi lain, mereka juga sangat terbuka terhadap perubahan-perubahan modern.
Arsitektur modern dalam tanda petik dimulai sejak awal abad ini. Banyak tokoh-tokohnya memang orang-orang Belanda. Sejak itulah sebetulnya bagi orang Belanda tidak mungkin menjadi tidak modern.
Menjadi modern itu justru tradisi mereka. Jadi tidak ada pertentangan antara tradisi dengan modernitas, karena modernitas bagi mereka sudah menjadi tradisi dari dalam. Itulah yang sangat kuat dalam arsitektur Belanda.
Jeroen Simons, salah seorang arsitek muda Belanda, mengatakan, struktur sosial sangat mempengaruhi bentuk arsitektur. "Saat ini kita bekerja dengan menggunakan komputer, email, mobil, dan berbagai perangkat teknologi tinggi. Tentulah itu semua mempengaruhi bentuk bangunan kita. Jadi bentuk arsitektur itu merupakan representasi waktu atau dekade saat ini," demikian alasan yang dikemukakan Simons mengenai karya-karyanya yang begitu modern.
Itulah mengapa bentuk arsitektur garapan arsitek muda Belanda yang dipamerkan hingga 28 Oktober 2000 ini sangat modern. "Karya-karya kami ini ternyata diterima masyarakat Belanda. Di beberapa pembangunan vila pribadi, klien kami justru ingin mengekspresikan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dengan teknologi tinggi," kata Simons.
Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyaakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya). Kata antropologi, diambil dari bahasa Yunani anthropos (“human”) dan logia (“study”), sedangkan antropologi adalah “the study of man” atau “the study of humankind”. Kemudian distribusi dari (urban anthropology) antropologi perkotaan jelas mendukung sosio-kultural antropologi, bagaimana pun, mereka mengakui bahwa arkeologi telah memberikan kontribusi signifikan pada studi peradaban dan sistem spasial perkotaan. Istilah antropologi perkotaan mulai digunakan pada tahun 1960-an. Dengan perubahan difokuskan pada “urban anthropology” melawan tradisi antropologi yang menekankan pada “primitif” dan masyarakat petani, mengasingkan tentang perkotaan, kelompok dan masyarakat industri (Basham 1978). Kemunculan dari antropologi perkotaan juga diakibatkan oleh Perang Dunia ke-II dan proses dekolonisasi. Dalam pandangan para pakar urban anthropology, ketertarikan pada kota telah membenarkan tuntutan akan tradisi antropologi yang menaruh perhatian pada keseluruhan dan bermacam budaya manusia serta masyarakat. Secara teoritis, antropologi perkotaan melibatkan studi dari sistem budaya kota baik hubungan dari kota terhadap tempat-tempat yang luas dan kecil, serta penduduk sebagai bagian dari sistem perkotaan (Kemper 1996).
Di Amerika antropologi di bagi menjadi empat bidang:
- Sociocultural anthropology (sosiokultural antropologi), studi mengenai adat-istiadat dan masyarakat; - Archaeology (arkeologi), studi mengenai pra-sejarah manusia;
- Linguistics (linguistik), studi mengenai bahasa; dan
- Physical anthropology (antropologi fisik/ragawi), studi mengenai fisiologi manusia. Atau secara tradisional antropologi telah dibagi ke dalam:
(1) cultural anthropology (antropologi budaya) yang terdiri dari beberapa sub-bidang:
(a) antropologi sosial (social anthropology) atau etnologi (ethnology) berurusan dengan studi komparatif dari kebudayaan dan kemasyarakatan;
(b) arkeologi (archeology) berurusan dengan rekonstruksi dari kehidupan manusia di masa lalu melalui analisa artifak dan benda peninggalan dari budaya yang punah; dan
(c) anthropological linguistics (antropologi linguistik) merupakan studi bahasa sebagai cara kerja pertama dari komunikasi manusia.
(2) physical anthropology (antropologi fisik/ragawi) adalah bersangkutan dengan evolusi spesies manusia, dan karakter biologis dari populasi manusia yang lalu dan sekarang.
Perbedaan cara pandang sosiologi dan antropologi muncul pada human relations nya: Sosiologi, secara kontras tidak membicarakan orang tertentu dari kota akan tetapi lebih pada keterikatan hubungan personal dengan rural life. Cara pandang ini berkembang lebih awal dalam ilmu sosial dengan pemikiran evolusi sosial. Hal itu merupakan refleksi studi “Suicide” dari Emile Durkheim (1897), dengan konsep anomie atau state of normlessness. Anomie suicide merupakan karakter bagi mereka yang hidup terisolasi, dari dunia impersonal.
Ferdinand Tönnies (1887), membuat jarak antara Gemeinschaft (community) dan Gesellschaft (society) konsep dasarnya, secara kontras untuk mendalami hubungan kontraktual pertalian karakter masyarakat kapitalis dan aktivitas bersama dari masyarakat feudal.
Sedangkan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”, mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban life. Louis Wirth, menyatakan bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling berhubungan (inter-related):
1. as a physical structure (struktur fisiknya);
2. as a system of social organization (sistem dari organisasi sosialnya); dan
3. as a set of attitudes and ideas and a “constellation of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari kepribadian”). Antropologi, lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan. Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan.
Sosiologi perkotaan
Apa sosiologi itu? Sosiologi adalah studi empiris dari struktur sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial, organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan. Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan. Karakter kota dan masyarakat:
a. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus;
b. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris;
c. Adanya spesialisasi pekerjaan warganya;
d. Kepadatan penduduk;
e. Ukuran jumlah penduduk;
f. Warganya (relatif) mobility;
g. Tempat permukiman yang tampak permanen; dan
h. Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, social relations yang impersonal dan eksternal, dan lain sebagainya.
Kemudian ilmu tersebut berkembang dan berkaitan dengan apa yang dinamakan urban sosiologi (sosiologi perkotaan). Urban sosiologi adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan pada urban environment (lingkungan perkotaan). Menjelaskan beberapa topik-topik sebagai bagian dari perkembangan perkotaan, struktur perkotaan, jalan kehidupan dalam perkotaan, pemerintahan, dan permasalahan perkotaan. Karena penduduk yang tinggal di perkotaan akan dipengaruhi oleh kota. Untuk memahaminya kita harus mempelajari perkotaan. Berbagai permasalahan berhadapan masyarakat kita berhubungan pada lingkungan urban. Untuk memahami permasalahannya kita perlu mempelajari kota. Dengan belajar bagaimana kota-kota dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan natural kita dapat mengerti link antara nature dan struktur sosial.
Politik-ekonomi dari kota
Istilah dari “politik-ekonomi” menunjukkan adanya pengaruh dari kekuatan politik dan ekonomi dalam masyarakat. Kekuatan politik dan ekonomi nampak menjadi pendorong utama dari aktivitas perkotaan. Dalam perspektif spasial sosial, kota merupakan produk dari faktor-faktor ekonomi, politik, budaya, dan geografi. Namun dari sudut pandang sosiologi perkotaan sesungguhnya adalah merupakan area studi interdisipliner, artinya bahwa bidang lain dari sosiologi memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita terhadap kota. Geografi, ilmu politik, ekonomi, sejarah, antropologi, dan psikologi keseluruhan studinya mengenai beberapa aspek dari lingkungan perkotaan dan memberikan sumbangan pada kita, yaitu pengetahuan tentang lingkungan perkotaan.
Tentu saja di dalamnya terdapat ‘dependent variable’ bagaimana kekuatan-kekuatan eksternal, yaitu variabel yang independent mempengaruhi lingkungan perkotaan: - pengaruh dari segregasi rasial dari sistem ekonomi di dalam kota; - pengaruh dari batas-batas geografi (pegunungan) terhadap perkembangan kota; dan - pengaruh dari kejadian sejarah (peperangan) terhadap perkembangan kota. Sedangkan karakter dari lingkungan perkotaan harus memenuhi: - Luas, secara kultural merupakan kelompok masyarakat yang heterogin; - Bukan area pertanian di mana bahan mentah diproses dari pada produksi; -Sebagai pusat administrasi, menampilkan fungsi-fungsi administrasi yang substansial untuk masyarakat yang luas; dan - Tingkat populasinya tinggi.
Antropolgi perkotaan sebagai kelompok sosial
Dengan sendirinya antropologi perkotaan dikenal melalui sosiologi perkotaan terutama dalam perspektif istilah yang berbeda: studi-studi sosiologi lebih difokuskan dalam issue penggalan (fragmented), antropologi perkotaan secara teoritis sedikit mengarah pada pendekatan holistik (Ansari & Nas 1983:2). Hal-hal yang mendorong berkembangnya sosiologi adalah:
(1) konfrontasi dengan perubahan sosial yang hebat;
(2) munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi; dan
(3) keinginan manusia untuk membuat perubahan sosial dan kemajuan yang diorganisasikan secara sistematis.
Beberapa definisi mengenai sosiologi: “Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial” (WF. Ogburn & MF. Nimkoff). “Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kehidupan kelompok” (Roucek & Warren). “Sociology, the scientific study of human interaction” (James W. Vander Zanden 1979:626).
Dari tahun 1930-an sampai dengan 1950-an antropologi kebudayaan telah tumbuh dan lebih ditekankan pada studi masyarakat petani serta impaknya terhadap kota-kota dan kehidupannya (Redfield 1947). Perhatian yang lebih utama diberikan pada migrasi desa-kota, urban adaptation, etnik, dan kemiskinan (Lewis 1968; Hannerz 1969). Kemudian Fox (1977) mengidentifikasi lima perbedaan tipe dari kota, serta membahas hubungan kota dan masyarakat yang lebih luas terpancang di dalamnya. Akhirnya Basham (1978) menawarkan sebuah diskusi dari studi masyarakat perkotaan dan beberapa topik yang mempunyai hubungan.
Metodologi
Permasalahan yang paling utama pada antropologi perkotaan adalah aplikasi dua teknik pendekatan antropologi, yaitu partisipan-observasi dan holistik di dalam riset perkotaan. Teknik dari metode antropologi ditekankan pada suku (tribe) dan masyarakat perdesaan/petani di mana hal itu lebih terbuka dan memungkinkan untuk pengembangan hakekat hubungan personal setiap orang di masyarakat. Para pakar antropologi perkotaan diminta untuk memperluas pengetahuan dalam mengembangkan kemampuan dengan memasukkan materi-materi tertulis, survei, studi kesejarahan, novels (ceritera-ceritera), dan sumber-sumber lainnya.
Tantangan dari para pakar antropologi perkotaan adalah untuk menata keseluruhan sumber materi yang berbeda dan untuk mencoba realitas kelompok yang lebih luas tanpa mengorbankan penjelasan dengan mengkarakterisasi etnografi dan antropologi secara umum. Dalam skala yang luas tujuan dari studi-studi antropologi perkotaan didominasi: - studi komparasi dengan komunitas tunggal (comparative study with single community); - studi dengan multi-komunitas (multy-community studies); - survei wilayah (regional survey); - analisa tingakat nasional (national-level analyses); - studi komparasi tingkat nasional (comparative multy-national studies); dan - studi teori dan metodologi secara umum (general theoritical and methodological studies).
Pada skala kecil tujuan studi antropologi perkotaan fokus utamanya: mengenai individu-individu di dalam sejarah kehidupannya, spesifikasi pada konteks masyarakat (seperti, marketplaces, gangs, shopping centers), unit-unit tempat tinggal, dan tempat kerja. (Kemper 1991b) Menurut Fox (1977), ada perbedaan tradisi dalam penelitian antropologi perkotaan dengan mempertahankan kontinuitas dengan antropologi tradisional dan metode-metodenya yang tidak memfokuskan pada perkotaan, tetapi ke dalam unit yang lebih kecil di dalam kota. Satu contoh, adalah antropologi mengenai kemiskinan kota (urban poverty). Kemudian Oscar Lewis memperkenalkan istilah “culture of poverty” (budaya kemiskinan), yang mana dipahami sebagai bentuk dari kehidupan yang muncul secara independen akibat hilangnya faktor ekonomi dan politik (Valentine 1968; Goode & Eames 1996).
Antropologi dan urbanisme
Urbanisasi antropologi (migrasi desa-kota) berdiri saling memotong di antara kota dan desa. Bidang ini spesial kuat berkembang dalam penelitian di Afrika oleh para antropolog Inggris, dan studi di Amerika Latin oleh peneliti dari Amerika. Di sini penekanan dalam skala luas tergantung dari pergerakan fisik penduduk desa ke kota-kota dan adaptasi populasi dari imigran terhadap lingkungan barunya difokuskan mengenai perubahan struktur sosial, hubungan interpersonal dan identitas kolektif di dalam kota (Abu-Lughod 1962) Kecenderungan dari urbanisasi menunjukkan, bahwa jumlah penduduk yang akan berurbanisasi akan bertambah di masa medatang. Untuk itu bidang antropologi kemungkinan akan memusatkan ke dalam antropologi perkotaan (Ansari & Nas 1983:6)
Anthropology in cities and anthropology of cities
Ada jarak di antara “antropolog yang melakukan riset dalam kota, tetapi tanpa banyak memahami konteks perkotaan; hanya menitik beratkan pada struktur kehidupan kota dan pengaruhnya dalam perilaku manusia atau silang budaya; dan mereka yang menitik beratkan pada perkembangan dari sistem internasional perkotaan melalui waktu dan ruang sebagai perbedaan wilayah sosial-budaya dan politik-ekonomi” (Kemper 1991b: 374). Antropologi perkotaan di tahun 1960-an dan 1970-an difokuskan pada issue khusus, sebagai contoh, migrasi, pertalian keluarga (kinship), kemiskinan, dan lain sebagainya. Di tahun 1980-an diperluas ketertarikan pada semua aspek dari kehidupan perkotaan (urban life).
Di dalam prakteknya, antropologi perkotaan telah melebur pada bagian khusus dari geografi, ekologi, dan disiplin lainnya. Issue kontemporer dari antropologi perkotaan adalah:
- Masalah perkotaan;
- Migrasi desa-kota;
- Adaptasi dan penyesuaian dari manusia dalam populasi lingkungan yang padat;
- Efek dari penataan kota di atas pluralisme budaya dan stratifikasi sosial;
- Hubungan sosial (social networks);
- Fungsi dari paertalian keluarga;
- Pertumbuhan dari kota;
- Kejahatan (crime);
- Perumahan (housing);
- Arsitektur;
- Transportasi;
- Penggunaan dari ruang (use of space);
- Pekerja (employment);
- Infrastruktur; dan
- Demografi/kependudukan.
Masyarakat kota sebagai community
Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri:
1. berisi kelompok manusia;
2. menempati suatu wilayah geografis;
3. mengenal pembagian kerja ke dlam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung;
4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka;
5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan
6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu.
Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community:
Rural;
Fringe (pinggiran);
Town; dan
Metropolis.
Sedangkan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) adalah: 1. pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas; 2. organisasi sosial lebih berdasarkan kelas sosial dari pada kekeluargaan; 3. lembaga pemerintah lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan; 4. suatu sistem perdagangan dan pertukangan; 5. mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi; dan 6. berteknologi yang rasional. Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya.
Kriteria kota dan definisinya
Kota dapat berupa town (kota kecil) dapat city (kota besar). Di Denmark, Swedia, Albania, dan Finlandia permukiman dengan 200 jiwa sudah disebut town; Di Argentina dan Kanada suatu tempat dengan 1.000 jiwa sudah disebut kota, sedangkan di Amerika Serikat, dan Meksiko 2.500 jiwa; Di Italia, Yunani, dan Spanyol untuk dapat digolongkan kota penduduknya paling sedikit 10.000 jiwa; dan Di Nederland dengan 20.000 jiwa, sedang di Indonesia menurut sensus 1971 juga 20.000 jiwa ditambah dengan beberapa syarat fasilitas lain. Contoh lain yang dikemukakan oleh Wilcox, daerah dengan jumlah penduduk 100 jiwa disebut community; 100 hingga 1.000 jiwa disebut village, dan 1.000 jiwa ke atas disebut city.
Perbedaan antara kota dan desa
PJM. Nas (1979) menjelaskan bahwa,
(1). Kota bersifat besar dan memberikan gambaran yang jelas, sedangkan pedesaan itu kecil dan bercampur-baur, tanpa gambaran yang tegas;
(2). Kota mengenal pembagian kerja yang luas, desa (pedalaman) tidak;
(3). Struktur sosial di kota differensiasi yang luas, sedangkan di pedesaan relatif sederhana;
(4). Individualitas memainkan peranan penting dalam kebudayaan kota, sedangkan di pedesaan hal ini kurang penting; di pedesaan orang menghayati hidupnya terutama dalam kelompok primer; dan
(5). Kota mengarahkan gaya-hidup pada kemajuan, sedangkan pedesaan lebih berorientasi pada tradisi, dan cenderung pada konservatisme.
Dunia Barat dalam Sosiologi Perkotaan membuat perincian objek studi sebagai pengkhususan:
1. kemiskinan dan ketergantungan;
2. salah adaptasi perorangan dan disorganisasi kepribadian; dan
3. kenakalan remaja dan kejahatan.
Untuk mempelajari itu semua dicakup tiga pokok sebagai berikut:
1. persebaran keruangan dari gejala dan tempat tinggal para pelakunya;
2. studi khusus terhadap para pelaku kejahatan untuk mengetahui jenis dan dalamnya motivasi; dan
3. menstudi kejahatan yang diorganisasikan (termasuk parageng-nya).
Ciri-ciri struktur sosial kota
Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut:
(a) heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang;
(b) hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder;
(c) kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya;
(d) toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan;
(e) mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang;
(f) ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya;
(g) Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan
(h) segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.
Urbanisasi dan urbanisme
PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”. Konsep urbanisasi juga mencakup: pertumbuhan suatu permukiman menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan penduduk ke kota (dalam bentuk migrasi mutlak, atau ulang alik), atau kenaikan prosentase penduduk yang tinggi di kota.
Istilah urbanisasi dalam garis besarnya mempunyai dua pengertian: pertama, urbanisasi berarti proses pengkotaan, yakni proses pengembangan atau mengkotanya suatu daerah (desa). Kedua, urbanisasi berarti perpindahan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa.
Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota. Dengan demikian erat kaitan antara proses urbanisasi dan sarana komunikasi serta transportasi modern telah menyebabkan terjadinya dua gejala:
1. gejala peleburan kesatuan-kesatuan komuniti kecil menjadi kesatuan komuniti yang lebih besar; dan 2. gejala pe-massa-an masyarakat, sebagai ciri kebudayaan modern.
Gejala pertama timbul karena daerah-daerah atau lingkungan masyarakat yang tadinya tertutup, terisolasi secara geografik maupun sosial-kultural, menjadi terbuka, sejalan dengan semakin meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Gejala kedua, pemassaan masyarakat terjadi karena dengan melalui sarana komunikasi dan tranportasi modern secara luas dan serentak dapat didistribusikan, dan diterima semua lapisan masyarakat, terlepas dari perbedaan kekayaan, pendidikan, dan tingkat sosial atau segi-segi lainnya. Proses urbanisasi tidak hanya proses difusi kebudayaan kota ke desa, tetapi juga terhadap masyarakat kota itu sendiri. Karena dalam kenyataan di kota-kota (termasuk kota besar) dalam negara-negara berkembang masih terdapat “desa-desa” di dalamnya.
Kingsley Davis, membedakan urbanization dari growth of cities: yang pertama menyatakan proporsi dari penduduk yang tinggal di kota. Dapat saja terjadi pertumbuhan di kota tanpa terjadi peningkatan urbanisasi. Proses urbanisasi terbatas, yaitu sampai tercapai seratus persen, sedang pertumbuhan kota berjalan tanpa ada batasnya. Di negara-negara yang maju urbanisasi menciptakan dua kelas masyarakat, yaitu proletariat kota (mereka yang gagal dalam social climbing), dan klas yang terdiri atas kaum lapisan sosial menengah (tukang dan pedagang). Di Inggris, urbanisasi berjalan berdampingan dengan industrialisasi. Di sini muncul tiga fenomena secara bersamaan, yaitu ekspansi penduduk, pertumbuhan kota, dan perubahan industri. Industrialisasi di Barat dalam abad ke-19 dan yang terjadi di Asia Tenggara mempunyai trend yang lain: di Barat pendorongnya adalah revolusi teknologi, sedang di Asia Tenggara keparahan krisis ekonomi di pedesaan yang agraris.
Sosiolog Louis Wirth, mengatakan makin besar tempat tinggal, makin padat penduduknya, makin heterogen manusianya, maka makin menonjol karakteristik masyarakatnya. Di samping itu Louis Wirth juga menjelaskan:
(a) Urbanisasi menimbulkan inovasi, spesialisasi, diversitas, dan anonimitas. Kota dapat menciptakan cara hidup yang berbeda, disebutkan dengan istilah Urbanism; dan
(b) Luas (size), kepadatan (density), dan heterogenitas (heteroginity) merupakan variabel bebas yang menentukan urbanisme, atau gaya hidup kota. Heterogenitas masyarakat kota mengakibatkan munculnya gejala depersonalisasi, lunturnya kepribadian orang, ia menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju impersonalitas dari masyarakat modern.
Pada bagian lain, Georg Simmel mengupas impersonalitas dan melukiskan orang kota sebagai yang: (1) cenderung mencari privacy;
(2) berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan khusus saja; dan
(3) menilai segalanya dengan standar uang. Selain menimbulkan klas baru, urbanisasi juga menciptakan gaya hidup (way of life) yang baru.
Sedangkan Roe (1971), memandang gaya hidup kota modern memiliki tiga nivo kehidupan:
(1) nivo kelompok primer yang akrab, ini terdapat dalam relasi orang dengan keluarga, teman dan tetangga;
(2) nivo kelugasan kelompok sekunder, ini terdapat dalam relasi orang dengan teman-teman sekerja; dan
(3) nivo kelompok berdasar peranan, ini bersifat anonim dan di situ terdapat interaksi misalnya, antara pribumi dan orang asing, si kaya dan si miskin.
Migrasi desa-kota dan pertumbuhan kota
Di Eropa, penduduk yang meninggalkan rumahnya untuk ke kota telah benar-benar pindah dari cara hidup desa ke tradisi perkotaan di mana mereka telah bermigrasi. Meninggalkan wilayah desa masuk ke kota yang terorganisir, terjadi setelah adanya faham dari luar, hal ini sebagai akibat dari kolonialisme Eropa. Dalam artikel “The Cultural Role of Cities,”
Redfield & Singer mengatakan, istilah primary urbanization and secondary urbanization digunakan untuk membedakan antara: - perkembangan kota sebagai natural outgrowth (hasil alami) dari tradisi-tradisi yang menjadi bagian mereka (primary urbanization); serta - dan peradaban atau pra-peradaban masyarakat jelata (folk society) dari tradisi-tradisi perkotaan sebagai hasil pengaruh dari luar (secondary urbanization).
Cityward migration: the “push” factor
Bahwa yang permulaan mendiami kota, adalah kaum migran yang telah “ditekan” untuk meninggalkan tempat tinggal di desa atau kota-kecil, sebagai akibat dari faktor kesukaran ekonomi, dari pada “tarikan” oleh kesempatan kerja di kota. Beyond push and pull cityward migration as a multidimensional phenomenon. Meningkatnya urbanisasi di dunia dapat di analisis dari:
1. tipe dari urban migration; dan
2. kebudayaan, ekonomi, dan motivasi personal dari pergerakan penduduk.
Variasi dari migrasi ke kota dapat dibagi menjadi beberapa kategori (Hackenberg & Wilson):
- sedentary, pola pergerakan individu terutama dibatasi pada wilayah tempat tinggalnya, yang kadang-kadang mengunjungi lokasi-lokasi ritual dan seremonial;
- circulatory, pola pergerakan individu dilakukan paling tidak sekali, atau beberapa kali, pada urban setting untuk periode yang panjang, tetapi mereka tetap tinggal di tempat komunitasnya;
- oscillatory, mereka telah meninggalkan tempat asalnya untuk periode yang panjang dan kembali ke tempat asalnya, namun tidak menetap di tempat asalnya, karena sudah menetap di kota secara permanen; dan - linear, imigran benar-benar migrasi dari desa ke kota dengan pengertian mereka meninggalkan tempat asalnya dan tidak pernah kembali. Secara umum, bagi siapa yang meninggalkan tempat tinggalnya, adalah untuk mencari pekerjaan di kota mengikuti teman atau saudara dari tempat asalnya, tujuannya mendapatkan pekerjaan dan tempat untuk hidup.
Kejahatan, sakit jiwa, dan permasalahan sosial:
- nutrition and diabetes;
- urban psychopathology;
- juvenile delinquency (kejahatan remaja);
- prostitution; dan
- political corruption.
Kemiskinan di perkotaan
Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya (Oscar Lewis).
Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin. Lalu apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan sebagai berikut: - kemiskinan yang bersifat kultural;
- kemiskinan dan budaya dua-duanya terletak dalam lingkaran setan; dan
- orang miskin dapat disosialisasikan pula di dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan baginya.
Kemudian ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan (Johnstone):
a) Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunna perumahan liar mengikuti permainan ekonomi;
b) Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman;
c) Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit;
d) Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran perumahan untuk kaum ekonomi lemah; dan e) Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan bersama penghuninya.
Peradaban kota
Peradaban istilah terjemahan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Peradaban mewujudkan puncak-puncak dari kebudayaan (Huntington). Di samping hal itu, Franz Boas mengatakan, lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu.
Antropolog Malinowski (1944), membedakan lagi budaya material dan yang spiritual: pertama, menyangkut adat-kebiasaan dan pranata kemasyarakatan; dan kedua, menyangkut berbagai harapan, nilai dan gagasan yang berlaku umum.
Sejarawan Oswaldo Spengler, memandang kultur sebagai pertumbuhan jiwa manusia yang bermasyarakat, dalam makna yang serba asli, mengandung kehidupan dan bersifat mulia, kuat, dan kaya. Dia berusaha menarik garis yang jelas antara budaya dan peradaban: - budaya, yang dominan nilai spiritual, menekankan perkembangan individu di bidang mental dan moral. (Yunani kuno sebagai budaya); dan - peradaban: yang dominan nilai material, menekankan kesejahteraan fisik dan material. (Romawi kuno sebagai peradaban) Spengler menyebut Zivilization (peradaban) sebagai produk akhir di mana budaya di situ telah menjadi steril, suatu kondisi yang akhirnya akan dialami oleh semua budaya yang ada. Ini berbeda dengan pendapat Huntington, bahwa civilization adalah puncak-puncak dari kultur. Dalam tafsiran Spengler justru sebaliknya, yakni bahwa Zivilization adalah lebih rendah daripada kultur karena merupakan hasil dari pemerosotannya.
Sikap manusia terhadap kota
Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para localis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif.
Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu: Arsitek Frank Lloyd Wright, melukiskan manusia kota sebagai ternak goblok atau kelompok semut yang berputar-putar bingung mencari lubangnya. Filsuf abad ke-19 Emerson, memperingatkan bahwa kota menjadikan manusia semakin cerewet dan keranjingan hiburan serta iseng. Tokoh pembenci kota dalam sejarahnya adalah Jenghis Khan, selama hidupnya merasa diancam oleh kota, dalam rangka meluaskan kerajaannya, kota-kota di Asia banyak yang dihancurkan dengan sewenang-wenang. Dalam mengupas “pencinta kota”, F.L. Wright membagi manusia purba atas dua golongan: pertama, penghuni gua, ini seperti manusia kota sekarang; dan kedua, mereka yang berpindah-pindah, ini mirip petualang berasal dari pedesaan sekarang. Dengan adanya gejala urbanisasi yang melanda dunia sekarang ini para “pecinta kota” membela diri: kaum urbanis dengan sukarela meninggalkan desa karena mereka ingin terlepas dari cengkeraman kebodohan, dan sedikitnya kesempatan untuk maju.
Hal ini didukung pula oleh pendapat dari Paul Tillich, yang mengatakan bahwa justru dengan kehadiran mereka kita menjadi lebih menarik karena menawarkan hal-hal serba baru dan aneh. Arsitek Eliel Saarinen mengatakan, bagaimana pun, perkembangan fisik dan mental manusia banyak tergantung dari corak lingkungan tempat ia dibesarkan sejak bayi, dan bertempat tinggal serta bekerja sebagai orang dewasa.
Sumber Pustaka
Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Basham, R. 1978. Urban Antrophology: The Cross-Culture Study of Complex Societies. United States of America: Mayfield Publishing Company.
Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni.
Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Spreiregen, P. D. (1965). Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company.
APA yang akan kita dapat dari foto sebuah bangunan? Rasa keindahankah? Atau ide baru? Atau bahkan tidak ada kesan sama sekali?
Foto sebuah bangunan, dalam hal ini fotografi arsitektur, punya kekhususan dibandingkan fotografi lainnya. Sama seperti fotografi makanan, fotografi arsitektur "merekayasa sesuatu" untuk mendapatkan kesan tertentu dari orang yang menyaksikan foto tersebut.
Dalam fotografi makanan, orang yang melihat foto harus tertantang untuk berselera, atau bahkan menjadi lapar. Maka sering makanan yang dipotret harus diwarnai dengan zat warna tertentu untuk mendapatkan efek lezat tersebut. Bahkan sang fotografer makanan biasanya dipilih dari orang-orang yang memang gemar makan enak.
Sedangkan dalam fotografi arsitektur, jiwa sebuah bangunan harus terekam dalam foto arsitektur tersebut. Jiwa sebuah bangunan bisa terekam cuma dari sepotong bagian bangunan, namun bisa juga dari komposisi sang bangunan terhadap lingkungan sekitar.
Dari sisi ini, fotografi arsitektur yang berhasil seharusnya dilakukan oleh orang yang memang berkecimpung dalam dunia arsitektur. Secara tidak langsung, sebuah fotografi arsitektur akan sangat berguna bagi para pelaku arsitektur juga.
Maka, pameran fotografi arsitektur bertajuk The Spirit of Time yang digelar di gedung World Trade Center, Jakarta, 23-29 Februari lalu bisa dikatakan sebagai sebuah sajian fotografi arsitektur yang mengena. Selain Yori Antar, sang fotografer adalah arsitek yang sangat aktif berkarya, obyek-obyek yang ditampilkan pun adalah obyek-obyek yang signifikan dalam dunia arsitektur, baik di Indonesia maupun mancanegara, dalam rentang waktu 15 tahun terakhir.
Hal lain yang perlu dicatat dari pameran ini adalah, mulainya fotografi arsitektur memasyarakat. Sampai saat ini memang cabang fotografi ini baru dikenal di lingkungan kecil, yaitu para pelaku arsitektur. Di Indonesia pun, baru di tahun ini ada kalender yang gambarnya khusus menyajikan sisi arsitektur bangunan, yaitu yang dilakukan Kedutaan Besar Jerman di Jakarta.
Menurut Yori, sebuah bangunan mempunyai "jiwa" yang ditanamkan perancangnya. Sebelum memotret, kata alumnus UI ini, ia mencari dulu jiwa sang bangunan. Setelah didapat, barulah ia menentukan posisi, waktu dan sudut pemotretannya.
Sukses sebuah fotografi arsitektur ditentukan seberapa jauh sang foto memberi info lengkap tentang bangunan tiga dimensi yang cuma disajikan dalam bentuk dua dimensi ini. Dalam hal foto-foto Yori Antar, terlihat sekali kepekaan sang fotografer memilih saat pemotretan. Yori tampak sadar sekali menunggu jatuhnya bayangan yang tepat pada sebuah bangunan untuk menampilkan kedalaman tertentu.
Akhirnya, fotografi memang sangat subyektif. Bagaimana pun, upaya Yori berceritera dan melapor dengan foto-fotonya sangat memperkaya kita. Banyak sekali bangunan luar biasa yang ternyata ada di Indonesia dilaporkan Yori. Kita telah belajar sekaligus merasa memiliki banyak hal baru. Fotografi arsitektur memang merekam wajah berbagai macam masyarakat.
MUNGKIN ini yang dinamakan perjalanan menyusuri waktu dan ruang yang melompat-lompat di satu tempat; antara dunia maya dan dunia nyata yang maya, antara dunia legenda dan dunia balada, antara dunia akal sehat dan dunia orang kehilangan akal.
Bayangkan. Sebuah patung "sphinx" setinggi lima meter tegak di atas permukaan tanah, tiba-tiba saja berada di depan mata setelah mobil melewati jalan bergelombang dengan lubang-lubang terbuka dan berebut jalan dengan truk-truk pengangkut material. "Sphinx" itu seperti menjaga gerbang masuk suatu kawasan.
Patung para penari dari zaman Mesir Kuno yang membawa persembahan, alat musik dan menari, yang mengantar perjalanan kemudian setelah melalui gerbang masuk: pasti ini Pulau Paskah di Pasifik, karena beberapa patung kepala dari batu hitam terlempar di sisi kiri jalan masuk. Sedang di sebelah kanan terlihat potongan dinding berisi huruf hieroglif dari zaman Mesir kuno.
Hanya sekitar lima puluh meter, tampak sekawanan kijang kencana.
Oooo... rupanya Rama dari Ayodya bersiap meluncurkan anak panahnya, dan Rahwana yang mengepit Dewi Sinta, istri Rama, tengah bertarung dengan Jatayu.
Lalu tiba-tiba saja kami "dikepung" para monyet anak buah Hanoman dalam Epos Ramayana yang seperti menyongsong perjalanan ke "colosseum", tempat para gladiator bertarung melawan binatang buas di Roma, satu bentuk "kebudayaan" Romawi yang dimulai pada tahun 72. Mudah-mudahan para perancang perumahan itu ingat bahwa colosseum kemudian tempat pembantaian para martir Kristen. "Colosseum" itu seperti pintu masuk menjumpai Dewa Neptunus di "tengah samudera" (kolam besar, maksudnya) yang dikelilingi naga laut dan di tepi danau tampak kuil pemujaan para dewa dan dewi dalam legenda Yunani Kuno. Dari titik itu mulai tampak rumah-rumah bertingkat dua yang dibangun berjajar, massal, dengan arsitektur entah bergaya apa.
Menyaksikan pemandangan luar biasa itu, terselip rasa "kagum" membayangkan perancangnya yang "kreatif" (lebih tepatnya nekad) menghadirkan "petualangan" dari zaman ke zaman di tengah lanskap sebuah perumahan mewah yang luasnya sekitar 100 ha di kawasan timur Jakarta.
Khusus patung sphinx, patung berkepala manusia berbadan singa itu tegak menatap lurus setinggi lima meter. Di Giza, Mesir, sphinx seperti menjaga piramid, struktur monumental dari batu yang dibuat pada masa Kerajaan Mesir Kuno yang juga berfungsi sebagai kuburan dan penyimpan mumi (mayat yang diawetkan) para farao.
Jadi, sekreatif apa pun, patung serupa sphinx di depan gerbang sih rasanya memang jadi terasa mengada-ada...
***
SEKITAR 100 meter dari kawasan itu, tampak pemandangan yang tak kalah hebatnya pada gerbang suatu kawasan permukiman mewah yang konon mengantongi izin seluas 1.000 ha. Paling tidak kami menjumpai sepotong "Eropa kuno" di sana.
Dua patung mirip Dewa Atlas yang memanggul bola dunia, menyongsong di bagian depan sisi kanan-kiri gerbang masuk. Di sisi kanan-kiri bagian dalam terdapat arcade bergaya Renaissance mengapit karya instalasi berbentuk setengah lingkaran besar dengan patung-patung kecil bergaya Eropa abad pertengahan yang melayang di beberapa bagiannya, seperti piazza di Italia.
Pemandangan itu mengantarkan kami memasuki bulevar dengan lanskap yang menyejukkan mata. Di kiri-kanan jalan ditumbuhi semak dari tanaman tropis pilihan dikelilingi rumput hijau tebal yang tampak sangat terawat. Tiba-tiba bangunan berwarna permen warna-warni (seolah-olah) berarsitektur gaya "Disneyland" menyita pemandangan di depan. Ah... bangunan kantor pemasaran, rupanya.
Ketika memasuki bangunan itu, terasa sebersit keraguan, sampai harus diyakinkan kembali oleh satpam, itu betul kantor pemasaran. Soalnya, meja berjajar di kanan-kiri hall yang dihuni wajah-wajah cantik karyawan pemasaran itu mengesankan suasana agak asing: bukan seperti ruang pemasaran, tetapi ruang pengadilan.
Di kawasan perumahan dengan harga terendah Rp 92 juta tunai atau Rp 104 juta dengan harga tunai bertahap selama 12 bulan itu untuk T29/72 (tipe aslinya "rumah sederhana" atau RS) di kelompok (cluster) Pesona Amerika itu - "Tetapi sebentar lagi tanahnya naik Rp 25.000," kata gadis cantik petugas pemasaran - katanya sudah terbangun sekitar 3.000 rumah di atas lahan seluas 300 ha.
"Di sini cara membangunnya inden, hanya dibangun setelah dibeli," lanjut petugas pemasaran. "Harga di sini naik tiap tiga bulan. Tetapi ya laku saja tuh. Waktu saya pindah setahun lalu, baru beberapa yang tinggal di sini. Sekarang mulai banyak. Banyak kok bintang sinetron yang tinggal di sini juga," ujar Ny Atik (30), menyebut nama beberapa bintang sinetron yang sedang naik daun.
Karyawati sebuah perusahaan di kawasan Kuningan Jakarta itu merasa beruntung membeli rumah di cluster Pesona Florence yang kaplingnya sudah habis terjual.
***
PESONA Florence, Italia.
Atau pesona-pesona lainnya seperti yang berkali-kali muncul dalam iklan di media massa cetak atau audio. Mungkin karena temanya "pesona" itu orang dibuat seolah-olah berada di Florence. Tetapi jangan banyak berharap mendapatkan bayangan Kota Florence di Tuscany, Italia, yang mampu membawa pengunjungnya menengok sejarah dan merasakan aura masa lalu kota itu.
Di cluster Pesona Florence, yang dijumpai adalah bangunan-bangunan rumah massal berlantai dua, dengan halaman tanpa pagar mirip model townhouse. Lingkungan binaannya tampaknya memang dibuat senyaman dan seakrab mungkin untuk kelompok masyarakat kelas menengah yang lari dari kepengapan Jakarta.
Pada gerbang masuk cluster Pesona Paris, kami disongsong tulisan timbul Bienvenue a Paris dan gapura menyerupai Art d'Triomphe di Paris yang aslinya bisa dipakai untuk lewat 14 kereta kuda, serta patung-patung lainnya yang menyerupai patung dari zaman Renaissance. Satpam yang menjaga dengan sopan memberi kartu, menyilakan mobil masuk.
Seperti cluster lainnya di Pesona Wina, Pesona Kyoto, Pesona Amsterdam, Pesona Denhaag, jalan masuk ke Pesona Paris tampak sangat asri dengan lansekap taman yang menyejukkan mata.
Tetapi, sekali lagi, jangan berharap menemukan Paris di cluster itu.
Kecuali gerbang masuk yang "ke-paris-parisan", semua rumah di dalamnya tak lebih dari jajaran bangunan bertingkat dua yang dibangun secara massal, dengan halaman tanpa pagar dan jalanan yang lapang. Beberapa bagian jendelanya tampak hanya berupa hiasan, dan tampaknya rumah-rumah tersebut dikonstruksikan untuk menggunakan pendingin ruangan. Lingkungannya tampak tertata dan terpelihara.
Beberapa rumah sudah ditambah dengan beragam bentuk tempelan yang menunjang fungsi penghuninya, seperti atap untuk garasi terbuka di depan rumah. Di beberapa rumah tampak tempelan patung kepala singa kecil di dinding taman, seperti miniatur kepala patung-patung singa di Helgeandsholmn, bagian utara kota tua Stockholm, Swedia.
Yang menarik adalah baliho-baliho bertuliskan Opera de la Concorde, Paris dan lain-lain di pinggir jalan. Tentu tidak relevan menanyakan di mana Opera de la Concorde. Namanya saja seolah-olah.
Jadi kalau obyeknya maya, ya boleh-boleh saja.
Kami sempat singgah di Sentra Komunitas Pesona Paris, suatu pusat berkumpul warga (idealnya) yang sore itu tampak sepi, hanya dikunjungi beberapa orang. Pos penjaga menuju ke pintu kawasan itu terlihat kotor, meski dibangun sesuai warna lingkungannya. Dindingnya penuh coretan. Lantainya kusam seperti tidak pernah dibersihkan.
Gambaran sketsa di kantor pemasaran yang begitu mewah hampir tidak bersisa (namanya saja sketsa...), kecuali toko-toko kecil seperti mini market dan laundry untuk kebutuhan cepat penghuninya. Juga ada beberapa restoran, malah ada yoghurt Cisangkuy Bandung yang rasanya spesial itu. Restoran Betawi di tempat ini bernama Le Batavia. Yang ditawarkan sop buntut juga.
***
STREET of London sekarang ada di kawasan Puncak, Jawa Barat. Ini adalah tema dagangan baru yang ditawarkan satu perusahaan real estat yang membangun vila di kawasan itu. Kalau melihat promosinya di Plaza Senayan beberapa waktu lalu, rasanya menarik juga melihat semua pemandangan di jalanan Kota London lama yang dilengkapi patung-patung kardus para serdadu penjaga istana.
"Masih dalam pembangunan. Itu wilayah yang baru kita buka," kata petugas dari kantor pemasaran yang segera mengangsurkan brosur-brosur rumah vila di atas area yang mendapat izin seluas 180 ha termasuk bukit-bukit yang tampak gundul karena dikelupas.
Di tempat ini katanya telah terbangun sekitar 2.000 vila yang dibangun dengan cara indent juga. Harga termurah dengan satu kamar (T47/130) sekitar Rp 170 juta tunai. Street of London yang tengah dibangun itu harganya lebih Rp 750 juta dan katanya sudah dibeli enam kapling.
"Di sini banyak yang akan dijual lagi. Hubungi saja kantor pemasaran," ujar seorang satpam ketika kami mengelilingi kompleks yang dibangun dengan tema-tema kota di dunia itu. Suasana di kawasan yang dibangun untuk tempat peristirahatan itu tampak sepi.
Hanya satu-dua penghuni yang tampak. Itu pun ternyata bukan pemilik, tetapi kerabat pemilik yang sedang diserahi tanggung jawab oleh pemiliknya untuk mengawasi renovasi bangunan.
"Kita menyediakan satpam dan tenaga yang memelihara serta membersihkan halaman. Untuk itu ada iuran wajib antara Rp 120.000 - Rp 220.000 sebulan," kata petugas kantor pemasaran itu.
Di sebuah bukit yang sudah tampak gundul di kawasan real estat itu, katanya tidak akan dibangun untuk vila. Tetapi, "Kami akan membangun corporate lodge di sana. Nantinya akan ada fasilitas olahraga dan berbagai fasilitas lainnya di situ," lanjutnya.
Tak jauh dari kantor pemasaran, terdapat tempat bermain anak yang menyerupai Disney Land. Di bagian depan, ada patung ksatria Eropa abad pertengahan dengan baju besinya, seperti menjaga pintu masuk.
"Penghuni mendapat diskon 20 persen untuk menikmati fasilitas yang disediakan," jelas petugas lagi.
***
DI kawasan ini (sungguh) kita bisa berteriak "kagum". Lumayan untuk menghilangkan stres dan sejenak melupakan krisis ekonomi serta aksi-aksi unjuk rasa yang terus berlangsung di jalanan Jakarta.
Sayangnya tawa kami bukanlah tawa kegembiraan. Ada rasa getir menyaksikan tempelan-tempelan arsitektur dari belahan dunia lain untuk bagian depan rumah dan bentuk secara umum. Malah ada bunga-bunga impor di depan beberapa vila bertema kota-kota di Eropa dan patung-patung tiruan untuk menegaskan kesan seolah-olah itu. Ada juga bentuk rumah dengan atap seperti iglo, rumah orang Eskimo, dengan warna-warna cerah. Lanskap kawasan ini juga dibuat mirip tema-tema kota dunia yang ditawarkan.
Akan tetapi, itu hanya kesan sepintas. Semakin jauh mengamati vila-vila di kawasan Puncak itu, semakin tampak keanehan-keanehan mencolok, khususnya alat pendingin tampak menempel di bagian luar rumah dan jendela yang ternyata hanya hiasan. Pintu masuk di vila-vila dengan dua kamar tidur itu terasa kecil dan sempit. Setiap rumah mempunyai perapian dan "cerobong asap" seperti rumah-rumah di benua yang punya empat musim.
Beberapa penghuni mulai berkreasi menambah bangunan yang tidak disesuaikan dengan bangunan asal. Tetapi ini menyangkut soal selera dan hak. Kalau sudah dibeli tidak ada satu pihak pun yang berhak menegur si pemilik yang ingin membuat rumahnya menjadi seperti apa, sepanjang ada izin resmi, sepanjang tidak merugikan orang lain.
Sayangnya, sulit membayangkan sekumpulan vila di sebuah real estat yang berderet-deret bermodel sama, bertipe sama. Juga sulit membayangkan vila dengan lanskap yang terkesan amat artifisial itu. Yang lebih terasa adalah kawasan real estat biasa yang dibangun di Puncak, Jawa Barat, kawasan peristirahatan yang saat ini dipenuhi bangunan dan rawan longsor.
Ternyata wabah aneka pesona itu bukan cuma milik Jakarta dan kawasan sekitarnya atau kawasan Puncak. "Gejala serupa tentang hunian bernama aneh juga ada di Bandung Utara," ungkap Setiadi Sopandi dari Arsitek Muda Indonesia. "Potensi konflik di kawasan itu adalah pembangunan fisik versus daerah resapan air, dan kawasan pemukiman mewah yang dihuni hanya akhir pekan versus kawasan miskin (di pinggiran kompleks perumahan)."
"Ini namanya arsitektur malangkadak, sana ndak, sini ndak. Ini arsitektur yang merusak. Saya heran kok ndak ada arsitek yang teriak," kata Ir Hilman Asnar, pemilik PT Hilman dan Mitra, yang kebetulan ditemui di lokasi itu.
"Tahu apa bahasa Jepang rumah-rumah yang katanya bergaya Kyoto itu?" tanyanya setelah beberapa saat.
"Arsitektur horotokono," ia menjawab pertanyaannya sendiri sambil tersenyum, karena horotokono merupakan plesetan bahasa Jawa yang agak sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. Tetapi, kira-kira artinya, "sukurin" atau dalam bahasa yang lebih populer, "Nah lo, nah lo"!
Arsitektur "Malangkadak", Arsitektur "Horotokono" VIDEO
Pameran karya arsitek muda kali ini menampilkan perkembangan yang menggembirakan. Tapi mengapa seperti ada penyeragaman langgam?
Tak lazim. Begitu kesan kita ketika pertama masuk ke ruang pameran Erasmus Huis. Disambut dengan dinding dari susunan kardus, kita memasuki ruang yang gelap. Dinding putih dan beberapa pintu di ruang pameran ditutupi kain hitam. Jalan menuju ke ruang pertunjukan video karya Arsitek Muda Indonesia (AMI) dihantar dengan lampu kecil berkelap-kelip. Memang selayaknya arsitek bisa menyiasati ruang seperti yang mereka inginkan. Seperti mereka menyiasati batas-batas ruang yang mereka pakai dalam rancangannya. Rumah di Ragunan karya Adi Purnomo contohnya.
Dengan segala keterbatasan ruang yang tersedia, kreativitas Adi tetap tidak tersumbat, bahkan menciptakan karya yang sungguh luar biasa. Rumah tinggal di lahan dengan kedalaman 14 meter itu harus terjepit dengan garis sepadan bangunan 10 meter dan parit kecil di belakang 1 meter.
Dengan lebar lahan 3 meter, sang arsitek dapat mengoptimalkan ruang sekaligus menghadirkan karya dengan nuansa tropis. Karya Adi Purnomo lainnya, Gereja Taman Bintaro, menciptakan ruang kebaktian di bawah bukit rumput. Lebih mementingkan lingkungan yang asri, bukan gedung gereja yang sering menjulangkan menara dan salibnya.
Bangunan ini pun terjepit menara listrik tegangan tinggi. Gereja di bukit suci Kelong Manado, karya Idris Samad, menyajikan ruang misterius terhadap hubungan manusia dengan Tuhannya. Melalui jalan yang berliku dan pintu masuk yang tidak langsung menghadap altar (bandingkan dengan pintu gereja biasanya yang langsung menghadap altar), kita dihantar ke dalam perenungan sebelum menghadap Sang Khalik. Bandingkan dengan masjid tanpa kubah dan minim ornamentasi dari Masjid Ar-Rayan karya Ahmad Djuhara serta Masjid Trisakti karya Jeffry Sandy dan Sukendro Sukendar Priyoso, yang memberi suasana baru. Setidaknya, suasana yang tak biasa buat kita yang sering melihat masjid dengan kubah bawang dan penuh ornamen.
Menghadirkan suasana yang tak biasa dan baru menjadi semangat para arsitek muda.
Ada bermacam rancangan yang dipamerkan, mulai dari rumah tinggal, rumah ibadah, komersial, hingga sayembara, yang mendapat sentuhan arsitek muda yang ingin pembaruan. Pembaruan telah banyak dilakukan AMI. Dan karya yang mereka tampilkan sekarang merupakan karya arsitek generasi yang lebih muda. Karya-karya yang mempertanyakan esensi pembatas dalam sebuah ruang dan atap. Presentasi pun dengan kardus dan maket yang menampilkan pohon tanpa daun. Dengan berharap klien yang memberikan penugasan mempunyai imajinasi yang sama dengan keinginan sang arsitek. Sebuah keberuntungan besar buat arsitek yang memiliki klien yang mengerti imajinasi arsitek itu.
Dari klien yang bijak, lahir pula karya arsitektur yang baru. Baru dalam penataan ruang, juga dalam penggunaan material.
Seperti karya Ahmad Djuhara dalam rumah baja Sugiharto yang menampilkan penggunaan material besi, seng, dan aluminium dalam karya rumah tinggal. Rumah tinggal yang murah ini bukti penolakan anggapan bahwa rumah tinggal yang dirancang arsitek itu mahal. Pencarian material baru termasuk sikap kreatif dari arsitek dunia. Di Jepang, arsitek Shigeru Ban terkenal dengan penggunaan kertas dalam karyanya.
Yang menggembirakan adalah karya-karya sayembara yang dipamerkan. Semua energi sang arsitek terwujud dalam menyikapi tantangan sayembara itu. Pada sayembara pusat kesenian (art center), AMI menurunkan karya kolaborasi Ahmad Djuhara dan Wendy Juniana Djuhara, kolaborasi Maria Rosantina dan Zenin Adrian, dan kolaborasi Daliana Suryawinata dan rekan.
Sikap kreatif mereka ditantang dalam menjawab sayembara pusat kesenian di lahan Galeri Nasional Jakarta.
Membangun yang baru dan menghargai yang lama. Minimnya sayembara, sebuah kendala perkembangan arsitektur di Indonesia. Banyak arsitek dunia disarkan oleh sayembara yang dimenanginya. Orang-orang muda dalam AMI membutuhkan suasana kompetisi yang sehat dalam berkarya. Kompetisi yang mendewasakan sikap dan karakter rancangan mereka. Adapun pameran kali ini, sadar atau tidak, banyak menghasilkan karya yang berlanggam seragam. Kurang bervariasi. Mungkin karena arsiteknya saling mempengaruhi. Atau sangat sedikit arsitek muda Indonesia yang terlibat. Atau memang langgam serupa melanda arsitektur dunia dan kini mengukuhkan pengaruhnya di Indonesia. AMI menjadi tempat berkumpulnya ide segar di seluruh Indonesia. Sebuah benih arsitektur di negeri ini yang mampu membangun lingkungan dan kota-kota kita dengan karakter garis tangan arsitek Indonesia. Semoga produk mereka akan lebih mencerminkan keragaman ketimbang keseragaman di waktu mendatang.