Menjelajahi Dan Mengenal Arsitek Muda Indonesia (AMI)




Menjelajahi Dan Mengenal Arsitek Muda Indonesia (AMI)
 

Latar Belakang 

 Ada beberapa persamaan pandangan diantara para arsitek muda pada saat itu, yang baru lulus dalam mempersiapkan diri untuk terjun ke rimba belantara arsitektur. Mereka melihat kondisi dunia arsitektur di Indonesia pada saat itu 'tidak menarik', 'monoton' dan 'tidak berkarakter', hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang ternyata masih relevan sampai saat ini. 

Arsitektur kita tidak berkarakter. 

 Banyak diantara karya-karya arsitektur kita tidak menggambarkan karakter dan tanda tangan si arsitek. Kita sering kali sulit mengenali karya arsitek siapakah itu ?.........hal ini mungkin terjadi karena beberapa kondisi pada saat itu. Tidak adanya derajat yang tinggi dari profesi arsitek di hadapan pemberi tugas terbatasnya kepercayaan yang diberikan kepada Arsitek, sering kali pemberi tugas mendikte keinginannya begitu saja, tanpa peduli dengan karakter si arsitek. Para arsitek kita lebih suka berlindung dibelakang nama besar bironya (jarang ada arsitek yang berani tampil atau memang enggan dan dilarang tampil). Akibatnya yang semakin di kenal adalah nama bironya saja, tanpa tahu persis siapa arsitek di belakangnya. 

Profesi dan dunia arsitektur kita cenderung tertutup & low profile 

 Kita semua merasa ada ketertutupan baik si arsitek maupun karyanya. Entah karena para arsitek kita begitu "'low profile'" untuk meng-ekspose karya-karyanya kepada orang lain, entah mungkin juga takut ditiru karyanya. Hal ini ditunjang pula dengan miskinnya publikasi dan informasi seperti majalah dan buku-buku arsitektur. Sebetulnya banyak bangunan-bangunan / karya arsitektur yang bermutu dari arsitek -arsitek kita, namun karena ketertutupan dan sikap cenderung "low profile" inilah yang membuat kita semakin tidak tahu menahu dan menjadi hambatan besar untuk memajukan dan memeriahkan dunia arsitektur kita. Akibatnya yang juga bisa kita rasakan sampai saat ini adalah lebih dikenalnya arsitek-arsitek luar oleh pemberi tugas, maupun oieh arsitek kita sendiri. 

Dunia pendidikan arsitektur kita cendrung "doktriner" 

 Pendidikan arsitektur kita berjalan dan berkembang sangat lambat bila dibandingkan dengan perkembangan arsitektur di dunia, yang menghambat selain birokrasi, aneka kurikulum yang selalu berubah, juga kecenderungan untuk mendoktrin benar atau salah. Para mahasiswa arsitektur tidak dididik sebagai penemu dan pencipta yang kreatif untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru alam dunia arsitektur, mereka hanya diajarkan benar atau salah. Akibatnya para mahasiswa cenderung mencari selamat dimana lulus adalah tujuan utama, akibatnya didalam dunia profesinya, sifat asal lulus ini sama sekali tidak membentuk kepercayaan diri si arsitek, dan lalu cenderung ikut arus saja. Jadi akibat dari semua hal tersebut diatas, kita merasa sebagai arsitek kita belum "merdeka", merdeka dalam ber-ekspresi, merdeka atas kepercayaan yang diberikan kepada kita. Dan juga yang terpenting adalah merdeka atas diri kita sendiri yang memang tidak percaya diri. Hai-hal inilah yang menyebabkan Arsitektur dan Arsitek kita belum dapat menjadi diri "sendiri". Sadar bahwa Arsitektur adalah pilihan profesinya yang harus di perjuangkan dan dikembangkan, maka beberapa arsitek muda dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, sepakat untuk memulai suatu kelompok / forum bernama "AMI". ARSITEK MUDA INDONESIA untuk memberikan "sedikit" gerakan yang diharapkan dapat "menggoyangkan" dan menggerakkan kemapanan yang sudah terbentuk tadi, untuk bergerak maju. 

Makhluk Apakah AMI itu ? 

 AMI sampai saat ini tidak pernah terpikir untuk membentuk organisasi yang dilengkapi dengan AD/ART, sekretariat dan lain-lain sebagainya. AMI mengakui bahwa IAI adalah satu-satunya organisasi profesi Arsitektur di Indonesia. Lalu seperti apakah jiwa dan sosok AMI yang tidak dapat di lihat namun dapat dirasakan kehadirannya ?. 

 JIWA AMI 1. Semangat 2. Kritis 3. Keterbukaan 

 SEMANGAT Semangatlah yang mengikat sesama anggota AMI untuk terus menerus menggali dan menyumbangkan idealisme dan perkembangan Arsitektur di Indonesia. Semangat ini di manifestasikan dalam wujud "penjelajahan desain". Salah satu kalimat tepenting dari manifesto AMI adalah: "Bagi kami Arsitek Muda Indonesia, arsitektur adalah wujud dari penjelajahan disain" jadi kata kuncinya adalah 'Penjelajahan'". Kita tidak peduli sebuah proses desain harus melalui bentuk kotak yang, kemudian berkembang menjadi bundar, segitiga, tidak beraturan dan akhirnya kembali ke kotak lagi, hal itu tidak penting, yang utama adalah "Proses" dari penjelajahan itu sendiri. Dengan menjalani proses penjelajahan, maka akan terdapat ber ribu-ribu kemungkinan dan penemuan-penemuan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dalam suatu proses disain, sering para arsitek kita terlalu cepat berhenti, dan merasa sudah cukup puas dengan rancangannya. Padahal sebetulnya mereka belum dapat dikatakan menemukan "sesuatu" akibatnya rancangan yang dihasilkan akan menghasilkan sosok yang asing. Padahal proses desain seharusnya tidak boleh berhenti, dan harus terus berlangsung, bahkan sampai pelaksanaan di lapangan . (beruntung kita memiliki arsitek YB Mangunwijaya yang membuka mata kita untuk suatu alternatif dalam perancangan & pelaksanaan, dimana beliau tidak pernah mengandalkan gambar kerja, tapi terjun langsung di lapangan untuk berimprovisasi dengan tukang-tukangnya untuk menghasilkan bangunan yang dianggap terbaik.) Betapa asyiknya menjadi seorang penjelajah bisa kita rasakan sendiri. Dan ternyata pada akhirnya kita juga menjadi diri kita sendiri, dan karakter, tanda tangan dan jiwa kita akan muncul dengan sendirinya. Namun kita juga menyadari betul, bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa saat ini para anggota AMI sudah berhasil menemukan tanda tangan mereka. 

 Hingga saat ini, kita masih dalam proses., Proses untuk terus mencari dan mencoba terus ber macam-macam kemungkinan-kemungkinan. Hanya modal semangat dan kepercayaan yang pelan-pelan terus di tumbuhkan melalui penjelajahan desain yang membuat proses itu tetap berlangsung sampai saat ini. 

 KRITIS Beberapa rekan-rekan AMI adalah figur-figur yang sangat kritis, hal ini bisa dilihat dari awal, pada mulanya mereka menjalani pendidikan Arsitektur di bangku kuliah. Mereka sering mempertanyakan dan tidak terima begitu saja apa yang di anjurkan, bahkan sering kali dari mereka harus menjadi korban akibat keyakinan mereka sendiri. Pada saat ini pun mereka juga tetap kritis, kritis terhadap karya sendiri, maupun kritis terhadap karya orang lain. dan inilah salah satu kekuatan AMI yaitu budaya kritis, untuk saling kritik diantara teman-teman sendiri. Dan pada akhirnya kita menjadi sadar betul bahwa forum seperti debat / kritik sangat di gemari dan bermanfaat. Kita tidak peduli hasil akhir dari debat / kritik tersebut, yang penting prosesnya yang telah memperkaya kita, dari berbagai sudut pandang yang lain. (sehingga lahirlah istilah "Sepakat untuk tidak sepakat".) 

 KETERBUKAAN Kekritisan harus ditunjang keterbukaan. Keterbukaan melontarkan pendapat, dan keterbukaan mendengarkan pendapat. Hal ini menjadi ciri khas rekan-rekan AMI untuk saling mempublikasikan / mengexpose karyanya untuk "dibantai" dalam forum-forum AMI. tanpa harus tersinggung atau "takut dicontek idenya", karena akhirnya yang beruntung adalah kita juga, yang mendapat masukan-masukan yang beraneka ragam dan membantu "percepatan" dengan belajar diantara sesama teman sendiri. Tidak mengherankan bila karya-karya AMI seperti seolah-olah mempunyai karakter tersendiri, walaupun beraneka ragam, bentuk dan pendekatan masalahnya. 

Hal ini lah yang sejak awal juga berhasil menghilangkan sekat-sekat kebanggaan yang berlebihan di antara para AMI yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan, baik dari Universitas Negri, Universitas Swasta bahkan dari Luar Negri. Pada awalnya memang mereka begitu bangga dengan latar belakang pendidikannya, tapi kini merekapun sadar bahwa mereka di perkaya oleh teman-teman sendiri yang datang dari latar belakang Universitas yang berbeda satu sama lain. AMI juga tidak pernah menawarkan suatu style/ langgam arsitektur tertentu, setiap orang mempunyai idola dan karakternya sendiri. Sepintas lalu corak arsitektur AMI memang seperti seperti gado-gado yang beraneka ragam benang merah yang mengikatnya hanyalah semangat penjelajahan/pencarian dan penemuan. 

 SOSOK AMI 

 Walaupun tidak dapat dilihat namun dapat di rasakan kehadirannya melalui kegiatan-kegiatan seperti: Pameran Diskusi Open House Penerbitan Buku PAMERAN Pameran adalah bentuk pernyataan kita yang sangat jelas, dalam pameran ini tergambar proses dan semangat explorasi dari rekan-rekan AMI. Karya-karya yang dipamerkan berupa proyek-proyek proposal, bangunan bangunan yang terbangun, maupun proyek- proyek fiktif (yang menjadi penting karena biasanya proyek-proyek fiktif menampilkan ide-ide / konsep yang futuristik, original dan memandang kedepan arsitektur kita fana akan datang). Pameran tidak disusun secara mati, tapi juga bervariasi, baik itu gambar, foto, maket, sketsa, bahkan lay out pemeran itu sendiri tidak luput dari perhatian. Pameran ini pada awalnya berlokasi di gedung pameran, seperti pameran Prospektif 1990, di Jakarta Disain Center, namun kemudian hal ini tidak efektif bila terus menerus di gedung pameran. Tantangan-tantangan justru terbuka untuk pameran di bangunan-bangunan lain, baik itu berupa rumah rumah tinggal yang kebetulan menjadi acara Open House, atau di museum seperti di diorama Monas tahun 1995, atau di Cafe tahun 1996 (Peluncuran buku AMI, penjelajah 1990-1995), hal ini juga untuk membuka kemungkinan kemungkinan baru dan memperkaya bentuk pameran supaya praktis, tidak monoton, dan tidak butuh persiapan yang besar-besaran, yang melelahkan. 

 DISKUSI 

 Diskusi yang sering juga jadi ajang caci-maki diantara sesama arsitek berlangsung dimana saja dan berpindah-pindah tempat. Dalam fungsi diskusi ini sering juga kita mengundang pembicara tamu, arsitek-arsitek yang baru lulus / baru pulang dari luar negri untuk membagi pengalamannya. Bahkan juga bisa sering meminta rekan-rekan mahasiswa untuk juga saling membagi informasi timbal balik (dalam hal ini telah dilakukan presentasi ke sayembara UNTAR dan Open House keluarga Irma Kamdani dimana arsiteknya Andra Martin. 

 Disamping itu kita juga diminta ceramah / presentasi atas undangan institusi seperti UNDIP, ITB, UNPAR, Ul, UNTAR dan terakhir ITS (28 Oktober 1 996). Dalam salah satu diskusi AMI, di pameran Arus Silang di Lorong Jurusan Arsitektur ITB, yang di moderatori oleh Yuswadi Saliya. 

Yuswadi-lah yang pertama kali melontarkan bahwa AMI adalah generasi Arsitek ke 3 di Indonesia, dimana generasi pertama adalah Silaban dkk. yang berasal dari pendidikan di Luar Negri (Barat), 
generasi ke 11, hasil didikan dalam negri, Adi Moersid, Atelier Enam dkk . 

Sedang AMI generasi ke tiga, yang sepertinya terlepas sama sekali dari para pendahulunya. Pak Yus juga menambahkan inilah generasi "Arus Informasi". 

 OPEN HOUSE 

 Sebuah acara favorit AMI, yang merupakan acara peresmian rumah / bangunan dimana juga merupakan pertanggung jawaban si arsitek terhadap karyanya. Acara digelar secara santai, namun terbukti efektif sebagai bahan study arsitektur langsung dilapangan. Acara pada open house yang merupakan partisipasi dari arsitek, kontraktor dan pemberi tugas biasanya sebagai berikut: 

 Peresmian rumah / "'tour de architecture'" yang biasanya dilanjutkan dengan diskusi dan tanggung jawab langsung dengan si arsitek. Kemudian juga ada beberapa acara spontan lainnya seperti peresentasi slide berupa perjalanan arsitektur atau desain, pameran terbatas 1 hari, diskusi dan lain sebagainya. Acara open house ini sangat populer dan di gemari baik dikalangan AMI sendiri dan juga para ABG (Arsitek Baru Gede, yang baru lulus atau mahasiswa) dimana undangan disebar luaskan melalui fax. Jadilah acara ini seperti kuliah terbuka, mimbar bebas untuk berbicara mengenai arsitektur yang dihadiri oleh berabagai arsitek dan mahasiswa dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. 

 PENERBITAN BUKU 

 Menerbitkan buku memang sudah lama menjadi keinginan dari Arsitek muda. Namun begitu susah untuk merealisasikan karya dan baru pada pertengahan tahun 1996, ( setelah 6 tahun berlangsung) akhirnya berhasil diterbitkan sebuah buku yang merupakan proses yang cukup lama baik mengenai bahan dan materi itu sendiri. Buku pertama AMI yang bertemakan Penjelajahan 1990 - 1995, berisi karya-karya AMI maupun tulisan-tulisan berupa pemikiran-pemikiran, ide dan lain sebagainva. Buku yang diluncurkan di Twilite Cafe pada tanggal 22 April 1996 mendapat sambutan yang sangat hangat dari kalangan masyarakat dan pemerhati Arsitektur, dimana buku arsitektur yang membahas karya-karya Arsitektur Indonesia sangat dibutuhkan. Dalam tempo + 1 bulan, tanpa publikasi yang memadai telah habis terjual 2000 buku. 

 Salah satu komentar yang sangat tepat datang dari arsitek senior Ir. Zaenuddin Kartadiwiria yang juga merupakan dosen di jurusan Arsitektur di Universitas Trisakti yang menganjurkan mahasiswa-mahasiswanya untuk memiliki buku ini, dimana beliau mengatakan "terlepas baik atau buruknya buku AMI ini, namun inilah gambaran dunia arsitektur kita saat ini". 

Komentar yang kritis juga datang dari dosen dan arsitek senior dari ITB, sekaligus salah seorang pendiri LSAI, Yuswadi Saliya. Dimana beliau mengatakan sebetulnya banyak karya-karya dan tulisan dari para Arsitek Indonesia yang baik, yang sayangnya tidak terekam. 

Oleh karena AMI telah berhasil membukukan baik karya arsitektur dan tulisan dalam sebuah buku, maka jadilah peristiwa ini sebuah "Sejarah". Jadi begitu penting bukti kehadiran buku disini sebagai bahan study sejarah Arsitektur untuk memandang kedepan Arsitektur kita. Penerbitan buku tidak hanya berhenti di situ saja, dengan modal yang tidak hanya dari hasil penjualan buku, tapi juga pengalaman yang berharga dalam proses pembuatannya, maka untuk membuat buku-buku lainnya tidaklah terlalu sulit lagi. Dan kini memang sedang direncanakan buku AMI yang kedua dengan tebal 300 halaman, yang rencananya akan diterbitkan tahun 1997. Dan juga masih banyak lagi rencana untuk membuat buku arsitektur dengan thema sayembara, perkotaan dan monografh. Rupanya kegiatan membuat buku akan menjadi kegiatan utama AMI yang akan menggantikan bentuk-bentuk pameran arsitektur yang berskala besar dan melelahkan. 

Pendiri AMI,  Yori Antar, Irianto P.H., Andra Matin, Sonny Sutanto, Bambang Eryudhawan, Sarjono Sani dan Marco H. Kusumawijaya. Sekarang mereka berdiri di antara para arsitek terkemuka di dunia arsitektur Indonesia kontemporer. sekarang ini Forum AMI banyak diminati kalangan arsitek yang lebih muda, lulusan baru dan mahasiswa arsitektur, di samping tentunya arsitek pendahulunya maupun masyarakat umum.

Menjelajahi Dan Mengenal Arsitek Muda Indonesia (AMI) VIDEO



Massa dan Ruang dalam Arsitektur



Massa dan Ruang dalam Arsitektur

Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa arsitektur itu harus didekati dari perasaan, jadi ada dialog antara lingkungan dan jiwa kita. Jadi ruang menurut kelompok ini, adalah adanya dialog antara lingkungan dengan kita dalam arti 3 demensi. Tokohnya adalah Robert Vischer dan Theodor Lipps, mengatakan bahwa ada 2 ukuran yang dibedakan untuk menilai, yaitu 

1) Optical observation, bentuk adalah bentuk; dan 
2) Aesthetical observation, hanya menekankan pada isi. 

Kemudian Theodor Lipps juga membedakan ruang menjadi 2, ialah 

1) Ruang geometric; dan 
2) Ruang aesthetic. August Schmarsow, mempertegas apa yang dimaksud dengan ide dan ruang serta bentuk dan ruang. 

Menurut August Schmarsow bentuk, adalah hasil dari ide. Karena bergerak pad aide, kemudian membedakan 3 macam ruang, yaitu 
1) Ruang yang tactile (tangible); 
2) Ruang yang mobile; dan 
3) Ruang yang visual

August Schmarsow melihat, bahwa kalau kita ingin mengcreate ruang, kita harus puny aide dan harus didasarkan pada konsep-konsep dasar yang nantinya dapat direalisasikan pada 3 dasar ruang tersebut di atas. 
Alois Riegl, adalah yang menemukan teori mengenai artistic volition (pengalaman). Kita menangkap bentuk kalau kita berpengalaman. Artistic volition tidak tergantung dari pada bahan, cuaca maupun keadaan geografis, tetapi banyak tergantung pada tujuan bahan mentah dan teknik. Karena dasarnya adalah vision, maka artistic volition hanya digunakan atau dikenakan pada elemen-elemen yang formal dapat ditangkap secara optis. 

Dengan demikian, artistic volition hanya memperhatikan beberapa unsur saja, yakni 
1) warna (color); 
2) ruang (space); 
3) bidang (plane); dan 
4) garis besar secara keseluruhan (outline).

Empathy to Planar Vision 

Tokohnya adalah Heinrich Wolfflin dengan anthropomorphic psysiognomy, yang dasar falsafahnya adalah suatu kepercayaan bahwasannya satu bentuk manusia lebih tinggi dari bentuk apapun di dunia. Jadi semua patokan-patokan perencanaannya didasarkan dari bentuk manusia, dengan demikian Heinrich Wolfflin dapat dikatakan selalu menekankan massa sebagai dasar dari arsitektur. 
Emphaty, adalah suatu projeksi imaginative dari suatu pikiran yang subjektif kepada suatu objek. Oleh karena itu, pada akhir abad ke-19 terdapat 2 sekolah arsitektur, yaitu 1) Yang berpendapat dan mempertahankan idea dari ruang; dan 2) Adalah sekolah yang menggunakan pendekatan anthropomorphic symbolism. Heinrich Wolfflin lama-lama dasar pemikirannya berubah karena pengaruh Adolf Hildebrand, dari pemikiran interpretasi psikologi kebentuk visual yang formal. 

Ada 5 rumusan yang dikembangkan oleh kelompok ini (Heinrich Wolfflin, Adolf Hildebrand, dan Alois Riegl) sesuai dengan perkembangan arsitektur pada waktu itu, antara lain adalah: 

1) The urge for the gigantic. Suatu pendekatan arsitektur yang didaktis (kolosal), misal piramida, kolom-kolom yang ada di kuil-kuil besar-besar. Akan tetapi, ruang-ruangnya kurang memberikan dampak disebut kosong. 
2) The wishful reading of cubic reality as a plane. Perkembangan arsitektur yang mulai dengan bidang-bidang (kubus). 
3) The cosmic view of the universe as a finite whole. Pandangan kosmis di Barat lebih luas, dengan batasan teori keterbatasan alam. 
4) The fear of large open space. Adanya perasaan takut pada ruang yang besar, kita tahu pada jaman itu kekuasaan raja sangat mutlak, maka dikembangkan ruang-ruang yang besar. Ada pendapat ruang-ruang yang besar tidak mengenakkan suasana. 
5) The drive to stuff empty surface of walls with decoration in most dwellings. Menghilangkan ornamen, dekorasi maupun hiasan dinding pada tempat tinggal (rumah). Kalau kita perhatikan pada jaman itu, tidak ada tembok yang kosong, semua diisi dengan dekorasi, lukisan, dan lain sebagainya. 

Pernyataan Massa dan Ruang 

Tokoh yang mencoba mengungkapkan teori ini, adalah Brinckmann. Rumusannya banyak memasukkan idea ruang ke dalam urban interior. Brinckmann menyatakan manifestasi dari bagian exterior massa arsitektur adalah hasil kemudian daripada penyelesaian ruang dalam yang ada di dalamnya. Arsitektur yang baik, adalah arsitektur yang memanifestasikan integrasi ruang luar dan ruang dalam. Dengan analisa dan perkembangan yang telah dipikirkan oleh Brinckmann, kemudian mengintroduksi beberapa istilah penting dalam arsitektur, adalah: 

  • Raumbildung (space – formation); 
  • Raumfassung (spatial framing); 
  • Raumanschauung (spatial intuition
  • Raumwirkung (spatial effect); 
  • Raumgestaltung (spatial design); 
  • Raumgefuhl (feeling for space); dan 
  • Raumanordnung (spatial disposition). 

Bernini, adalah seorang tokoh yang mencoba mengetrapkan teorinya pada ruang-ruang yang ada dalam kota. Bernini mencoba menyatukan ruang yang dibina dalam kota dengan ruang yang ada di dalam bangunan. 
Tokoh lain, adalah Frankl. Frankl tidak puas dengan pendapat yang ada pada waktu itu, karena ingin melihat sebetulnya bagaimana perkembangan daripada ruang itu sendiri. Kemudian Frankl menulis morphology daripada ruang (morphology= urutan terjadinya ruang). 

Untuk mengetahui morphology ruang perlu 3 langkah penelitian di dalam arsitektur, ialah: 

1) Historical scientific research of data. Data-data sejarah, untuk ini harus diadakan penelitian; 
2) A theoretical framework of idea. Setelah punya data, kita harus punya kerangka ide (pola pemikiran) yang teoritis; dan 
3) Application of these ideas ti the historical facts

Setelah keduanya kita dapatkan lalu digabungkan. Frankl juga menyimpulkan bahwa ada 4 buah kategori bentuk, ialah 

1) spatial form (bentuk spasial ruang); 
2) corporeal form (bentuk pasif/bentuk nyata); 
3) visual form (bentuk visual); dan 
4) purposive intention (bentuk yang mempunyai tujuan). 

Ruang Organik dan Geometrik 

Tokohnya adalah Erich Mendelsohn. Yang menyimpulkan dari penelitiannya bahwa expressionism dibina oleh 3 macam arsitek, adalah: 

1) Adalah mereka yang memegang prinsip crystalline symbolists yang mengagungkan simbolik, mengagungkan pengalaman ideal di atas keadaan yang realistis; 
2) Adalah arsitek yang selalu menggunakan analisis ruang (dikelompokkan dalam arsitek intelektual); dan 
3) Adalah kelompok arsitek yang mencari bentuk dari bahan dan konstruksi (bahwasannya ada teori elastis, bahannya elastis). 

Ekspresionisme menurut Erich Mendelsohn harus memenuhi ketiga-tiganya, ekspresionisme sangat terkenal sebelum tahun 1920-an, cepat tumbuh cepat mati, tahun 1923 ekspresionisme mati. Erich Mendelsohn adalah orang yang dimanis. Oleh karena itu, konsep arsitektur menurutnya harus memenuhi konsep dinamis dan fungsional. Dengan demikian, arsitektur dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu 

1) Satis, berarti menggunakan struktur-struktur yang rasional, yang disebut kelompok klasik; 2) Dinamis, menggunakan struktur-struktur emotional gothic; dan 
3) Elastis, menggunakan struktur-struktur yang hidup. 

Teori Untuk Arsitektur Hari Depan 

Kalau kita ingin menjadi arsitek dihari depan, kita harus berpindah dari konsep dasar falsafah crystalline ke organic, yakni 

1) Kita harus tetap memperhatikan koordinat, karena koordinat ini sebetulnya adalah titik tolak daripada susunan dari arsitektur, kita harus memperhatikan style yang lalu sampai sekarang; 
2) Kita harus memperhatikan geometri; dan 
3) Kita harus memperhatikan organic mulai dari tahap pendekatan intuitif sampai dengan analisis. 

Theo van Doesburg menulis satu pengertian dasar yang menyinggung mengenai hakekat pendapat yang bergerak dari dasar ekspresi massa ke ekspresi ruang. Pada tahun 1925, Theo van Doesburg merumuskan hukum-hukum ruang yang ternyata menemukan banyak variasi dan variasi itu tidak terhingga menurutnya.
 Beberapa rumusan/patokan ruang yang dapat diajukan antara lain, sebagai berikut: 

1) Spatial kontras, ruang-ruang tersebut dapat dikontraskan; 
2) Spatial desonan, dimana ruang-ruang tersebut dapat desonan jadi tidak harmonis; dan 
3) Spatial komplemen, ada ruang yang komplemen yang mendukung. 

Teori elementarisme dari Theo van Doesburg: Didasarkan pada pendapat yang lebih dinamik, bidang horizontal dan vertikal tidak memuaskan,karena terlalu statis dan pengungkapannya banyak menuju ke arah regional. 

Jadi Theo van Doesburg mencoba elemen di dalam ruang, mencoba mendapatkan ruang yang dinamis. Tokoh yang lain, adalah Eleazer Lissitzky, lebih moderat dan dapat mengerti teori ruang dari Malevich, salah satu tokoh arsitektur dari Rusia, yang merumuskan suprematisme pada tahin 1913. 
Menurut Eleazer Lissitzky ada dua cara untuk merencanakan, yaitu 

1) melalui ruang; dan 
2) melalui bahan. 

Bagaimanapun juga menurutnya bentuk harus direncanakan sesuai dengan gerak dalam ruang. Tahun 1925, Eleazer Lissitzky mengajukan beberapa teori ruang, antara lain: 

1) Planimetric Space. Ruang ini dapat dibentuk dari dua dimensional (secara fisik melalui bidang-bidang dua dimensional). 
2) Perspective Sapace. Ruang ini dapat dibentuk dengan menggunakan titik temu pyramid atau kerucut. Di sini ruang selalu dibatasi. 
3) Irrational Space. Ruang ini dapat menggunakan ruang perspektif dalam jumlah yang tak terhingga. 
4) Imaginary Space. Ruang ini dapat diperoleh/diproduksikan melalui film, di sini tidak ada space sesungguhnya. 

Le Corbusier seorang arsitek dari Prancis mengatakan, bahwa estetika arsitektur didapat dari simplicity dan clarity (kesederhanaan dan kejelasan), dari banayk fenomena keindahan dari unsur-unsur arsitektur. Kemudian Le Corbusier menguranginya menjadi 4 kategori: 

1) Massa; 
2) Bidang; 
3) Denah (plan); dan 
4) Garis-garis yang menentukan. 

Dengan demikian hanya menggunakan bentuk-bentuk elementer, antara lain: 

1) Kubus; 
2) Piramida: dan 
3) Kerucut. 

Tokoh lain, ialah Andre Lurcat, mengatakan bahwa arsitektur hanya ditentukan oleh 4 elemen, di antaranya: 
1) Isi; 
2) Permukaan; 
3) Ruang; dan 
4) Cahaya. 

Pada bagian lain, Vladimir Tatlin, pada tahun 1919 merumuskan mengenai ruang, ialah: 

1) Volume; 
2) Bahan; dan 
3) Konstruksi. 

Berlage, menolak satu pendekatan arsitektur dari luar ke dalam, ingin arsitektur ditempatkan dari dalam baru ke luar. Oleh karena itu, Berlage merumuskan beberapa dasar pendekatan dari hasil pemikirannya mengenai style-style baru, ialah: 

1) Dasar dari semua komposisi adalah geometri, gerakan yang modern itu unity
2) Semua karakteristik dari style-style yang lama harus ditolak; dan 
3) Bentuk arsitektur harus dikembangkan dengan memperhatikan fungsi. 

Ada seorang teoris yang mencoba memberikan warna pada Modern Architecture, ialah M. Schindler. Pada tahun 1912, menulis buku Manifesto, ada butir-butir yang perlu diketahui, adalah: 
1) Bahwa alat arsitektur dalam seni adalah ruang; 
2) Ruang merupakan bahan mentah, jadi ruang merupakan bahan mentah dari arsitektur; dan 
3) Menekankan pada keuntungan, bila kita menggunakan fungsi sebagai dasar perencanaan. 

Tokoh lain dari Amerika, adalah Louis Sullivan, mencari bentuk asli melalui pemikiran genetik mekanistik (tingkah laku dari manusia), kemudian dapat merumuskan Form Follow Function. Di sini ruang sangat penting sekali, karena bentuk massanya mengikuti fungsi, jadi kebalikannya. Teori ini juga disebut bentuk komplementer (Complementary form). 
Source : Antariksa

Massa dan Ruang dalam Arsitektur



SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN SEBAGAI DASAR PERANCANGAN KOTA



SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN SEBAGAI DASAR PERANCANGAN KOTA

Pendahuluan

Dewasa ini kota-kota di dunia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat pesat, dalam perubahan tersebut, bangunan, kawasan maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan bangunan, kawasan ataupun objek lainnya yang lebih bersifat ekonomis-komersial. Gejala penurunan kualitas fisik tersebut, dengan mudah dapat diamati pada kawasan kotakota tersebut pada umumnya berada dalam tekanan pembangunan. Dengan kondisi pembangunan yang ada sekarang, budaya membangun pun telah mengalami perbedaan nalar, hal ini terjadi karena kekuatan-kekuatan masyarakat tidak menjadi bagian dalam proses urbanis yang pragmatis. Urbanisasi dan industrialisasi menjadikan fenomena tersendiri yang menyebabkan pertambahan penduduk yang signifikan serta permintaan akan lahan untuk permukiman semakin meningkat di perkotaan. Bagian dari permasalahan itu, akan membuat kawasan kota yang menyimpan nilai kesejarahan semakin terdesak dan terkikis. Pertentangan atau kontradiksi antara pembangunan sebagai kota “modern” dengan mempertahankan kota budaya yang masih mempunyai kesinambungan dengan masa lalu, telah menjadikan realitas permasalahan bagi kawasan kota Pendekatan perancangan kota yang banyak dilakukan pun jarang mengakomodasi keberagaman struktur sosio-kultural yang telah terbentuk di kawasan tersebut. 

Para perancang kota lebih sering melihat kota sebagai benda fisik (physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact). Perangkat rencana kota yang ada saat ini, selain masih belum banyak dipakai secara sempurna untuk mengendalikan wujud kota, secara umum pun belum dapat memberikan panduan operasional bagi terbentuknya ruang kota yang akomodatif terhadap fenomena urban, baik situasi dan kondisi serta masyarakat yang menikmatinya. Atau dengan kata lain, masih terdapat adanya kesenjangan antara rencana tata ruang yang bersifat dua dimensi dengan rencana fisik yang bersifat tiga demensi. Dengan demikian, konservasi/pelestarian bukanlah romantisme masa lalu atau upaya mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun lebih ditujukan untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam merancang sebuah kota. 

 Sejarah Kota dan Kawasan (What is Urban History and Urban Area?) 

Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya suatu penegasan, yaitu bahwa: setiap kota pasti mempunyai sejarah; di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan; bagaimana kotakegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya). Sejarah perkotaan (urban history) pada dasarnya merupakan bidang studi internasional yang ingin mencoba menjawab beberapa pertanyaan dasar mengenai nature of our societies, dengan menggunakan pendekatannya yang cenderung multidisiplin, maka dalam sejarah perkotaan tidaklah luar biasa untuk dapat menemukan beberapa ahli di antaranya, adalah ahli sejarah, arsitektur, geografi, perencana, atau kritikus sastra, dan mereka semua dapat dinamakan sebagai ahli sejarah perkotaan. Di sisi lain sejarah perkotaan mempunyai hubungan erat dengan local history, dan studi tersebut difokuskan pada masalah lokal, atau beberapa aspek dari kehidupan di komunitas lokal serta dilakukan dengan sebuah analisa dan penjelasan. Ada empat pendekatan dalam bidang sejarah perkotaan yang dapat diidentifikasi: 

Pertama, secara umum ditekankan pada proses urbanisasi termasuk elemen demografi, struktur atau pendekatan sistem, dan aspek perilaku urbanisasi. 

Kedua, adalah urban biography merupakan tempat bersejarah yang istimewa, dan berhubungan dengan beberapa segi dari sebuah kota, seperti transportasi, pemerintah kota, perkembangan fisik, masyarakat dan organisasi sosial. 

Ketiga, memperlakukan beberapa tema, seperti ekonomi, sosial, arsitektur, dan sebagainya dalam konteks sebuah kota

Keempat, cultural studies, merupakan jalan baru dalam “reading” cities, dan memperkenalkan konsep untuk “read” communities. 


Belajar dari Sejarah Awal Berkembangnya Perkotaan 

Dengan mempelajari sejarah kota, kita akan dapat melihat pengejawantahan pemikiran jujur tentang penataan kota masa lampau, dari tata cara penataannya, sampai pada sumber kehidupan warisan sejarah sebagai tempat beraktivitas. Banyak hal yang dapat dipetik dengan mempelajari sejarah perkotaan dari Majapahit-Kota Indis-Kota Islam dan dari negara lain seperti India-Cina-Jepang, akan dapat memberikan tambahan pemahaman arti sejarah perkotaan yang lebih mendalam. 

Tata ruang kota Majapahit 

Struktur kekuasaan dari kerajaan Majapahit mempunyai pengaruh besar pada organisasi ruang kotanya, hal ini dapat dilihat dengan adanya: 1. wilayah inti pusat kerajaan Majapahit; 2. wilayah inti sistem candi-candi kerajaan Majapahit; 3. wilayah kantong (enclave) pemujaan arwah nenek moyang; dan 4. wilayah perdesaan kerajaan Majapahit. Di samping itu, perkembangan dari Majapahit secara makro wilayah dipengaruhi arus kecenderungan pertumbuhan, yaitu arus perkembangan kebudayaan Hindhu Jawa; dan perkembangan global di pihak lain. Pada penataan kota Majapahit mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Hindhu-India yang datang ke Jawa melalui medium agama Hindhu-Budha. Dengan demikian, kota Majapahit merupakan perpaduan antara unsur-unsur dua kebudayaan, India dan Jawa. Untuk ciri pola tata ruang kota Majapahit, dapat dilihat adanya: 1. pola ruang berpusat, dengan kawasan inti berpola grid, sedangkan kawasan luar melingkar berpola sirkular; 2. kawasan antara merupakan kawasan transisi, antara dua hierarkhi kawasan, antara dua tingkat masyarakat kota, dan dua jenis pola keruangan kota, terkendali dan organis; 3. keseluruhan kawasan kota merupakan sistem kerungan terbuka, baik secara ekologis, secara sosial, maupun secara kewilayahan yang diwujudkan dalam bentuk kota tanpa dinding fisik; dan 4. pemilihan perpaduan pola keruangan kawasan kota tersebut di atas dapat menjadi strategi keruangan jangka panjang yang adaptif. 

 Perkembangan awal kota Indis 

Kota Indis, muncul pada waktu hadirnya pemerintah kolonial Belanda, mulai abad ke-16. Pada awalnya perkembangannnya, kota ini menjiplak kota-kota asalnya, dalam perkembangannya, seorang ahli perkotaan Peter JM. Nas membedakan kota menjadi empat macam, yaitu di antaranya: kota awal Indonesia; kota Indis; kota kolonial; dan kota modern. Dalam kota Indis diketahui terdapat adanya: a. daerah benteng yang dihuni oleh pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai VOC; b. daerah perdagangan yang dihuni oleh orang-orang asing (kebanyakan orang-orang Cina); dan c. Kampung (pada awalnya berada di luar benteng), yang dihuni oleh penduduk pribumi. Kemudian pada perkembangan berikutnya, kota awal Indonesia memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola-pola sosial-budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu kota-kota pedalaman dengan ciri-ciri tradisional, religius; dankota-kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan. Ada tiga ciri untuk memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu antara lain: budaya; teknologi, dan struktur kekuasaan kolonial. Pada kota-kota lama di Jawa sampai abad ke-18 tidak mengalami perkembangan yang berarti, dan kota-kota yang tidak mempunyai fungsi perdagangan, umumnya menjadi kota pusat pemerintah daerah. Bentuk kota kabupaten digambarkan tidak jauh berbeda dengan perdesaan sekitarnya, dan kelompok bangunan di kota-kota lebih rapat satu sama lain, dibanding kelompok perumahan di perdesaan. Untuk kota-kota pantai kuno, kelompok perumahan di kota pusat pemerintahan lebih jarang, bentuk bangunannya masih tradisionil. Elemen pembentuk ruang pada kota tradisional Jawa, antara satu dengan lainnya menggunakan dua prinsip, yaitu di antaranya mikrokosmos dualistis; dan mikrokosmos hirarkhis. (Santoso 1984) 

 Karakteristik kota Islam 

Dengan masuknya Islam, maka pengaruhnya pun juga memberikan ciri atau karakteristik kota Islam, yaitu antara lain: mempunyai benteng; mempunyai kompleks kediaman penguasa (istana; bangunan-bangunan pemerintahan; dan bangunan-bangunan pasukan pengawal); mempunyai civic center (masjid Jamik dengan madrasahnya; dan pasar); mempunyai perkampungan untuk penduduk dengan pengelompokkan (etnis; agama; dan ketrampilan); dan di luar benteng terdapat perkampungan untuk komunitas dengan beberapa (pekerjaan tertentu; dan pemakaman). Untuk komponen-komponen pokok dari kota Mataram-Islam dan kota yang berkembang di wilayah pantai utara Jawa dapat dikelompokkan: 1. Fungsi tempat tinggal dalam dua komponen: a. kraton beserta alun-alunnya bagi penguasa dan keluarga terdekatnya; dan b. permukiman lain yang terbagi dalam dua macam, yaitu antara lain: dalem bagi golongan bangsawan dan elite birokrat; dan permukiman bagi rakyat non elit; 2. Fungsi keamanan tercermin dalam komponen, yakni benteng baik dalam maupun luar, jagang, dan jaringan jalan; 3. Fungsi ekonomi tercermin dalam keberadaan pasar, jaringan jalan, serta nama tempat yang menunjukkan profesi; 4. Fungsi religi terlihat dalam keberadaan masjid, nama tempat yang menggambarkan profesi keagamaan dan alun-alun; dan 5. Fungsi rekreasi terlihat adanya taman dan krapayak. 

 Penataan kota di India 

Di dalam perencanaan kota dan desa di India waktu itu, salah satunya harus memperhatikan Vastu-purusha mandala baik dengan tatanan 64 maupun 81. Dinding atau tembok kota dibangun sepanjang batas dari mandala; dan jalan di buat dari arah utara-selatan dan timur-barat sepanjang garis padas dari satu padas ke berikutnya. Vastu-purusha mandala: sebagai dasar perencanaan kota Jaipur di India; dan semua jalan berada pada arah longitudinal timur-selatan-timur, dan barat-utara-barat. 
Swastika, adalah sebagai solar simbol bangsa Aryan kuno, dapat digunakan untuk perencanaan: 1. rumah tinggal; 2. layout tata ruang; 3. perencanaan kota; dan 4. menata sekuen dari jalan. Kheta, yang diperbolehkan untuk bertempat tinggal di wilayah ini hanya kasta Shudra di sini tidak mempunyai pusat; dan sebagai pusat adalah dinding/ tembok kota. Kemudian bentuk sederhana dari perencanaan kotanya haruslah jelas: 

  • kasta Brahma, harus bertempat tinggal dan bekerja di wilayah/bagian utara; kasta Kshatriya, di wilayah/bagian timur; 
  • kasta Vaishya, di wilayah/bagian selatan; dan 
  • kasta Shudra di wilayah/bagian barat. 

Dengan demikian, konsep dan pedoman penataan kota di India sesuai yang termuat dalam pustaka Manasara Silpasastra atau Kautilya Arthashastra. Di samping itu, mereka juga mempunyai unsur-unsur permukiman atau kompleks pusat kerajaan, antara lain: candi (mandira, devalaya); pasar (apana); jalan dan lorong (vithi); saluran air-selokan; istana raja; perumahan umum; pasar; gapura-pintu gerbang (gopura); tempat persediaan air, sumur; tembok kota; jalan bawah tanah; benteng; dan menara jaga, dan sebagainya. 

 Awal dari perkembangan kota kuno di Cina 

Kota-kota kuno Cina yang berhasil diketemukan dan dapat dijelaskan, bahwa: 1. semua kota di kelilingi dengan dinding/tembok dari tanah; 2. hampir keseluruhan bentuk pola kota adalah empat persegi dan persegi panjang; 3. keseluruhan bangunan digunakan untuk tujuan politik dan keagamaan; dan 4. ciri-ciri yang tetap/konstan adanya wilayah yang spesial menurut prinsip Cina dari segregasi sosial
Pada perencanaan kota Changan, kota di bangun dengan denah dasar simitris, mencakup area panjang 6 mil dari timur-barat dan 5 mil 3 meter dari utara-selatan. Pada bagian dinding-dindingnya mempunyai ketebalan 16 feet dan 22 mil 5 meter panjangnya, dan mempunyai tiga pintu gerbang di utara dan barat, serta delapan di utara. Kota dibagi menjadi lima bagian: a. di utara istana kekaisaran; b. istana; c. di sebelah utara istana kekaisaran di kelilingi dinding/tembok dari tanah; dan d. di selatan dari istana berisi bangunan pemerintahan dan badan-badan lainnya. Di samping hal tersebut di atas, dapat dilihat juga bahwa istana kekaisaran dan bangunan pemerintahan yang berkembang pada waktu itu seluruhnya terpisah dari pasar dan daerah tempat masyarakat bertempat tinggal. bersejarah, karena sebagian dari perjalanan sejarah kawasan yang masih menyimpan sejumlah peninggalan sejarahnya. itu mesti dibangun dan dikembangkan; serta adanya.

Perkembangan awal kota di Jepang

Kata machi adalah berasal dari satu blok ladang yang ditanami. Di mana sebuah ibu kota disusun/direncanakan dalam sebuah grid empat persegi panjang. Hal ini juga dimaksudkan bahwa satu blok kota di kelilingi oleh empat jalan, kemudian untuk Jori sistem adalah pembagian tanah untuk ladang yang ditanami padi, sedangkan Jobo sistem adalah sistem untuk pembagian tanahnya.

Tsubo, digunakan sebagai unit dasar dari ukuran tanah di dalam perencanaan kota, dan unit terbesar dari pembagi adalah persegi berjumlah dalam 36 area. Garis dari ri adalah timur-barat, sedangkan jo adalah selatan-utara. Tsubo di kelilingi oleh empat jalan yang sempit dan unit pembagi terbesar bo, di kelilingi oleh empat jalan lebar dinamakan oji. Denah dari kota terdiri dari delapan bo timur-barat, dan sembilan bo selatan-utara, untuk jalan utama yang di tengah, yang berjalan dari gerbang utama ke halaman istana adalah merupakan bagian pemerintahan, di dalamnya termasuk istana kekaisaran dan dinamakan Sujaku-oji. Jalan ini membagi kota ke dalam bagian yang sama, separuh dari kiri dari bagian kota dinamakan Sakyo, separuh sebelah kanan dari bagian kota di sebelah barat, dan Ukyo separuh sebelah kanan dari bagian kota di sebelah timur. Bo adalah menomori di sebelah luar dari pusat jalan, bo pertama, bo kedua, bo ketiga, dan bo keempat ke timur dan barat. Untuk menetapkan posisi arah di sebelah utara-selatan, garis dari empat bo dinamakan jo, dimulai dengan jo pertama di utara, sampai jo kesembilan di selatan. Karena itu, metode penamaan disebut sebagai pola dan perencanaan kota sistem jobo. Empat persegi panjang bo adalah membagi lagi oleh persilangan yang sempit ke dalam empat blok bujur yang serupa, dan sebagai akibatnya adalah dimungkinkan untuk menata setiap rumah menghadap matahari dan dengan halaman tamannya. 

Konservasi Perkotaan Pemahaman tentang konservasi 

Jika kita ingin bergerak untuk menyelesaikan masalah pelestarian, ada tiga pertanyaan kunci yang harus diajukan: 

(1) Apa yang ingin kita lestarikan? (Bangunan?, Karakter kota?, Kehidupan?); 
(2) Mengapa kita ingin melestarikan? (Karena aspek-aspek tersebut merupakan bagian dari warisan kota?, Untuk meningkatkan lingkungan dan penduduk?, Untuk menarik uang dari wisatawan?); dan 
(3) Untuk siapa kita lakukan pelestarian? (Pengguna saat ini?, Keseluruhan negara?, Warisan umat manusia?). 

Ada beberapa pemahaman dan pengertian mengenai conservation (konservasi), adalah tindakan untuk memelihara sebanyak mungkin secara utuh dari bangunan bersejarah yang ada, salah satunya dengan cara perbaikan tradisional, dengan sambungan baja, dan atau dengan bahan-bahan sintetis. 

Pendapat lain mengenai konservasi: adalah, upaya untuk melestarikan bangunan, mengefisienkan penggunaan dan mengatur arah perkembangan di masa mendatang. Dari Piagam Burra, pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat dan dapat pula mencakup: preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi. Untuk itu, alangkah baiknya kalau kegiatan konservasi/preservasi pun haruslah dapat memberikan manfaat yang tidak sedikit terhadap kota dan komponen-komponen yang ada di dalamnya. Manfaat tersebut antara lain sebagai atraksi yang menarik bagi wisatawan mancanegara, merupakan media untuk mempelajari perkembangan arsitektur dan kota, dan sebagai wadah pembelajaran sejarah kota bagi masyarakat. 

Usaha-usaha untuk preservasi akan memberikan manfaat praktis bila manfaat kegiatan tersebut, adalah sebagai berikut: 

1. preservasi lingkungan/kawasan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat kesinambungan, memberikan tautan bermakna dengan masa lampau, dan memberikan pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun lingkungan/kawasan lama; 
2. di tengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat sekarang ini, lingkungan/kawasan lama akan menawarkan suasana permanen yang menyegarkan; 
3. untuk mempertahankan bagian kota akan membantu hadirnya sense of place, identitas diri dan suasana kontras; 
4. kota dan lingkungan/kawasan lama adalah satu aset terbesar dalam industri wisata, sehingga perlu dipreservasi; 
5. salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang; 
6. membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologis dan merasakan bukti fisik suatu tempat di dalam tradisinya; dan 
7. membantu terpeliharanya warisan arsitektur, yang dapat menjadi catatan sejarah masa lampau. 

Dalam konteks pembangunan kota, tindakan untuk melestarikan warisan budaya perkotaan (urban heritage) diperlukan adanya motivasi. Motivasi tersebut antara lain adalah: 

1. motivasi untuk mempertahankan warisan budaya atau warisan sejarah; 
2. motivasi untuk menjamin terwujudnya atau terpeliharanya tata ruang kota yang khas; 
3. motivasi untuk mewujudkan adanya suatu identitas tertentu yang dikaitkan dengan kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari kota; dan 
4. motivasi ekonomi, suatu bentuk peninggalan tertentu yang dianggap memiliki nilai atau daya tarik dan perlu dipertahankan sebagai modal lingkungan/kawasan. 

Konservasi dalam lingkup bangunan dan lingkungan: 

Konservasi atau pelestarian dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan, mula-mula berawal dari konsep preservasi yang bersifat statis, kemudian dari konsep yang statis tersebut berkembang menjadi konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan yang lebih luas lagi. Sasarannya tidak terbatas pada objek arkeologis saja, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan dan kawasan, dan bahkan kota bersejarah dan pada akhirnya, konservasi menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian lingkungan binaan yang mencakup preservasi, restorasi, rehabilitasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi. Tujuan dari itu semua adalah untuk memelihara bangunan atau lingkungan sedemikian rupa, sehingga makna kulturalnya yang berupa: nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini dan masa datang akan dapat terpelihara. 

Apa yang dimaksud dengan konservasi area? (What is a Conservation Area?) 

Konservasi area sebenarnya dapat meliputi beberapa hal, seperti perdesaan (rural), perkotaan (urban), arkeologi (archeology), atau natural area yang mempunyai kualitas spesial, dan patut untuk dilindungi. Konservasi area direncanakan/ditentukan berdasarkan beberapa alasan:

1. untuk melindungi lingkungan atau konteks dari kelompok elemen-elemen kultural, bersejarah (historical), estetik (aesthetic) atau nilai keilmuan (scientific value);

2. untuk menuntun dan mengatur perkembangan baru;

3. untuk mengurangi atau mengeliminasi ancaman yang spesifik seperti, pengembangan skala-besar, jalan-jalan, penzoningan kembali atau tekanan perkembangan;

4. untuk memberi insentif pengembangan dengan perlindungan bagi benda-benda yang mempunyai nilai dan menetapkan kriteria desainnya;

5. untuk mendapatkan pengakuan pada sebuah area dan mempromosikan nilai-nilainya; atau

6. untuk melindungi lingkungan, atau dilihat dari pandangan national monument.

Kemudian bagaimana dengan pemahaman arti area itu sendiri? Penentuan dari konservasi area tersebut diartikan bahwa kualitas yang spesial dari area itu dilindungi dan pengembangannya layak untuk diberikan. Pemilik, pengembang, arsitek, perencana, dan pemerintah yang berwenang akan menjaga bahwa pengembangan area itu sangat sensitif, dan bahwa perubahan tidak akan menghancurkan kualitas spesial yang diberikan sebagai makna budaya, dengan demikian konservasi area dapat diidentifikasi setelah survei komprehensif dan analisis kualitas pada area itu dilakukan. 

Konsep Konservasi 

Konsep awal dari pelestarian adalah konservasi, yaitu pengawetan benda-benda monumen dan sejarah (lazimnya dikenal sebagi preservasi), dan akhirnya hal itu berkembang pada lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi. Pada dasarnya, makna suatu konservasi dan preservasi tidak dapat terlepas dari makna budaya (Kerr, 1992). Untuk itu, konservasi merupakan upaya memelihara suatu tempat berupa lahan, kawasan, gedung maupun kelompok gedung termasuk lingkungannya (Danisworo, 1991). Di samping itu, tempat yang dikonservasi akan menampilkan makna dari sisi sejarah, budaya, tradisi, keindahan, sosial, ekonomi, fungsional, iklim maupun fisik (Danisworo, 1992). Dalam perencanaan suatu lingkungan kota, unit dari konservasi dapat berupa sub bagian wilayah kota bahkan keseluruhan kota sebagai sistem kehidupan yang memang memiliki ciri atau nilai khas. Dengan demikian, Peranan konservasi bagi suatu kota bukan semata bersifat fisik, namun mencakup upaya mencegah perubahan sosial. Konsep yang dirumuskan untuk melakukan pekerjaan konservasi hendaklah disusun dalam suatu rencana (conservation plan) berdasarkan: 1. Penetapan objek konservasi, suatu upaya pemahaman dalam menilai aspek budaya suatu objek dengan tolok ukur estetika, kesejarahan, keilmuan, kapasitas demonstratif serta hubungan asosiasional; dan 2. Perumusan kebijakan konservasi suatu upaya merumuskan informasi tentang nilai-nilai yang perlu dilestarikan untuk kemudian dijadikan sebagai landasan penyusunan strategi pelaksanaan konservasi. Konservasi merupakan bagian integral dari perancangan kota, menurut Sirvani (1985), meliputi rumusan kebijakan, rencana, pedoman, dan program

Dapat diuraikan sebagai berikut: 

1. Kebijakan Perancangan Kota, merupakan kerangka strategi pelaksanaan yang bersifat spesifik. 

2. Rencana Perancangan Kota, merupakan produk penting dalam perancangan kota yang berorientasi pada produk maupun proses; 

3. Pedoman Perancangan Kota, dapat berupa pengendalian ketinggian bangunan, bahan, setback, proporsi, gaya arsitektur, dan sebagainya; dan 

4. Program Perancangan Kota, biasanya mengacu pada proses pelaksanaan atau pada seluruh proses perancangan. 

Menurut Shirvani (1985), menggunakan terminologi tersebut untuk mengacu pada aspek perencanaan dan perancangan yang dapat memelihara dan melestarikan lingkungan yang telah ada maupun yang hendak diciptakan. Dengan demikian diharapkan akan didapatkan: 

a. Kegiatan konservasi dan preservasi -sebagai bagian dari pelestarian- merupakan usaha meningkatkan kembali kehidupan lingkungan kota tanpa meninggalkan makna kultural maupun nilai sosial dan ekonomi kita; 

b. Arahan konservasi suatu kawasan berskala lingkungan maupun bangunan, perlu dilandasi motivasi budaya, aspek estetis, dan pertimbangan segi ekonomi; dan 

c. Preservasi dan konservasi yang mengejawantahkan simbolisme, identitas suatu kelompok ataupun aset kota, perlu dilancarkan. 

Pada bagian lain, sasaran konservasi perlu dirumuskan secara tepat di antaranya (Budihardjo, 1989): 

- Mengembalikan wajah objek konservasi

- Memanfaatkan objek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini

- Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tercermin dalam objek pelestarian; dan 

- Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota dalam wujud fisik tiga dimensi. 

Akan tetapi dalam penjabaran konsep di atas, perlu dirumuskan: 

- Tolok ukur, kriteria, dan motivasi dari konservasi; dan 

- Bagian-bagian bangunan atau tempat yang akan dikonservasi, atau bagian kota yang akan dilestarikan. 

Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam proses penentuan konservasi adalah sebagai berikut: 

a. Kriteria Arsitektural, suatu kota atau kawasan yang akan dipreservasikan atau dikonservasikan memiliki kriteria kualitas arsitektur yang tinggi, di samping memiliki proses pembentukan waktu yang lama atau keteraturan dan keanggunan (elegance); 

b. Kriteria Historis, kawasan yang akan dikonservasikan memiliki nilai historis dan kelangkaan yang memberikan inspirasi dan referensi bagi kehadiran bangunan baru, meningkatkan vitalitas bahkan menghidupkan kembali keberadaannya yang memudar; 

c. Kriteria Simbolis, kawasan yang memiliki makna simbolis paling efektif bagi pembentukan citra suatu kota. 

Kategori mempertimbangkan objek yang akan dikonservasi dapat dikategorikan sebagai berikut: 

1. Nilai (value) dari objek, mencakup nilai estetik yang didasarkan pada kualitas bentuk maupun detailnya. Suatu objek yang unik dan karya yang mewakili gaya zaman tertentu, dapat digunakan sebagai contoh, suatu objek konservasi; 

2. Fungsi objek dalam lingkungan kota, berkaitan dengan kualitas lingkungan secara menyeluruh. Objek merupakan bagian dari kawasan bersejarah dan sangat berharga bagi kota. Objek juga merupakan landmark yang memperkuat karakter kota yang memiliki keterkaitan emosional dengan warga setempat; dan 

3. Fungsi lingkungan dan budaya, penetapan kriteria konservasi tidak terlepas dari keunikan pola hidup suatu lingkungan sosial tertentu yang memiliki tradisi kuat, karena suatu objek akan berkaitan erat dengan fase perkembangan wujud budaya tersebut. 

Revitalisasi Kawasan Kota 

Salah satu kegiatan dari konservasi adalah revitalisasi atau upaya untuk mendaur-ulang (recycle) yang tujuannya untuk memberikan vitalitas baru, dan meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (re-vita-lisasi) yang pada awalnya pernah ada namun telah memudar. Kegiatan revitalisasi muncul karena adanya permasalahan yang muncul sejalan dengan perkembangan kota yang begitu cepat dan membawa perubahan yang cukup drastis. Perubahan tersebut seringkali mengakibatkan timbulnya masalah yang pembenahannya seringkali memaksa kota untuk mengabaikan pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan program peremajaan kota, penggusuran permukiman kumuh yang dilakukan dengan alasan demi keindahan kota, perubahan tatanan perdagangan tradisional menjadi tatanan modern, penghancuran bangunan-bangunan lama dan diganti dengan bangunan baru dengan dalih tidak memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala upaya revitalisasi biasa terjadi pada tingkat mikro kota, seperti sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bias mencakup kawasan kota yang yang lebih luas. Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota. Karakteristik dari kawasan yang membutuhkan revitalisasi, adalah kawasan mati (tidak berkembang lagi), kawasan yang perkembangannya melesat dari arah semula, dan kawasan-kawasan yang “ditinggalkan”. Sejarah perkembangan kota di Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. 

Bahkan ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun 1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Dilihat dari pengertian di atas, maka revitalisasi dapat menjadi alternatif dalam memecahkan masalah pelestarian wajah kota lama, dan kebutuhan ruang teratasi dengan meminimalisasikan pudarnya eksistensi kota lama. Pada dasarnya proses revitalisasi kota terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: intervensi fisik; rehabilitasi ekonomi; dan revitalisasi sosial/institusional. 

Revitalisasi adalah salah satu pendekatan dalam meningkatkan vitalitas suatu kawasan kota yang bias berupa penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat ditingkatkan dan dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi kualitas lingkungan hidup, peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya (Sujarto dalam Farma, 2002:23). Oleh karena itu, revitalisasi kawasan kota dapat juga disebut sebagai konsep pelestarian yang terintegrasi dengan “wajah” kota lama akan tetap terpelihara, aktivitas saat ini dapat tertampung dan dapat memberikan keuntungan ekonomi. Proses ini memerlukan dukungan dan peran aktif masyarakat, sehingga segala usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah setempat tidak dipatahkan lagi oleh masyarakat. Disamping hal itu, pemerintah diharapkan dapat bertindak dengan lebih tegas, yaitu dengan memperjelas konsep-konsep konservasi kotanya, mempunyai produk-produk berkekuatan hukum, menindak oknum-oknum yang melanggar, serta mampu memotivasi partisipasi masyarakat. 

Mengapa Warisan Budaya? (Why heritage?) 

Adanya pengakuan bahwa warisan budaya (cultural heritage) yang di dalamnya terdapat konservasi, adalah merupakan bagian dari tanggungjawab seluruh tingkatan pemerintahan, dan anggota masyarakat, sedangkan heritage itu sendiri, adalah bukan sekedar mendata masa lampau, tetapi merupakan bagian integral dari identitas perkotaan saat ini dan masa mendatang. Warisan budaya sebuah kota dapat dilihat dalam tiga bagian faktor:

- Social factors, termasuk di dalamnya menambah citra dan identitas kota, integrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan sistem nilai dari masyarakat.

- Politico-economic, menyertakan peran dari heritage pada pariwisata, dan kepentingan arkeologi dan kesejarahan.

- Planning factors, terutama dipergunakan pada architectural heritage, redevelopmen dan regenerasi objek heritage untuk dipreservasi serta integrasinya ke dalam proses pengembangan yang lebih besar pada kota secara keseluruhan. Untuk meletakkan isu dari heritage conservation dengan melihat seluruh proses dari pengembangan kota, baik itu berhubungan dengan isu yang lain, seperti pengembangan wisata, revitalisasi dari ekonomi daerah dan pemerintah daerah.

Beberapa contoh dari kota-kota yang telah melakukan heritage conservation Kathmandu: It’s the People’s Heritage (Participation and Awareness-Building)

- Penanggungjawab adalah pemerintah daerah Kathmandu Municipal Corporation (KMC) yang merealisasikan keinginan untuk mengintegrasikan konservasi warisan budaya ke dalam proses yang lebih luas dari komunitas dan partisipasi masyarakat.

- Keterlibatan komunitas sangat penting untuk keberhasilan dari beberapa langkah heritage, dan implikasinya untuk kebanggaan masyarakat dan citra kota.

- Preservasi warisan budaya secara langsung berhubungan dengan ekonomi kota, dan pariwisata menjadi aktivitas yang utama.

- KMC mendirikan Heritage and Tourism Department tahun 1977. Mengembangkan beberapa strategi heritage conservation di antaranya: program pendidikan dan kesadaran untuk publik; heritage tour untuk anak-anak sekolah, media radio dan televisi; partisipasi masyarakat; kerjasama publik-privat; dan financial incentives.

Penang: Preserving for the Future (Institutional and Policy Environment)

- kehidupan kota dengan arsitektur tradisional yang utuh, streetscape dan aktivitas sosio-ekonomi –menjaga nilai jual sebagai ‘produk wisata’.

- untuk mengembangkan dan menjaga identitas urban yang unik, kota difokuskan dengan memperhubungkan perencanaan fisik, kerangka kebijakan, dan master plan untuk menciptakan wilayah urban yang berkelanjutan dan dipertahankan untuk generasi mendatang.

- inisiatif program dan studi yang mengkombinasikan konservasi dengan tujuan luas dari local sustainability.

- mempersatukannya ke dalam rencana dan projek pariwisata, pada dasarnya menambah nilai ekonomi daerah, tetapi lebih untuk masa mendatang.

- inisiatif ekonomi yang berkelanjutan dijamin oleh kerjasama dengan sektor privat dalam bangunan potensi wisata untuk pengunjung dan penduduk setempat.

Manila: Getting the Framework Right (Documentation and Preservation)

- Untuk Pilipina, Intramuros (berarti, di kelilingi dinding) merepresentasikan permulaan dari pendataan sejarah mengenai perkembangan perkotaan (urban development).

- Usaha dalam restorasi dan redevelopmen dari Intramuros dimulai tahun 1965 untuk mencegah kerugian selanjutnya dan menggabungankan ke dalam mainstream dari urban development.

- Usaha dari preservasi Intramuros dilakukan dengan memisahkan urban planning dan biro pengembang bagi kawasan bersejarah. Intramuros Administration (IA) adalah bertanggungjawab untuk redevelopmen dan restorasi.

- Tindakan lain juga telah dilakukan, mengklasifikasi Intramuros sebagai ‘cultural zone’, merencanakan master plan kawasan yang terintegrasi, menghapus tata guna tanah yang tak sesuai, petunjuk perancangan dan peraturan urban streetscape untuk pengembangan mendatang, restorasi bangunan bersejarah, dan sebagainya.

Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan 

Dentoteki Kenzobutsu Gun Hozon Chiki atau preservasi untuk kolompok bangunan bersejarah – Den Ken Chiki – adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang, di bawah badan perlindungan benda cagar budaya. Istilah ‘preservasi’, mencerminkan pandangan statis dari pekerjaan pemerintah terhadap bangunan kuno dan kawasan bersejarah, sedangkan Den Ken Chiki, lebih dinamis secara alami, dengan konservasi kawasan bersejarah meliputi di dalamnya preservasi, restorasi, rekonstruksi dan penataan ulang, pertimbangan ekonomi, sosio-kultural, aspek hukum dan administratif. Perlu untuk diketahui, bahwa di kawasan tersebut, lebih dari 80% rumah tinggalnya sampai saat ini masih bertahan, yang rata-rata dibangun pada era Edo (1596 ~1868). 

Konservasi dan pembangunan berkelanjutan di kota bersejarah Vigan 

Kota Vigan merupakan kota yang terletak di Propinsi Ilocos Sur, Filipina, yang memiliki banyak bangunan bersejarah, yang terdiri dari 180 buah gedung pemerintahan dan rumah ibadah, gudang, taman, yang memiliki arsitektur abad ke-18 dan ke-19, yang merupakan percampuran antara arsitektur Spanyol, Mexico, Cina, dan arsitektur lokal. Penataan Kota Vigan memiliki ciri tata kota Hispanic. Peninggalan-peninggalan tersebut dapat bertahan dari kerusakan, yang antara lain disebabkan oleh alam, perang dunia dan kebakaran besar yang terjadi pada tahun 1950 hingga 1970 yang menghancurkan banyak bangunan bersejarah. Kebudayaan yang dilestarikan juga termasuk industri tradisional, seperti pembuatan guci, batu bata dan ubin, perabotan kayu, garam, maguey rope, tukang besi, pemotong batu, dan hand-woven abel fabrics. Untuk melindungi warisan budaya sejarah Kota Vigan, maka dilakukan upaya preservasi dan konservasi. 

Pada awalnya (awal tahun 1990-an), usaha pelestarian ini banyak mendapat halangan dari pemerintah lokal dan para pengusaha, untuk mendukung hal tersebut UNESCO memberikan solusi preservasi dan konservasi Kota Vigan, sehingga dapat merubah seluruh kultur masyarakat untuk mendukung pelaksanaan kegiatan tersebut. Untuk mendukung kegiatan preservasi dan konservasi, para stakeholder lokal perlu meninjau kembali arah pembangunan daerahnya untuk di arahkan ke budaya, yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: menarik para wisatawan, pemanfaatan kembali bangunan-bangunan kuno untuk berbagai macam kegiatan (museum, toko, penginapan, kantor, rumah makan, dan sebagainya), revitalisasi seni dan kerajinan tradisional, perbaikan dan pembangunan kembali bangunan untuk melestarikan budaya, mengembalikan keaslian di daerah pusat pelestarian pusat pelestarian (historic core), dan merehabilitasi jalur sungai kuno di sekeliling Kota Vigan untuk menghidupkan kembali industri di sekitar sungai dan mendukung kegiatan pariwisata. Pada kegiatan preservasi dan konservasi akan selalu berkoordinasi dengan badan-badan yang terlibat dalam kegiatan ini, seperti badan internasional, nasional, dan lokal. Penutup Menampilkan kembali atau mempertahankan ruang kota masa lalu berarti memperhatikan elemen-elemen jalan (street-furniture) dan pembentuk ruangnya, baik tata hijau (soft-landscape) maupun perkerasannya (hard-landscape). Banyak contoh kota di dunia yang sudah membagi area/kawasan mana yang perlu dipreservasi dan mana yang tidak. Ke arah mana preservasi kawasan tersebut berjalan, perangkat apa saja yang dibutuhkan, jadi pelestarian bukanlah ceritera masa lalu, atau upaya untuk mengawetkan suatu kawasan bersejarah, namun lebih ditujukan sebagai alat dalam mengolah transformasi kawasan. Upaya tersebut merupakan langkah yang bertujuan untuk memberikan kualitas kehidupan bagi masyarakat agar lebih baik, dan berdasarkan pada kekuatan-kekuatan aset sejarah lama yang terdapat di kawasannya. Hal ini sebaiknya dititikberatkan pada upaya pemanfaatan yang kreatif melalui pelaksanaan program partisipasi melalui kegiatan ekonomi dan budaya kawasan. Untuk itu, perancangan kota harus menjadi perangkat pengarah dan pengendalian untuk mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kebutuhan dan fungsi baru. Dengan demikian, tanggung jawab terhadap pelestarian kota adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan tanggung jawab sektoral, multi dimensi, dan disiplin, serta berkelanjutan (sustainable).

Sumber Acuan

Tjandrasasmita, U. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus.

Adrisiyanti, I. 2000. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Jendela: Yogyakarta.

Budihardjo, E. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Jakarta: Djambatan.

Danisworo, M. 1996. Penataan Kembali Pusat Kota, Suatu Analisis Proses, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, VII (22): 70-76.

Farma, A.S. 2002. Strategi Perancangan dalam Meningkatkan Vitalitas Kawasan Perdagangan Johar Semarang. Tesis, Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota – Bidang Rancang Kota, Bandung: ITB.

Pontoh, N.K. 1992. Preservasi dan Konservasi Suatu Tinjauan Teori perancangan, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, IV (6): 34-39.

Srinivas, H. 1999. Prioritizing Cultural Heritage in the Asia-Pacific Region: Role of City Governments, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.

Srinivas, H. 1999. Mediation for Urban Conservation: The Case of Imai-cho, Japan, Urban Heritage and Conservation, pp. 1-4.

Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources, University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7. Source : Antariksa

SEJARAH DAN KONSERVASI PERKOTAAN SEBAGAI DASAR PERANCANGAN KOTA VIDEO