Kemegahan Dibalik Dangkalnya Potensi Wisata
Sejak pemerintahan Hindia Belanda di Surabaya, ratusan abad lalu hingga awal abad 20, banyak bangunan didirikan untuk kelangsungan kekuasaan, perdagangan, dan pertahanan oleh bangsa kolonial. Bangunan-bangunan itu kokoh nan megah dengan corak arsitektur yang tiada duanya di dunia. Di masa kemerdekaan, banyak tempat dan bangunan itu digunakan sebagai arena bertempur memperjuangkan kemerdekaan. Jadi, selain karena pertimbangan arsitektur yang unik dan langka, juga nilai kesejarahan yang membuat kawasan atau bangunan itu harus dilestarikan sebagai cagar budaya.
Upaya pelestarian itu semestinya harus dilakukan sejak adanya Ordonantie Monumenten Nr 238 tahun 1931, sebagai dasar hukum yang sah ketika pemerintahan Hindia Belanda. Namun perhatian Indonesia baru terasa sejak dibuatnya UU Benda Cagar Budaya No 5 Tahun 1992. Toh, fasilitas hukum ini di Surabaya lemah di lapangan.
Sejak diundangkan perangkat hukum itu, masyarakat Surabaya sebenarnya sudah melakukan upaya-upaya untuk menerapkan tugas UU. Waktu itu, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Paguyuban Pelestarian Arsitektur Surabaya (PPAS) sekarang menjadi Lembaga Pelestarian Arsitektur Surabaya (LePAS), Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Jawa Timur, Dewah Harian Cabang (DHC '45) Surabaya dan Dewah Harian Daerah (DHD '45) Propinsi Jawa Timur, berkumpul untuk merumuskan program dan melakukan berbagai kegiatan untuk mendukung Pemerintah Kodya Surabaya waktu itu.
Berbagai seminar, memberi penghargaan kepada pengelola gedung bersejarah yang memiliki nilai arsitektur tingi, seni dan sejarah yang sangat tinggi sehingga terawat dengan baik, sampai membentuk Tim Cagar Budaya. Tim ini kemudian mengadakan penelitian dan inventarisasi berbagai gedung atau kawasan yang masuk dalam kategori cagar budaya. Realisasinya lalu dituangkan dalam SK Walikota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996, yang menetapkan 61 bangunan sebagai benda cagar budaya, dan SK Walikota Nomor 188.45/004/402.1.04/1988 yang menetapkan 102 lokasi benda dan situs. Dus, dalam dua tahun itu didapat 163 benda, bangunan dan situs yang masuk cagar budaya yang harus dilindungi.
Padahal, bila merunut sejarah panjang Surabaya, tidak menutup kemungkinan terdapat ratusan benda, bangunan atau situs yang dapat digolongkan sebagai cagar budaya. Dan sejak 1988 hingga sekarang, tidak ada pertambahan yang berarti. Sementara perkembangan kota terus berkejaran dengan SK Walikota yang tidak memiliki kekuatan apa-apa di lapangan. Akhirnya, ketidakberdayaan perangkat hukum yang ada tak mampu mencegah terjadinya pembongkaran berbagai kawasan atau bangunan bersejarah.
Keadaan ini diakui oleh Ir Tondojekti, ketua Tim Pelestarian Benda Cagar Budaya Surabaya. Kendala dan kesulitan yang dihadapi sangat banyak, termasuk berganti-gantinya pejabat yang berwenang, tidak adanya instansi khusus yang berwenang menangani, sehingga keberlanjutan usaha perlindungan terhadap benda cagar budaya yang sudah dimulai sejak awal 1990-an menjadi tersendat. Ditambah lagi minimnya dana yang akibatnya tidak bisa dilakukan penelitian dan inventarisasi terhadap bangunan bersejarah lainnya yang masih tersebar.
Selain itu, gejolak politik nasional yang meruntuhkan Orde Baru dan melahirkan Orde Reformasi juga turut menjadi sebab. Masa transisi itu membuat pemerintahan sibuk sendiri dengan soal-soal politik, sekaligus melupakan sektor penting mengenai perlindungan cagar budaya. Di tengah kesibukan seperti itu, berbagai bangunan dirobohkan untuk kepentingan bisnis yang sedang tumbuh di Surabaya. Seperti Pasar Wonokromo dan terakhir Stasiun Semut. Pembongkaran yang terakhir yakni Stasiun Semut seolah menyadarkan pemerintah dan masyarakat dari mimpi, lalu menggerakkan kepedulian kembali akan arti penting bangunan bersejarah yang masuk cagar budaya.
Menyadari keberadaan bangunan bersejarah lain yang terancam musnah, pemerintah segera mengambil inisiatif. SK Walikota sebagai perangkat hukum yang tidak berdaya, akan dikuatkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Ketua Tim Pelestarian Benda Cagar Budaya sekaligus Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Ir Tondojekti, melibatkan masyarakat luas, antara lain kalangan akademis, LSM dan masyarakat untuk menyusun Perda yang hingga kini sedang digodok. "Pak Wali (Bambang Dwi Hartono, red) menginginkan Perda ini segera selesai dan disahkan pada November mendatang, sebagai kado Hari Pahlawan," ujarnya.
Pariwisata
Keberadaan Perda menjadi amat sentral, karena akan menguatkan dan melengkapi SK Walikota yang lemah karena tidak memuat sanksi yang tegas terhadap siapapun yang dengan sengaja memusnahkan benda cagar budaya. Termasuk di dalamnya juga memuat kompensasi yang akan diberikan pada pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya. Sebab, bila tidak ada sanksi yang tegas dan kompensasi yang jelas, kecenderungan pembangunan fisik kota sangat membahayakan posisi aset, seperti bangunan bersejarah baik yang masuk benda cagar budaya atau tidak.
Menurut Budi, Ketua Bidang Sosial Budaya didampingi Ach Migdad, Kasubbid .... Pemerintah Kota Surabaya, dikhawatirkan apabila bangunan-bangunan kuno yang bernilai sejarah atau bangunan kolonial bernilai arsitektur peninggalan Belanda dirobohkan satu demi satu, maka hilanglah aset benda cagar budaya yang berarti hilangnya jati diri bangsa dan budaya, hilang pula wajah Surabaya "tempo doeloe" yang mempunyai nilai historis bagi masyarakat Surabaya dan yang bernilai arsitektur kota.
Dengan demikian akan hilang bukti-bukti fisik yang biasanya digunakan sebagai obyek studi lapangan pada bangunan-bangunan kolonial, umumnya peninggalan Belanda, yang memiliki gaya dan langgam tertentu, yang penting bagi pendidikan arsitektur dan arsitektur kota, atau bagi generasi mendatang yang belajar tentang arsitektur kota. Artinya, potensi pariwisata kota yang terkandung dalam wajah Surabaya "tempo doeloe" dengan arsitektur berlanggam klasik, yang umumnya disukai oleh wisatawan manca negara terutama dari Eropa juga akan hilang.
Kekhawatiran ini menjadi sangat beralasan, ketika Surabaya yang dikenal sebagai kota BUDIPAMARINDA (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan) memiliki kekayaan aset yang sangat besar, tapi tidak cantik sebagai obyek wisata. Seperti diungkapkan Muhtadi, Kepala Dinas Pariwisata (Disparta) Surabaya, kota Surabaya sebenarnya memiliki potensi sebagai obyek wisata yang sangat besar, bila dikembangkan dengan baik. Hanya saja keterbatasan yang membuat tidak mampu menjual obyek-obyek itu, terutama bangunan atau kawasan bersejarah. "Kita belum bisa berbuat banyak kalau menyangkut bangunan bersejarah sebagai obyek wisata, karena upaya pelestarian itu juga belum maksimal. Perdanya saja baru dibuat, jadi kita juga masih menunggu."
Potret kota Surabaya demikian makin menegaskan, pemeo yang berkembang di masyarakat bahwa Surabaya hanya kota transit dan bukan kota tujuan wisata mendekati kebenaran. Orang luar daerah atau wisatawan asing hanya 'lewat' untuk kemudian meneruskan perjalanan kembali ke daerah tujuan wisata lain yang lebih menarik. Aset-aset wisata modern yang menjadi obyek wisata unggulan Surabaya, hampir bisa ditemui di kota besar lain di Indonesia, sehingga tak lagi menarik. Sementara banyak wisatawan asing yang lebih suka mengunjungi obyek bernilai sejarah. Kalau di Blitar sekitar 30 persen wisatawan memilih obyek bersejarah, Surabaya belum ada catatan resmi.
Ketimpangan seperti ini pada suatu waktu akan membentuk karakter kota yang angkuh dan egois, tidak lagi peduli dengan bangunan kuno bersejarah sebagai aset bangsa, tidak menarik untuk berwisata, sebagaimana kota-kota medern lain yang miskin sejarah. Apakah dengan adanya Perda nanti wajah Kota Surabaya akan bisa diselamatkan, masih jadi tanda tanya besar. Jangan-jangan seiring disusunnya Perda, diam-diam ada kawasan atau gedung bersejarah termasuk cagar budaya digerogoti hingga musnah, untuk dibangun gedung baru yang megah, tapi kering akan nuansa.