Memahami Sejarah Kota sebuah Pengantar




Memahami Sejarah Kota sebuah Pengantar

Antariksa

Pengertian kota secara leksikografi dan keilmuan Sebenarnya perkataan kota dalam Bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti, yaitu dinding (tembok) yang mengelilingi benteng (tempat pertahanan); daerah perkampungan yang terdiri atas bangunan rumah yang merupakan kesatuan tempat tinggal dan berbagai lapisan masyarakat; dan daerah yang merupakan pusat kegiatan pemerintahan, ekonomi, dan kebudayaan. Di Indonesia yang menggunakan kata kota atau kuta, misalnya Kutaraja (Banda Aceh sekarang) dan Kutarenon di Lumajang. Dalam bahasa Sansekerta, kuta berarti benteng atau kubu pertahanan (Williams 1899:288). Kuta dalam bahasa Jawa Kuna berarti ‘benteng’: warnan tingkah ikan puradbhuta kutanya bata ban umidar… (Zoetmulder, 1982:938) artinya gambaran susunan kediaman raja, mengagumkan, bentengnya dari bata merah, mengelilingi… . Ke dalam bahasa Jawa Baru: 1. pagêr bata mubêng, béténg, 2. nêgara, gêgrombolaning pakampungan (Poerwadarminta, 1939). Beberapa contoh kota-kota berdasar pengertian di atas: Di China dan India kota di kelilingi tembok tinggi atau benteng tempat rakyat berlindung sewaktu ada bahaya (Weber, 1966:75-77). Di dalam Negarakrtagama digambarkan bahwa wilayah kediaman raja Majapahit dikelilingi tembok tebal dan tinggi (Pigeaud, 1960:I-7). Wilayah kota Banten dilingkupi oleh benteng (Rouffaer & Ijzerman, 1915:222). Di Yogyakarta dan Surakarta ada cêpuri, yakni tembok tinggi yang mengelilingi kompleks kraton, dan ada baluwerti, yakni benteng yang mengelilingi kompleks kraton dan beberapa kelengkapannya serta hunian-hunian di sekitarnya.

The concept of city is notoriously bard in define

(Childe, 1979:12)

Pengertian-pengertian di atas dipandang secara leksikografi yang mempunyai pengertian mendasar berdasar budaya dan geografis yang berkembang pada awal abad terjadinya atau terbentuknya kota. Pada bagian lain sudut pandang lebih universal memberikan pemahaman sebagai pandangan keilmuan dalam menterjemahkan pengertian mengenai kota.

Lalu bagaimana pengertian kota berdasarkan bidang keilmuan masing-masing. Kota adalah permukiman yang permanen relatif luas, penduduknya padat serta heterogen, dan memiliki organisasi-organisasi politik, ekonomi, agama, dan budaya (Sirjamaki, 1964). Ditegaskan pula oleh Hamblin (1975), kota adalah tempat yang dihuni secara permanen oleh suatu kelompok yang lebih besar dari suatu klen. Di kota terjadi suatu pembagian kerja, yang kemudian melahirkan kelompok-kelompok sosial dengan diferensiasi fungsi, hak, dan tanggung jawab Dengan pengertian ini, Jones (1966) menegaskan bahwa kota tercakup unsur keluasan wilayah, kepadatan penduduk yang bersifat heterogen dan bermata pencaharian non pertanian, serta fungsi administratif-ekonomi-budaya Sebaliknya, kota bagi orang Islam pada dasarnya adalah, permukiman tempat seseorang dapat memenuhi kewajiban-kewajiban agama dan sosialnya secara keseluruhan (Grunebaum, 1955:142-144). kota dalam bahasa Arab‘madina’berarti suatu kota suatu permukiman luas tempat terjadi konsentrasi fungsi-fungsi keagamaan, politik, ekonomi, dan fungsi-fungsi lainnya. Suatu ‘madina’ pada prinsipnya adalah suatu ibukota administratif, selalu merupakan ibukota suatu nahiyyah atau rustaaq distrik(IM. Lapidus, 1969:69-73). Dari sudut ekonomi kota adalah suatu permukiman di mana penduduknya lebih mengutamakan kehidupan perdagangan dan komersial dari pada pertanian. Karena itu Max Weber (1966:66) memberikan pengertian kota ialah ‘tempat pasar’ , sebuah ‘permukiman pasar’(market settlement).Kotaialah sebuah permukiman permanen dengan individu-individu yang heterogen, jumlahnya relatif luas dan padat menempati areal tanah yang terbatas berbeda halnya dengan apa yang disebutkan desa-desa, kampung-kampung dan tempat-tempat permukiman lainnya (Louis Wirth). Namun MAJ Beg (1965:32) menekankan sebagai permukiman dengan aspek kependudukan yang padat, heterogen termasuk tentunya kelompok yang telah mengenal tulisan yang biasanya berada dalam masyarakat non-agraris. Pada bagian lain, Peter J.M Nas (1986:14) menegaskan, bahwa kota itu adalah: - suatu lingkungan material buatan manusia;suatu pusat produksi; suatu komunitas sosial; - suatu komunitas budaya; dan suatu masyarakat terkontrol. Sedangkan Paul Wheatley (1985:1), memberikan penjelasan sebagai berikut: - suatu arena tempat untuk masyarakat yang saling berperan antara kedua keinginan baik yang kreatif maupun yang destruktif dalam disposisi dan ruang; - untuk peningkatan lokal suatu yang karakteristik bagi gaya kehidupan, produksi dan pemikiran; - suatu pusat yang berfungsi untuk kontrol sosial, suatu penciptaan ruang yang efektif. Akhirnya Horace Miner (1967:5-10) mengatakan, bahwa kota sebagai pusat dari kekuasaan. Pada kesempatan lain John Sirjamaki (1964), menambahkan bahwa yang disebut kota adalah pusat komersial dan industri, merupakan kependudukan-kependudukan dengan tingkat pemerintah sendiri yang diatur oleh pemerintah kota. Kota-kota itu juga merupakan pusat-pusat untuk belajar serta kemajuan kebudayaan. Kemudian Gordon Childe (1952), memberikan tambahan bagi pengertian kota dalam ukuran, heterogennya, pekerjaan umum, dan lainnya, yaitu masalah pengetahuan pertulisan yang merupakan esensi bagi katagorisasi kota yang memberikan ciri perluasan pengetahuan tertentu dan tinggi dari kelompok masyarakat non-agraris. Bahkan Lombard (1976:51) pun tidak ketinggalan memberikan pengertian yang besar maknanya mengatakan, bahwa Asia Tenggara menjadi wilayah yang penting untuk pengkajian budaya, karena wilayah ini merupakan ajang percampuran elemen-elemen kebudayaan Hindu, Budha, Cina, Islam, dan Barat. Suatu aspek penting dari kajian tentang proses akulturisasi yang terjadi di wilayah itu adalah kajian tentang perkembangan kota dan urbanisasi. Pada dasarnya kota memiliki ciri-ciri universal yang berhubungan dengan asal pertumbuhan, lokasi, ekologi, dan unsur sosialnya. Ciri-ciri tersebut terdapat pada kota-kota kuno yang ada antara lain di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara (Kartodirdjo, 1977:1-8)

Kraton dan Alun-alun sebagai bagian kota 

Sebagai pusat dari kota tradisional ialah kraton. Di sekitar kraton dapat dibangun rumah-rumah para sentana dan abdi dalem, tempat ibadah, dan pasar. Kadang-kadang kraton juga merupakan benteng dengan tembok yang melingkar, lengkap dengan lapangan dan tempat ibadah. Bahkan kota-kota administrative di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Surakarta menunjukkan pola yang sama di masa lampau. Nama-nama kampong dalam kota sering disesuaikan dengan abdi dalem yang tinggal di kampong itu. (Kuntowijoyo 2003:61). Dalam tata ruang kota keberadaan alun-alun sebagai ruang terbuka di antara kraton, masjid agung dan pasar dapat ditinjau dari beberapa aspek:

1. Dari aspek filosofis-religius, alun-alun berfungsi sebagai tempat untuk menampung luapan jamaah dari masjid agung, dan rangkaian upacara Garêbêg.

2. Dari aspek politis, upacara tersebut (Garêbêg Mulud) merupakan acara seba tahunan bagi para penguasa daerah untuk menunjukkan ketaatan dan kesetiaan kepada raja (Ricklefs, 1993:9).

3. Dari aspek ekonomis, karena pasar berada di dekatnya, atau di pinggirnya.

4. Dari aspek kultural, yaitu untuk pelaksanaan acara rampog macan (van Goens dalam Graff, ed, 1956:87-89).

Pada arah orientasi tersebut memegang peranan penting di dalam kajian tentang tata ruang kota di Jawa, karena ada dugaan bahwa pada masa itu kepercayaan tentang keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos masih berlanjut (Heine-Geldern, 1963:13,1). Alun-alun di Surakarta dan Yogyakarta masing-masing ber-jumlah dua, Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul, yang mengapit kraton. Behrend (1982:181-183), berpendapat bahwa tata ruang kedua alun-alun dan gapura-gapura di kraton Yogyakarta dan Surakarta menggambarkan tata ruang yang skematis makrokosmos, serta menekankan pentingnya sumbu utara-selatan sebagai sumbu seremonial. Alun-alun di sebelah utara kraton dalam beberapa hal dapat disetarakan dengan agora di kota-kota Yunani dan Romawi (Owens, 1991:3), serta maydan di beberapa kota Islam kuno di Asia Barat (Elisse:ef, 1976:97). Kesetaraan itu terutama dalam hal bentuk, yakni baik alun-alun, agora, maupun maydan berupa ruang terbuka, berbentuk segi empat. Dalam hal fungsi ada juga ke-samaannya, yaitu untuk berkumpul orang banyak. Agora dapat berfungsi sebagai tempat penyelenggara pe-merintahan, tetapi juga tempat melakukan aktivitas-aktivitas re-kreasional (Owens, 1991:3). Di wilayah lain di Alepo misalnya, maydan berfungsi sebagai tempat berlatih pasukan berkuda (Elisse:ef, 1976: 97). Dilihat dari segi tata ruangnya, agora dan maydan tidak menduduki ruang tertentu dalam tata kotanya. Agora dapat berada di tengah kota, tetapi dapat pula berada di pinggir, sedang maydan berada di depan kediaman penguasa.

Oleh karena itu, sejarah kota di Indonesia tidak dimulai pada waktu yang sama. Ancar-ancar bahwa kota muncul sebagai sebuah kategori dalam sejarah Indonesia pada awal abad ke-20 semata-mata didasarkan lebih pada sudut pandang sosio-kultural daripada ekologis (Kuntowijoyo 2003:62). Menurut Kuntowijoyo (2003:63) pada awal abad ke-20 sebuah kota Indonesia yang ideal akan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang sekaligus menunjukkan sejarah kota itu. Pertama, sektor kota tradisional yang ditandai dengan pembagian spatial yang jelas berdasarkan status sosial dan dekatnya kedudukan pemukim dengan kraton. Kedua, sektor pedagang asing, terutama pedagang Cina, yang mewarnai kehidupan kota dengan kaya bangunan, kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial-budaya tersendiri. Ketiga, sektor kolonial dengan benteng dan barak, perkantoran, rumah-rumah, gedung societeit, rumah ibadah vrijmetselarij. Keempat sektor kelas menengah pribumi yang kadang-kadang mengelompok dalam kampong-kampung tertentu, seperti Kauman di Kota Yogyakarta dan Surakarta, atau di bagian lain. Kelima, sektor imigran yang menampung pendatang-pendatang baru di kota dan berasal dari perdesaan sekitar. Di sela-sela tempat-tempat ini terdapat gedung-gedung sekolah, pasar, stasiun, dan tempat-tempat umum lainnya.

Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. (Kuntowijoyo 2003:64)

Oleh karena sejarah kota di Indonesia masih merupakan bidang yang belum digarap, biarlah sejarah kota dibuat seluas-luasnya, dengan catatan bahwa kekhasan kota hendaklah menjadi permasalahan yang pokok. Menurut Kuntowijoyo (2003:64-71) bidang garapan tersebut adalah: Pertama, bidang garapan sejarah kota ialah perkembangan ekologi kota. Ekologi ialah interaksi antara manusia dan alam sekitarnya, dan perubahan ekologi terjadi bila salah satu dari komponen itu mengalami perubahan. Kedua, bidang garapan sejarah kota ialah transformasi sosial ekonomis. Industrialisasi dan urbanisasi adalah bagian dari perubahan sosial. Ketiga, bidang garapan sejarah kota ialah sistem sosial. Kota sebagai sistem sosial menunjukkan kekayaan yang tak pernah habis sebagai bidang kajian. Keempat. Bidang garapan sejarah kota ialah problem sosial. Perkembangan ekologi, termasuk di dalamnya masalah kepadatan penduduk, mobilitas horizontal, dan heteroginitas dapat menyebabkan timbulnya masalah sosial. Kelima, bidang garapan sejarah kota ialah mobilitas sosial.

Pemahaman mengenai kota kuno di Jawa 

Dalam Babad Tanah Jawi, kota disebut dengan kata kita, kuto dan negeri (A.H. Hill, 1960; J.J Ras, 1968; W.L. Olthof, 1941). Di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia, kota-kota kuno berdiri di pinggir sungai dan pinggir pantai dengan sistem pertahanan tertentu. Benteng mula-mula didirikan mengelilingi istana saja, bahkan ada istana yang tidak berbenteng sama sekali. Pada kota-kota yang memiliki benteng istana, kegiatan ekonomi berlangsung di luar benteng tersebut. Kemudian mulai ada penguasa -terutama di Jawa- yang memerintahkan membangun benteng kota, yang mungkin mencontoh kebiasaan orang Eropa dan sebagai jawaban atas ancaman militer Belanda (Reid, 1980:242). Sejak masa pemerintahan Sultan Agung wilayah Kerajaan Mataram-Islam dibagi menjadi empat, yakni (Tjiptoatmodjo, 1980:1-4): - Kutagara, adalah wilayah inti tempat raja dan para keluarganya serta para pejabat tinggi bertempat tinggal; - Nagaragung, adalah daerah yang ada di sekitar Kutagara dan memuat tanah lungguh para bangsawan dan pejabat tinggi; - Mancanegara, adalah wilayah yang ada di luar nagaragung; - Pasisiran, adalah daerah yang luar atau pinggir.

Dalam paham kosmos Jawa, pembagian wilayah tersebut di atas merupakan pencerminan alam semesta. Selain itu usaha untuk menciptakan kesejajaran antara makro dan mikrokosmos juga dapat dilihat dalam organisasi desa-desa menjadi mancapat dan mancalima. Pengelompokan ini berarti pengaturan tata ruang desa-desa ke dalam pola segi empat dengan satu desa disetiap arah mata angin utama, dan satu arah di tengah (Moertono, 1968:277). Kota-kota pusat pemerintahan kerajaan Mataram-Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu komponen pokok dan penunjang:

1. Pokok, berkaitan erat dengan kebutuhan hidup manusia, yakni tempat tinggal, keamanan, ekonomi, religi, rekreasi.

2. Penunjang, adalah komponen yang bersifat melengkapi namun tidak vital, seperti pintu gerbang pabean, loji dan benteng VOC, serta lumbung.

Ahli perkotaan aliran Perancis, seperti E. Pauty, berdasarkan proses terciptanya biasanya memilah kota menjadi dua, yakni bersifat alamiah dan dibuat dengan perencanaan (Hourani, tt.:9-10):

1. Kota yang alamiah tumbuh dari kecil tanpa perencanaan melalui rentang waktu yang panjang karena wilayahnya subur, komunikasi alamiahnya bagus, atau keuletan penduduknya. (Majapahit dan Kota Gede)

2. Kota yang dibuat dengan perencanaan atas perintah penguasa dimaksudkan sebagai pusat pemerintahan, atau kediaman raja. (kota Gresik dan Cirebon)

3. Tata kota adalah ekspresi sistem keagamaan, sosial, dan budaya serta hubungan dengan lingkungan dalam bentuk penataan komponen-komponen kota di dalam ruang-ruang tertentu.

4. Oleh karena itu, untuk menemukan gambaran fisik kota dan mengenali morfologinya, perlu dipelajari tata letak (layout) kota yang pada gilirannya merekam organisasi ruang dan topografinya.

Seperti halnya apa yang dijelaskan oleh Elissef (1976:90) pada masa lalu, proses terwujudnya tata kota berjalan setahap demi setahap, sehingga dapat dikenali urutan-urutan dalam pembentukan kota tersebut. Faktor-faktor yang menjadi prakondisi tumbuhnya suatu kota menurut Gideon Sjoberg (1965) ada tiga, yakni sebagai berikut:

1. suatu dasar ekologi yang menguntungkan;

2. suatu teknologi maju (relatif pada bentuk-bentuk pra-perkotaan) dalam kedua suasana baik agrikultur maupun non-agrikultur; dan

3. suatu organisasi sosial yang kompleks dan di atas segalanya ada struktur kekuasaan yang betul-betul berkembang.

Di dalam perkembangannya maka kota mempunyai banyak fungsi yang oleh Noel P. Gist (1974) dijelaskan sebagai berikut:

1. Production center, yakni kota sebagai pusat produksi, baik barang setengah jadi maupun barang jadi;

2. Center of trade and commerce, yakni sebagai pusat perdagangan dan niaga, yang melayani daerah sekitarnya.

3. Political capitol, yakni sebagai pusat pemerintahan atau ibukota negara.

4. Cultural center, kota sebagai pusat kebudayaan.

5. Health and recreation, yakni kota sebagai pusat pengobataan dan rekreasi (wisata).

6. Divercified cities, yakni kota yang berfungsi ganda atau beraneka.


Perbedaan kota dan desa 

Definisi tentang kota tercakup unsur-unsur keluasan atau wilayah, kepadatan penduduk, kemajemukan sosial, pasar dan sumber kehidupan, fungsi administratif, dan unsur-unsur budaya yang membedakan kelompok sosial di luar kota (Jones, 1966:1-8). Para ahli sosiologi pada umumnya memandang kota sebagai permukiman yang permanent, luas, dan padat dengan penduduk yang heterogen (Sirjamaki, 1964:1-8). Lalu bagaimana perbedaan dengan desa. Di kota juga berkembang tradisi besar yang dengan penuh kesadaran ditumbuhkan di pusat-pusat pembelajaran, seperti sekolah, pesantren, dan tempat-tempat peribadatan. Di sisi lain di pedesaan sebetulnya juga tumbuh tradisi kecil, yang bias disebut budaya rakyat. Kota bersifat nonagrikultural, sehingga untuk keperluan penyediaan makanan harus dibina hubungan antara kota dan desa. Penegasan juga dilakukan oleh Redfield (1963:42-43), bahwa tradisi kecil tersebut tumbuh dengan sendirinya di kalangan masyarakat pedesaan tanpa penghalusan-penghalusan yang bias dijumpai pada tradisi kota. Meskipun ada perbedaan-perbedaan antara kota dengan desa, namun kota tak dapat dipisahkan dengan desa sebagai bagian dari suatu sistem yang lebih luas (Sjoberg, 1960:25). Demikian juga Weber (1966:66-67) berpendapat, bahwa salah satu ciri pokok kota ialah, sebagai pusat kegiatan perekonomian. Sementara itu Jones (1966:1-6) menjelaskan bahwa sesuai dengan fungsi dan golongan-golongan yang utama dalam masyarakat, kota dapat dibedakan atas beberapa tipe, antara lain kota dagang, kota keagamaan, dan kota pemerintah. Sumber Pustaka

Adrisiyanti, I. (2000). Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Jendela: Yogyakarta. Ansy’ari, S.I. (1993). Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.

Anthony, J.C. & Snyder, J.C. 1986. Pengantar Perencanaan Kota. Surabaya: Erlangga. Anthony, J.C. & Snyder, J.C. 1989. Perencanaan Kota. Surabaya: Erlangga. Budihardjo, E. (1997). Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: Djambatan.Hermanislamet, B. (1999). Tata Ruang Kota Majapahit, Analisis Keruangan Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Disertasi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Nas, d. P. J. M. (1979). Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.


Memahami Sejarah Kota sebuah Pengantar VIDEO





Mega Trend – Minimalis Modern Style


Mega Trend – Minimalis Modern Style

Pada kesempatan kali ini, akan di bahas mengenai Konsep Arsitektur Modern Minimalis yang sekarang menjadi trend Gaya Arsitektur.

Gaya Minimalis kembali menjadi primadona setelah pada era 80-an sempat menjadi trend rumah atau bangunan. Pada era awal abad 21 ini gaya arsitektur dengan konsep minimalis kembali menjadi pilihan yang banyak dipakai sebagai gaya Arsitektur, baik itu perumahan, perkantoran, rumah makan dan lain sebagainya. Tetapi ada yang berbeda antara konsep Arsitektur Minimalis pada era 80-an dengan konsep arsitektur Minimalis yang banyak dipakai pada saat sekarang. Pada saat ini Konsep Arsitektur Minimalis yang merupakan saduran dari era sebelumnya telah diberi sentuhan modernisme dan lebih dikenal dengan Konsep Arsitektur Modern Minimalis

Pada saat ini Konsep Arsitektur minimalis lebih banyak dipadukan dengan bahan/ material modern dan dengan gaya yang lebih dinamis, yaitu dengan pemakaian bentuk-bentuk arsitektural yang lebih bervariasi dan tidak kaku. Apabila kita melihat bentuk arsitektur thn 80-an, kida melihat suatu gaya yang berkonsep minimalis yang mengarah ke konsep Art Deko, dengan bentuk-bentuk yang lebih kaku dan monoton.

Keutamaan dari konsep ini adalah, dengan gaya yang sederhana dan simple sehingga dapat dinikmati dan dipahami oleh hampir semua kalangan, sehingga tidak akan membuat jenuh serta membuat cepat bosan bagi yang melihatnya. Demikian juga konsep Arsitektur ini dapat bertahan lama karena dengan kesederhanaan dan simple, hal ini terbukti dengan menjadi trend dalam konsep arsitektur dalam beberapa era.

Sebenarnya Gaya Arsitektur Minimalis ini sebagian merupakan saduran dari Arsitektur Tradisional Jepang yang lebih mengetengahkan kesederhanaan dan simpel. Akankah Arsitektur Tradisional Indonesia dapat menjadi tuan rumah dinegeri orang ? Seperti halnya Arsitektur Tradisional Jepang yang dipadukan dengan arsitektur setempat yang telah menjadi tuan rumah dinegeri kita…… PR buat kita semua……..

Mega Trend – Minimalis Modern Style VIDEO





Arsitektur Kontemporer



Arsitektur Kontemporer

Gaya Kontemporer adalah istilah yang bebas dipakai untuk sejumlah gaya yang berkembang antara tahun 1940-1980an. Gaya kontemporer juga sering diterjemahkan sebagai istilah arsitektur modern (Illustrated Dictionary of Architecture, Ernest Burden).

Walaupun istilah kontemporer sama artinya dengan modern atau sesuatu yang up to date, tapi dalam disain kerap dibedakan. Istilah ini digunakan untuk menandai sebuah disain yang lebih maju, variatif, fleksibel dan inovatif, baik secara bentuk maupun tampilan, jenis material, pengolahan material, maupun teknologi yang dipakai.

Desain yang Kontemporer menampilkan gaya yang lebih baru. Gaya lama yang diberi label kontemporer akan menghasilkan bentuk disain yang lebih segar dan berbeda dari kebiasaan. Misalnya, modern kontemporer, klasisk kontemporer atau etnik kontemporer. Semua menyajikan gaya kombinasi dengan kesan kekinian.

Disain-disain arsitektur cabang dari modern yang lebih komplek dan inovatif biasa juga disebut sebagai disain yang kontemporer. Misalnya, dekonstruksi, post modern, atau modern high tech. Disain Mal eX di Jakarta, misalnya, menampilkan gaya arsitektur Dekonstruksi dan termasuk juga ke dalam gaya kontemporer. Disainnya berupa ; deretan yang berbentuk kubus yang diacak tak teratur; diberi warna berbeda sehingga terlihat atraktif; bentuk jendela tak beraturan di permukaan kubus.

Arsitektur kontemporer menonjolkan bentuk unik, diluar kebiasaan, atraktif, dan sangat komplek. Pewrmainan warna dan bentuk menjadi modal memciptalkan daya tarik bangunan. Selain itu permainan tekstur sangat dibutuhkan. Tekstur dapat diciptakan dengan sengaja. Misalnya, akar rotan yang dijalin berbentuk bidangbertekstur seperti benang kusut. Bisa juga dengan memilih material alami yang bertekstur khas, seperti kayu.

Untuk menciptakan gaya kontemporer, tak harus dengan material baru. Jenis material bangunan boleh sama , tapi dengan disain yang baru.

Arsitektur Kontemporer VIDEO





Pasar Malam Besar Tong Tong

Pasar Malam Besar Tong Tong

Juni 13, 2003

Pasar Malam Besar Tong Tong Event kebudayaan Indo-Belanda dan Indonesia terbesar di Belanda Oleh: Jean van de Kok, 13 Juni 2003

Setiap tahun, pada bulan Juni, di kota Den Haag diselenggarakan Pasar Malam Besar. Anda di Indonesia tidak mengenal lagi fenomena pasar malam seperti yang diselenggarakan di negeri kincir angin ini. Pasar malam besar ini mirip dengan pasar malam sebelum perang dunia kedua di Batavia. Jadi jelas, event in adalah peristiwa nostalgia dari kelompok Indo Belanda, mereka yang berdarah campuran Belanda/Eropa – Indonesia.

Budaya campuran Indis

Vincent Mahieu yang lebih dikenal dengan nama samaran Tjalie Robinson, seorang pemuka Indo-Belanda sekaligus penulis sastra beken di Belanda, adalah salah seorang inisiatornya. Ia ingin mempertahankan kebudayaan campuran Indis yang menurut catatan sejarah pernah berkembang di beberapa tempat di Nusantara. Di Batavia misalnya daerah Tugu dengan penduduk campuran Portugis/Belanda – Indonesia, terkenal dengan budaya campurannya yang antara lain membuahkan keroncong, musik khas yang juga disebut keroncong morisko, nama yang berasal dari bahasa Portugis. Sampai sekarang kelompok Indis menganggap keroncong sebagai khas musik Indo.

Pelepas rindu

Sebagian besar kelompok campuran Indo-Belanda di Nusantara tetap mempertahankan kewarganegaraan Belandanya setelah Indonesia merdeka. Ketika Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda, mereka yang memegang paspor Belanda harus meninggalkan Indonesia. Demikian juga orang Indo Belanda yang bukan WNI. Sekitar setengah juta warga Indo-Belanda kini menetap di Belanda, dan untuk sebagian besar dari mereka, pasar malam besar Tong-Tong di Den Haag merupakan kesempatan untuk melepas rindu mereka akan tanah kelahiran mereka atau dari orang tua dan kakek/nenek.

Den Haag mendapat julukan kota Indis, karena banyaknya orang Indo-Belanda yang menetap di ibu kota pemerintahan Belanda ini. Orang Indo-Belanda mayoritas adalah “ambtenaar” di Hindia Belanda dan ketika mereka hijrah ke Belanda sebagian besar meneruskan karir sebagai pegawai negeri di berbagai departemen pemerintahan Belanda di Den Haag.

Tiga ciri khas

Pasar malam besar Tong Tong menyorot tiga ciri khas dalam kebudayaan Indo- Belanda: makan, kebudayaan dan bahasa. Berbagai restoran dan acara belajar masak bisa anda jumpai di pasar malam ini, dari makanan khas Padang, Jawa Timur sampai ke makanan Indis, makanan campuran gaya Indonesia dan Belanda. Ihwal budaya, pasar malam ini menyediakan berbagai panggung dan teater, serta mengundang para artis Indonesia dan Belanda yang berlatar belakang Indonesia untuk memamerkan kebolehan mereka.

Setiap tahun diundang orkes keroncong dari Indonesia, Belanda atau negara lain, misalnya Malaysia. Dan akhir-akhir ini dangdut pun mendapat perhatian juga. Inul penyanyi dangdut kontroversial Indonesia pernah manggung dengan kelompok dangdut bulé. Bahasa khas kelompok Indis ini adalah campuran Belanda dengan bahasa Jawa atau Melayu: bahasa Pecok. Bahasa ini masih bisa didengar selama pasar malam besar ini atau dibaca dalam beberapa buku khas. Namun di samping itu, ratusan buku dalam bahasa Belanda dan Inggris yang menyorot Indonesia dan Hindia Belanda semasa tempo doeloe, bisa kita beli di toko buku khusus di pasar malam ini.

Dibuka Ratu Beatrix

Pasar Malam Besar tahun ini diselenggarakan untuk yang ke 45 kali. Dalam rangka itu Ratu Belanda Beatrix membuka Pasar Malam ini dengan memotong nasi tumpeng yang ia serahkan kepada direktur Pasar Malam Besar Tong-Tong ibu Ellen Derksen. Kehadiran ratu Belanda merupakan kehormatan besar bagi kelompok Indo-Belanda karena selama ini mereka merasa tidak dianggap serius, sering dikaitkan dengan masa kolonial Belanda di Indonesia, dan tidak digubris permasalahan sosial mereka selama berintegrasi dalam masyarakat Belanda. Mereka bahkan dipaksa untuk berasimilasi, demikian Ellen Derksen dalam pidato pembukaannya.

Nah, pasar malam Besar Tong Tong sebagai aset kebudayaan Indis di Belanda membuktikan paksaan untuk berasimilasi ini tidak berhasil, tanpa subsidi sepeser pun dari pemerintah Belanda, Pasar Malam besar Tong-Tong berjalan mulus sampai abad ke 21, untuk yang ke 45 kalinya, demikian direktur yayasan pasar malam besar Tong-Tong ini.

Pasar Malam Besar Tong Tong VIDEO






Seputar Istilah Arsitektur

Seputar Istilah Arsitektur

Akhmad Sekhu Arsitek, alumnus Jurusan Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta

DALAM sebuah acara seminar arsitektur, Budi A. Sukada, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Pusat, mengutarakan protes. Ia mendengar seorang pembawa acara yang mengucapkan organisasi yang dipimpinnya itu dengan nama: Ikatan Arsitektur Indonesia. Sang ketua menjelaskan bahwa terminologi yang benar adalah Ikatan Arsitek Indonesia, karena yang diikat dalam organisasi tersebut adalah orangnya, profesinya, yaitu arsitek. Bukan arsitektur, karena arsitektur itu adalah benda sebagai hasil karya dari arsitek. Arsitektur adalah seni dan ilmu merancang serta membuat konstruksi bangunan, atau arsitek itu metode dan gaya rancangan sebuah konstruksi bangunan. Konon, kasus kesalahan pengucapan ini sering terjadi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih rendah tingkat kesadaran dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Singkatan organisasi ikatan profesi lainnya, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bukan Ikatan Kedokteran Indonesia; Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) bukan Ikatan Akuntansi Indonesia; Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) bukan Ikatan Advokasi Indonesia. Lain konteksnya kalau singkatan organisasi kesarjanaan pada ilmu tertentu, misalnya Ikatan Sastra Ekonomi Indonesia (ISEI), Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI), Ikatan Sarjana Oseanografi Indonesia (ISOI), Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), ataupun Ikatan Sarjana Sastra Indonesia (ISSI).

Di surat kabar terbitan Ibu Kota beberapa tahun lalu, saya membaca adanya seorang selebritas cilik yang baru ”naik daun” yang ditanya wartawan tentang apa cita-citanya. Jawabannya: menjadi arsitektur. Mengapa masyarakat kita sering salah dalam mengucapkan istilah keilmuan? Dan kenapa sang wartawan yang menulis berita itu tidak menyunting kesalahan pengucapan narasumbernya? Mungkin sang selebritas cilik menjawab bercita-cita ingin jadi arsitektur, karena mendengar nama profesi seperti direktur, inspektur, kondektur, yang semuanya berakhiran tur menunjukkan bahwa itu orangnya, profesinya. Tapi ia tidak tahu bahwa arsitektur itu ”benda” hasil karya dari sang arsitek.

Sebenarnya, mendiang Y.B. Mangunwijaya pernah mengingatkan kita tentang istilah arsitektur yang berasal dari bahasa Yunani mempunyai arti terbatas, yaitu terdiri atas kata arkhe yang berarti asli, awal, utama, otentik; dan kata tektoon yang berarti berdiri stabil, kukuh, statis, sehingga arkhitekton berarti pembangunan utama, tukang ahli bangunan. Kemudian istilah arsitektur dihadapkan dengan istilah wastu, yang artinya lebih luas. Wastu yang berasal dari kata vasthu dari bahasa Sanskerta itu diartikan norma, tata bangunan, tata ruang, tata seluruh pengejawantahan yang berbentuk jadi punya arti luas dan komprehensif. Istilah wastu datang dari dalam, dari inti, jati diri, sikap hidup, bahkan bisa dikatakan sebagai kebudayaan bangsa. Peringatan Romo Mangun ini disampaikan lewat makalahnya berjudul ”Salah Satu Konsepsi Arsitektur Indonesia” yang disajikan dalam Kongres Nasional II Ikatan Arsitek Indonesia di Yogyakarta, pada 2 Desember 1982.

Tapi kita tampaknya lebih suka menyebut arsitektur. Itu berarti istilah tersebut seragam di seluruh dunia. Kalimat ”arsitek menghasilkan karya rancangan arsitektur” sesungguhnya bisa diganti menjadi ”seorang wastuwidyawan menghasilkan karya rancangan wastu”. Kalau saja kita mengikuti anjuran Romo Mangun untuk memakai istilah wastu tentu kita akan memiliki ciri khas bahasanya sendiri.

Apalagi tak ada yang mewajibkan bahwa sebuah istilah harus seragam di seluruh dunia. Istilah lokal justru akan memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Jika kita sepakat dengan Romo Mangun untuk menggunakan sebutan wastuwidyawan, tentu tidak akan terjadi salah ucap.

Seputar Istilah Arsitektur VIDEO






Pameran 4 Dekade Arsitektur Indonesia

Pameran 4 Dekade Arsitektur Indonesia

BANGUNAN adalah produksi manusia yang paling kasat mata. Namun, kebanyakan bangunan masih dirancang oleh masyarakat sendiri. Sehingga peran arsitek tersisih dalam produksi bangunan. Keahlian arsitek hanya dicari dalam pembangunan tipe bangunan yang rumit, atau bangunan yang memiliki makna budaya atau politis yang penting. Dan inilah yang diterima oleh masyarakat umum sebagai arsitektur. Peran arsitek, meski senantiasa berubah, tidak pernah menjadi yang utama dan tidak pernah berdiri sendiri. Selalu akan ada dialog antara masyarakat dengan sang arsitek. Dan hasilnya adalah sebuah dialog yang dapat dijuluki sebagai arsitektur, sebagai sebuah produk dan sebuah disiplin ilmu. Padahal arsitektur adalah hal sehari-hari yang dekat dengan kita. 

Menjawab fenomena tersebut, ILUNI Arsitektur UI menggelar Pameran Empat Dekade Arsitektur. Acara ini didesain untuk menjadi sebuah "Extravant Alumnae Exhibition". Pembukaannya sendiri melibatkan sebuah seremoni yang sangat unik. Pameran Arsitektur Empat Dekade ini dibuka oleh Wakil Presiden RI Dr HC Jusuf Kalla, disaksikan oleh para pejabat lingkungan Universitas Indonesia. "Pameran Empat Dekade UI sebagai bentuk karya nyata arsitek-arsitek UI yang dapat diapresiasi oleh masyarakat sehingga memberi gambaran perkembangan dan khasanah arsitektur Indonesia," ungkap Jusuf Kalla, ketika ditemui okezone dalam pembukaan Pameran Arsitektur Empat Dekade, di Galeri Nasional Jakarta Pusat, Rabu (19/3/2008). 

 Pada saat membuka acara, Wapres disambut dengan sebuah "simfoni konstruksi" yang dimainkan oleh dua puluh mahasiswa yang dilatih oleh salah seorang alumni Arsitektur UI, konduktor dan musisi kenamaan Erwin Gutawa. Alunan merdu terdengar di seluruh penjuru melalui musik perkusi yang diolah dari berbagai perkakas metal. Belum cukup unik, mereka juga memainkan instalasi konstruktif yang disusun atas kumpulan scaffholding yang biasa digunakan sebagai alat konstruksi. Pameran yang mengambil tema underconstruction ini berdasar alasan arsitektur tidak pernah menjadi sebuah proses instan. Arsitektur memegang peranan penting dalam menyusun karakter dan pribadi bangsa. Ia adalah bagian dari konstruksi sosial budaya yang menyusun fisik kota -dalam skala kecil- hingga negara, dan wajah bangsa. 

Karena itu, arsitektur bukan milik terbatas segelintir kelompok eksklusif, melainkan tanggungjawab bersama. "Pameran ini bertujuan membagikan pemahaman kepada masyarakat agar lebih mengapresiasi dan turut terlibat dalam proses membangun negara ini menuju tataran yang lebih baik," kata Ir H Achmad Noerzaman, MM, Ketua ILUNI Arsitektur UI. Menurutnya, pada tahun 2008, Departemen Arsitektur telah berusia 43 tahun. "Sebagai institusi yang telah menghasilkan tidak kurang dari 1200 arsitek yang tersebar di seluruh Indonesia dalam kurun waktu itu, tentu dia telah mengalami berbagai tantangan, tonggak keberhasilan dan pencapaian yang perlu dicatat dan diabadikan," jelas ketua ILUNI Arsitektur UI tahun 2005-2008 itu. Masih menurutnya, pameran ini terbagi menjadi dua yaitu pameran karya arsitektur yang terdiri dari 120 karya dari hampir 65 arsitek alumni UI selama empat dekade. 

Dengan lingkup proyek berskala kecil seperti kamar mandi hingga penataan kota, mulai dari bangunan tradisional hingga ultra modern tidak luput bangunan sosial hingga komersial. Sementara bagian kedua adalah instalasi yang tersebar di dalam (yang lebih bersifat self critic dan di luar bangunan) dan lebih mengeksplorasi karakter material ke tingkat paling ekstrim sebagai sebuah upaya untuk menangkap jiwa dari bahan tersebut. "Harapan kami segala pemikiran, inovasi dan kreativitas yang dituangkan dalam karya-karya alumni arsitek UI menjadi sumbangsih positif guna membangun Indonesia yang lebih maju, berbudaya, dan bermartabat," paparnya seraya menuturkan karya-karya terseleksi menunjukkan kualitas dan keandalan para arsitek yang akan menambah wawasan bagi khasanah arsitektur Indonesia. 

Pameran 4 Dekade Arsitektur Indonesia VIDEO





”Quo Vadis” Arsitektur Indonesia




”Quo Vadis” Arsitektur Indonesia

Oleh Yustinus Ade Stirman 

 Setiap tanggal 5 Juni, kita memperingatinya sebagai Hari Lingkungan Dunia. Menyambut hari lingkungan ini, ada baiknya kita melihat kembali perjalanan arsitektur dan kota Indonesia yang saat ini kondisinya lagi linglung, tidak lagi mencerminkan kepribadian bangsa. Arsitektur dan kota, ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan yang melambangkan atau mencerminkan masyarakat penghuninya. Bahkan arsitektur dan kota menggambarkan citra suatu kota atau bangsa. Kota Roma, misalnya, sangat terkenal dengan arsitek bangunannya yang kokoh, megah yang umurnya sudah berabad-abad, merupakan warisan sejarah kejayaan bangsa Romawi. 

 Bangunan yang kokoh dan megah itu, melambangkan citra orang Italia yang pada masa jayanya terkenal sebagai bangsa yang memiliki prajurit atau bala tentara yang tangguh tak terkalahkan di medan perang, yang berhasil menaklukkan dunia pada saat itu. Kepribadiannya sebagai bangsa yang kokoh dan tangguh itu, tercermin dalam arsitektur yang kokoh dan tangguh sebagai bangsa yang besar. Hal yang sama juga terlihat pada arsitektur dan kota di Indonesia khususnya di Pulau Bali. Hanya bedanya, arsitektur kota Bali yang penuh dengan lukisan, ukiran, patung-patung yang bernilai seni tinggi mencerminkan penduduknya yang mencintai dan menjunjung tinggi nilai seni dan keindahan yang diwariskan nenek moyangnya secara turun-temurun. 

Citra penduduk Bali yang menyukai dan menghayati nilai-nilai seni itu terwujud dalam arsitektur bangunannya yang sarat dengan seni. Romo Y.B. Mangunwidjaya (almarhum) salah seorang pakar arsitek nasional, mengemukakan dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan merancang karya yang bernilai arsitektur; yaitu guna dan citra. Guna menunjukkan pada keuntungan, pemanfaan dan pelayanan yang dapat kita peroleh dari bangunan. Guna dalam arti aslinya, tidak hanya bermanfaat tetapi juga punya daya yang menyebabkan kita bisa hidup lebih nyaman. Sedangkan citra menunjukkan suatu gambaran (image), suatu kesan penghayatan yang mempunyai arti bagi seseorang. Misalnya, citra gedung istana yang megah melambangkan kemegahan, kewibawaan seorang kepala negara. Sedangkan gubuk yang reyot adalah citra yang menggambarkan penghuninya yang miskin serta reyot juga keadaannya. 

 Singkatnya, kalau arsitektur dan kota kita kacau-balau, hal ini kemungkinan besar merupakan pencerminan yang wajar dan jujur dari keadaan masyarakat yang sedang linglung. Dan inilah gambaran arsitektur dan kota Indonesia saat ini sebagai bangsa yang linglung yang kehilangan jati dirinya. Pada masyarakat tradisional, kegiatan merencana, merancang, melakukan dan mengelola lingkungan buatan merupakan kegiatan swadaya dan swakarsa lokal dari penduduknya. Dengan demikian, lingkungan fisik yang terbentuk betul-betul secara wajar dan pas mewadahi aktivitas manusia yang menghuninya dengan segenap tata cara dan adat istiadatnya. 

 Keselarasan, keserasian dan keseimbangan ekologis pun lantas muncul dengan sendirinya secara spontan tanpa kehadiran perencana formal. Karya arsitektur dan kota lebih merupakan karya komunal dari penduduknya yang saling kenal dan memiliki warisan norma, tata nilai, dan tradisi yang disepakati bersama. Pada masyarakat kontemporer, keadaan tersebut telah mulai masuk menjadi bagian dari sejarah masa lampau pengelolaan pembangunan dalam arti luas, yang cenderung kesan canggih yang didominasi para pakar dan pimpinan daerah selaku pembuat kebijakan yang begitu terobsesi untuk membangun tanpa memperhatikan kaidah, budaya atau lingkungan sekitarnya. Arsitektur dan kota yang carut-marut itu terjadi karena adanya kesenjangan antara pihak yang memikirkan dan menyediakan fasilitas dengan pihak yang menggunakan fasilitas. Kesenjangan tersebut menyebabkan pembangunan yang telah dilaksanakan kadang-kadang bahkan sama sekali tidak menyentuh atau memenuhi harapan dari masyarakat yang memanfaatkannya. 

 Sebagai contoh di DKI Jakarta, misalnya, boleh dibilang arsitektur bangunan yang ada tidak lagi mencerminkan kepribadian penduduk Betawi sebagai penduduk asli kota Jakarta. Kalau kita lihat gedung-gedung bertingkat di bilangan Sudirman, Kuningan, Bundaran Hotel Indonesia, tidak lagi mencerminkan citra penduduk Betawi atau bangsa Indonesia. Hampir tidak ada satu pun gedung yang arsitekturnya khas Betawi. Yang ada hanya gedung pencakar langit yang arsitekturnya lebih mencerminkan citra bangsa Barat. Sampai-sampai Friedrich Silahan, salah seorang pakar tata kota Indonesia, menuding semua bangunan bertingkat di sepanjang Jalan Thamrin Jakarta sebagai bangunan yang tidak berkepribadian Indonesia. Semua bangunan pencakar awan itu, tidak akan terasa aneh bila ada di Singapura, Hong Kong, AS atau Eropa. 

 Tidak hanya itu, demam arsitektur ala Barat juga merambah bangunan perumahan elite di DKI Jakarta dan sekitarnya. Rumah tipe Spanyol dan Italia menjadi primadona yang selalu menjadi incaran mereka yang berkantong tebal. Orang merasa bangga tinggal di perumahan elite gaya Spanyol, ketimbang di perumahan khas Indonesia yang arsitekturnya dinilai kuno dan kolot. Di sini kita tidak lagi menghargai arsitektur sebagai warisan nenek moyang kita malah bangga dengan arsitektur barat. Padahal arsitektur itu belum tentu cocok dengan budaya dan iklim Indonesia. Banyak perencanaan arsitektur dan kota yang dikerjakan tidak atas dasar cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi dan prostitusi yang bermotif komersial. Contohnya, penunjukan konsultan sering tidak didasarkan atas pertimbangan prestasi dan referensi pekerjaan yang telah dilakukan, tetapi kebanyakan karena kondisi dan komisi hasilya, sebuah karya berkualitas rendah. 

 Fragmentalisme dalam karya arsitek mengakibatkan bahwa arsitek berlomba-lomba untuk menciptakan monumen untuk dirinya sendiri tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya. Contohnya di sepanjang Jl. MH Thamrin Jakarta, setiap bangunan seolah ingin bicara dengan nada dan warna sendiri, kesan kesatuan tidak ada. Yang ada hanyalah suasana semrawut. Parahnya lagi, para penentu kebijakan yang berada di pemerintahan kurang peka lingkungan, dan menderita obsesi membangun yang kelewatan. Contohnya, taman sebagai paru-paru kota berubah fungsi menjadi kawasan pertokoan atau perumahan. Carut-marutnya arsitektur Indonesia saat ini memang tidak sepenuhnya merupakan kesalahan para arsitek. 

Artinya kesemrawutan lingkungan buatan itu karena kesalahan para arsitek. Seolah-olah kelompok arsiteklah yang paling pantas untuk dituding dengan menjamurnya bangunan bergaya Moorish, dengan kolom dorik/lonik/korintian atau bangunan semacam kapsul ruang angkasa, dan lain-lain yang tidak ada silsilahnya di bumi Indonesia. Meskipun demikian, bukan berarti para arsitek cuci tangan atas semuanya itu. Kalau mau jujur, sebenarnya para arsitek selama ini terbukti cukup banyak melakukan kesalahan. Tidak sedikit di antaranya yang terpaku dengan inovasi dan teknologi maju yang diagungkan sebagai cerminan modernitas. Estetika dilihat hanya sekadar sebagai falsafah, bukan sebagai suatu yang bermakna bagi masyarakat sendiri. Penekanan lebih condong pada struktur dan fungsi, sementara fiksi arsitektur dan intrikasi visual, seperti yang selalu ditemui pada bangunan tradisional hanya dipandang dengan sebelah mata. Selain itu, kesalahan para arsitek yang lain adalah bahwa faktor manusia dalam perencanaan sering diabaikan. Keberhasilan dan kegagalan dari suatu karya arsitektur lebih banyak dinilai dari segi fisik dan visual saja daripada kaitannya dengan kekhasan dan perilaku manusia yang menggunakannya. Untuk mengatasi kesemrawutan arsitektur kota Indonesia, menuju arsitektur yang serasi, selaras dan seimbang dengan iklim dan budaya bangsa Indonesia, maka yang perlu dilakukan adalah menggali arsitektur tradisional yang masih kita miliki.

 Napas dan jiwa arsitektur tradisional perlu ditangkap dan diejawantahkan kembali ke dalam wadah yang benar. Arsitektur tradisional sebagai salah satu bentuk warisan budaya yang tak ternilai adalah merupakan pengendapan fenomena dari waktu ke waktu yang berlangsung secara runtut dan revolusioner. Hanya saja masalahnya sekarang penelitian tentang arsitektur tradisional masih seperti embrio sementara perkembangan dan perubahan dan berlansung sangat cepat. Selain itu, perlunya peran aktif segenap pihak. Dari pemerintah diharapkan adanya usaha penyempurnaan monumenten ordonantie 1931 disertai dengan development control yang terarah. Pemerintah perlu diimbau agar lebih peka terhadap lingkungan, tidak main bongkar saja, dengan dalih modernisasi. Sementara dari pihak masyarakat sediri perlu dipupuk rasa kebanggaan dan kecintaan terhadap tradisi tata cara hidup dan budaya mereka masing-masing yang antara lain tercermin dalam khazanah warisan arsitektur daerahnya. Tidak hanya itu, di perguruan tinggi perlu dikembangkan studi tentang arsitektur khas Indonesia, khususnya untuk bidang studi planologi. Dalam rangka menyambut Hari Lingkungan Dunia kali ini, sudah saatnya para arsitek membumikan diri sehingga bisa mengungkapkan budaya bangsa secara baik dan benar lewat karya arsitekturnya yang mencerminkan citra bangsa Indonesia. Semoga! *Penulis adalah mahasiswa program pascasarjana ilmu lingkungan Universitas Indonesia.

”Quo Vadis” Arsitektur Indonesia VIDEO