Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan




Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan

Antariksa
Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya penegasan bahwa: - setiap kota pasti mempunyai sejarah; - di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan; - bagaimana kota itu mesti dibangun dan dikembangkan; - kegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya). Dengan demikian perkembangan dan perubahan yang terjadi akan memberikan makna atau arti bagi kota itu sendiri. 

Perkembangan kota-kota telah terjadi dan pada akhirnya, memunculkan adanya dua teori: 1. Pertama, teori pemencaran (diffusionist theory) yang berpendapat bahwa gagasan pengembangan kota dipencarkan dari suatu wilayah peradaban atau kebudayaan ke wilayah lain di muka bumi ini. 
 2. Kedua, teori penemuan (inventionist theory) yang mengatakan bahwa gagasan pengembangan kota dapat saja timbul di suatu wilayah tertentu di muka bumi ini. 

Menurut Giedeon Syoberg (1965), pola ruang sirkular, telah lama ada, mencerminkan adanya pemusatan kekuasaan dalam masyarakat pra-industri sebagai panutan dan pengendali, yang secara spasial maupun secara sosial, merupakan pola pusat dan pinggiran (center dan periphery). Ini berarti bahwa puncak kekuasaan berada di tengah ruang kota, dan semakin jauh dari tengah kota semakin rendah, sedangkan tentang pola ruang kota berbentuk papan catur atau grid (grid-pattern). 

Oleh Stanislawski (1946) ditegaskan, bahwa pola ruang grid telah dikembangkan berikut landasan konsepnya dan dipakai pada kota Mohenjo Daro, bukan pada kota-kota pertama atau lebih tua, seperti di wilayah Mesopotamia dan di lembah Nil

Menurut Spiro Kostof (1992), ciri-ciri kota adalah suatu tempat, berkembang dalam kelompok, mempunyai batas keliling, mempunyai berbagai jenis lapangan kerja, membutuhkan sumber daya, tergantung pada tata tulis, membutuhkan wilayah pendukung, memerlukan identitas monumental, terdiri atas manusia dan bangunan. 

Namun menurut cara pandang sistem ruang kota atau permukiman terdapat empat unsur-unsur ruang yang saling berkaitan dan mendukung (Doxiadis 1968), yaitu 

1. unsur ruang pusat (central part); 
2. unsur ruang homogin (homogeneous part); 
3. unsur ruang khusus (special part); 
4. unsur jaringan sirkulasi (circulatory part). 

Hasil penelitian Sjoberg dan Stanislawski di atas, bisa mendasari asumsi berikut ini: Pada dasarnya kota-kota pra-industri di manapun mempunyai struktur dasar perkotaan yang sama, maka pengetahuan pembangunan kota dan patokan penataannya dapat dipinjam dapat dipinjam untuk pembangunan kota lain. Secara hipotetis kemudian dapat dikatakan bahwa segenap bentuk pengetahuan, konsep, dan patokan tata ruang kota yang dipinjam dari ‘orang lain’, dalam penerapannya bagi masyarakat ‘sendiri’ akan memerlukan penyesuaian-penyesuaian. 

Ada atau tidaknya pengaruh luar terhadap pertumbuhan kota
Pertama, penganut teori difusi (diffusion) atau penyebaran gagasan dan temuan teknologi (dispersionist atau diffusionist) dalam perkembangan kota
Kedua, penganut keyakinan akan adanya simpul-simpul komunitas di muka bumi ini yang secara mandiri memiliki akal unggul (inventionist) pendorong lahirnya kotakota dapat dilihat melalui dua golongan, yaitu golongan pertama, terjadinya kota merupakan regional. 
Namun lahir dan terjadinya sebuah gejala berantai, antar budaya dimuka bumi, berupa penyebaran. Pengembangan kota dipandang sebagai suatu cara untuk untuk mengatasi persoalan demografis dan geografis setempat. 
Golongan kedua, lahirnya suatu kota berdasarkan pemikiran atau penemuan masyarakat setempat, tanpa dipengaruhi faktor luar. Kelahiran kota disuatu wilayah dipandang sebagai peristiwa independen terhadap pengaruh luar.

Syarat utama kota praindustri 

Dalam pemikiran Syoberg (1960), ada tiga prasyarat utama untuk dapat lahir dan berkembangnya kota praindustri, yaitu 

1, adalah lingkungan ekologis yang mendukung

2, adalah teknologi, dan 

3, adalah organisasi yang memiliki struktur kekuasaan (power structure) nyata

Ketiga persyaratan di atas harus dipenuhi untuk melahirkan entitas komunitas yang disebut kota dapat dilihat melalui kerangka konsepsional kota praindustri

- lingkungan ekologis berupa lahan yang sesuai serta kondisi iklim yang cocok sangat diperlukan bagi kehidupan penduduk; dan 

- teknologi pertanian mendukung budidaya pertanian, mengatasi kebutuhan pergerakan manusia. 

Apa yang oleh Gordon Childe (1957), disebutkan sebagai “pekerjaan umum” (public works) meliputi prasarana perkotaan, seperti jalan, persediaan air (water supply) dan pematusan (drainage), kompleks permukiman dan bangunan-bangunan umum peribadatan, candi dan monumen-monumen. Organisasi sosial yang cukup maju sebagai wahana ekonomi dan politik. 

Definisi kota pra-industri menurut Spiro Kostof (1992) berkaitan dengan persoalan ruang, adalah: suatu tempat berkembang dalam kelompok, mempunyai batas keliling, mempunyai berbagai jenis lapangan kerja, membutuhkan sumberdaya, tergantung kepada tata tulis, membutuhkan wilayah pendukung, memerlukan identitas monumental, terdiri atas manusia dan bangunan. 

Batasan kota di atas lebih luas, dibanding rumusan sebelumnya yang diketengahkan oleh: Louis Wirth (1938); Gordon Childe (1957); Paul Wheatly (1975); Lewis Mumford (161); dan Giedeon Sjoberg (1965). 

Penelitian Giedeon Sjoberg (1965) dan Spiro Kostof (1992), memberikan rangkuman kesimpulan hipotetis yang lebih luas, di antaranya, yaitu bahwa kota-kota praindustri di mana saja, di Eropa, di India atau di Cina, mempunyai pola dasar keruangan yang sama, baik berkaitan dengan struktur sosial maupun struktur ekonomi, kecuali bagi unsur kota yang memiliki kandungan nilai budaya khusus. Adanya nilai budaya yang bersifat khas dalam masyarakat kota praindustri akan lahir pola kota yang khas pula.

Pola kota papan catur 

Pola kota papan catur yang populer disebut grid-iron pattern atau grid-pattern. Pola kota ini ditemukan, pertama kali digunakan sebagai pola kota Mohenjo Daro, wilayah sebelah barat India kuno (Stanislawski, 1946). 

Secara teoritis pemakaian pola ini didasari atas dua macam pertimbangan (Stanislawski, 1946): 

Pertama, adalah alasan efisiensi penggunaan ruang, berkaitan dengan anggapan bahwa bangunan pada umumnya berbentuk persegi (rectangular). 

Kedua, adalah alasan berkaitan dengan penyiapan jalan untuk keperluan barisan prosesi memanjang dan lurus (straight processional street). 

Dari Mohenjo Daro, pola kota ini menyebar ke berbagai wilayah, ke arah barat ke negara-negara Timur Tengah, seperti Yunani dan Romawi serta kemudian, ke negara Eropa lainnya, danke arah timur, meliputi bagian India lainnya, dan Cina. Penyebaran tersebut juga disertai segenap konsepsi, nilai manfaat strategis beserta persyaratannya

Selanjutnya, Stanislawski (1946) merumuskan beberapa butir pokok pola kota papan catur berikut ini: 

Pertama, pola kota papan catur dikembangkan sebagai bagian dari pemusatan kekuasaan yang mengendalikan segi-segi kehidupan masyarakat (centralized control), terutama kontrol pemanfaatan tanah. 

Kedua, pola kotakota yang baru dibangun sekaligus, dan tidak pernah untuk diterapkan dalam kasus pembangunan kembali (redevelopment) kota lama. 

Ketiga, pola papan catur dapat diterapkan dalam pembangunan kota-kota satelit atau kota berstatus koloni, seperti layaknya kotakota

Keempat, pola ini cocok untuk menyiapkan gubahan ruang kota yang menghendaki bagian-bagian ruang yang seragam bentuk dan ukurannya, terutama untuk bangunan gedung berbentuk rektangular. 

Kelima, agar pemanfaatan pola kota ini dapat memenuhi harapan, maka penguasaan konsepsi dan pengetahuan dibalik wujud fisik dan spasial pola kota papan catur dipergunakan hanya pada entitas induk dan anak permukiman adalah sangat penting.

Pola ruang kota berpusat dan melingkar 

Pola tengah dan lingkaran tepian kota (centered and circular pattern) sebenarnya merupakan gambaran sederhana tentang gejala keruangan kota memusat, yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomis, politis, dan budaya. Pada era praindustri, gejala keruangan kota juga bisa dikaitkan dengan fungsi pokok kota, seperti fungsi politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. 

Pola sirkular, yang lahir kemudian merupakan upaya alternatif untuk menghindari pola ruang geometris yang cenderung kaku kurang individual, namun kemudian pemanfaatan pola sirkular untuk mewadahi pandangan kosmologis. Paham ini bahkan menempatkan penguasa atau raja pada kedudukan puncak pada pusat lingkaran pengaruh kuasa, yang dikenal dengan lingkar mandala

Konsep kosmologis dalam penataan kota atau permukiman selalu dikaitkan dengan agama dan kebudayaan Hindu, Budha, India, dan Cina. Tata ruang kosmologis merupakan bagian kelompok tata ruang simbolis dan menjadi utama dalam pengejawantahan nilai-nilai budaya. Dominasi faktor kuasa politis adalah penggerak utama lahirnya pola ruang memusat pada kota-kota praindustri, yang disebabkan oleh kedekatan (proximity) politis kelompok elit kuasa yang diterjemahkan ke dalam kedekatan spasial. Perkantoran, bangunan keagamaan dan tempat tinggal para pejabat dan kerabat kerajaan di sekitar istana atau kreton. Gejala sentralisasi ruang kotakota, pengaruh elitis ini semakin kecil praindustri sangat menonjol. Semakin jauh dari pusat

Sejarah perkotaan sebuah pembelajaran 

Kota besar seperti Roma dan London telah ada ribuan tahun, di era modern semenjak tahun 1800, telah menjadi bagian yang signifikan dari populasi total masyarakat yang berdiam di perkotaan. Pada tahun 1800, sekitar 3% dari populasi dunia tinggal di perkotaan, dari sekitar 5000 atau lebih; Di tahun 1900 proporsi tersebut meningkat menjadi 13,6%. Great Britain, membawa perhatian dunia, dengan urban proportion mencapai 80% di tahun 1921. Apakah dimaksudkan kota lebih menarik dalam masyarakat kita, dibanding pada periode awal sejarah? Apakah naiknya konsentrasi dari penduduk dimaksudkan bagaimana mereka berpikir dan bertindak? Di era modern, mengapa beberapa kota tumbuh dan menjadi makmur dan lainnya mandek atau menurun? Bagaimana kehidupan di metropolis, city, atau town berbeda dari kehidupan di village atau country?

Membangun kota di abad ke-20-an 

Kota dan modernisme 

a. Proses dari urbanisasi Perkembangan perkotaan di abad ke-20 ditandai dengan munculnya giant urban agglomeration, housing millions of residents, dan spread out an immense amount of space. Jumlah terbesar adalah di Asia (lima kota) dan Amerika Latin (empat kota), dipimpin oleh Tokyo-Yokohama dengn 27 juta, dan Mexico City dengan 21 juta. 

b. Bentuk urban Aglomerasi besar selalu berhubungan pada “city-regions”, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jane Jacobs. Aglomerasi ini termasuk keduanya, pusat kotakota. Bentuk dari city-region mempunyai karakter; - pada pusat kota lama; - konsentrasi yang sangat besar dari corporate towers; - dalam suburban; - kepadatan tempat tinggal rendah dan commercial sprawl; dan - pusat perbelanjaan sering kali di tengah. Sekarang dinamakan “Edges Cities”, “technoburbs”, yaitu merupakan:- kombinasi high-tech business, - dan beberapa fungsi-fungsi tempat tinggal serta komersial, - serta jauh dari pusat kota yang asli. 

City-regions umumnya bukan karena political, tetapi dibuat oleh lusinan pemerintah lokal yang berjuang dengan penuh semangat untuk mempertahankan independen dari pemerintah pusat,dan mereka bukan keseluruhan dari bagian unit sosial dan ekonomi yang sama. 

Ada empat karater dari American suburbanization

1. low residential density

2. high home ownership rate; 2. jarak yang tajam antara pusat kota yang relatif miskin dan wealthy suburbs; dan 

3. the long length of daily journey to work

c. Arsitektur modern 

Arsitek dan perencana berpengaruh terutama sekali dalam menetapkan bentuk kota di abad ke-20. Para modernis menolak penggunaan historical allusion dalam arsitektur, dalam prinsip desain yang berhubungan pada bentuk-bentuk industri “machine aesthetic”. Pengaruh dari Le Corbusier (1887~1968), yang menekankan purity of form dalam desain. 

d. Lansekap sosial 

Percampuran etnik dan ras di kota-kota besar Kanada secara dramatis telah berubah dalam lima tahun terakhir (British dan Franch di Montreal). Corak multikultural dari kota-kota besar tidak seperti kota-kota kecil, towns, dan countryside, yang membuat sangat kontras antara mereka dan metropolis. lama dan komunitas suburban yang baru, yang telah tumbuh jauh melewati batas

Persepsi budaya dalam urbanisme 


Persepsi kebudayaan dari kota-kota dapat digunakan pertama, untuk antropologi seperti ditegaskan oleh Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktivitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah, masyarakat di perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di mana budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik.

a. Urbaniti sebagai sebuah budaya Lewis Mumford dalam The Culture of Cities (1938) melakukan pendekatan interdisipliner antara lain ahli filosofi, sejarah, kritik sastra, sosial, kritik arsitektur, dan perencana: 

1. Dalam pandangannya, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat. Kota……adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti; 

2. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu; 

3. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways

4. Max Weber, dengan peran budaya terhadap kota dalam The City (1905), mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity) – wujud kosmopolitan dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah; 

5. Dalam Community Design and the Culture of Cities (1990), Eduardo Lozanourbanity sama seperti city dengan civilization. Argumentasinya, bahwa urbane community (komunitas yang berbudi) adalah salah satu yang menawarkan wargakota berbagai lifestyles – kesempatan untuk memilih, bertukar dan interaksi. Lozano percaya bahwa, bentuk ideal era sebelumnya dari sejarah perkotaan, seperti order (aturan) dan diversity (perbedaan), harus diintroduksi kembali ke dalam kota-kota yang berkharakter membosankan dan membingungkan. William Sharpe dan Leonard Wallock dalam Visions of the Modern City (1983), dalam pengantarnya menjelaskan bahwa, kota telah terlihat sedikitnya sebagai pemandangan sosial dan psikologi, keduanya memproduksi dan merefleksikan kesadaran modern; 

6. Contoh lain adalah issue spesial dalam Journal of Urban History berjudul “Cities as Cultural Arenas”. Beberapa tingkat dari urban self-perception menjelajah dari kota pencerahan (enlightenment) abad ke-18 ke idea kota “decomposition” di abad ke-20; 

7. Konsep provokatif dari urbanity yang menekankan perbedaan-perbedaan daripada komunitas (Thomas Bender). Bender percaya bahwa, notion dari komunitas bukan salah satu yang efektif dapat diterapkan pada pusat-pusat perkotaan yang besar, bila oleh komunitas dimaksudkan ikatan dari penduduk dari kesamaan ketertarikan dan nilai-nilai. Argumentasinya, bahwa notion of the city secara kolektif didasari oleh perbedaan daripada kesamaan. melihat

b. Seni sebagai budaya 

Hubungan antara kota-kota dan budaya dikembalikan pada asal dari kota itu sendiri. Penataan perkotaan memberikan kekayaan, kesenangan, dan konsentrasi dari penduduk yang kreatif memproduksi seni seperti di Renaissance Florence

1.Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya; 

2. Menurut Jon Caufield, beberapa lukisan terlihat “menangkap atau melambangkan aspek krusial dari pengertian kota baru”; 

3. Public art secara tradisional memberikan rasa pada kota sebagai dunia kolektif dan tempat berbagi. Selalu terdapat patung yang menyimbolkan figur-figur mitologi sebagai even yang penting bagi negara atau kota pada masa lalu. Modernisme cenderung untuk menghancurkan peran budaya dari public art dengan merusak gagasan dari ruang publik sebagai lahan bersama. Ahli perkotaan

c. Warisan sebagai budaya Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah. Di Amerika Utara, permukiman perkotaan selalu diberikan prioritas untuk tumbuh daripada mempertahankan masa lalu. Gertrude Stein menaksir kota-kota di wilayahnya merupakan tipikal dari perilaku modernis: New York, San Fransisco, dan Cleveland. Puncak pelanggaran terjadi di tahun 1960-an ketika beberapa bangunan di seluruh wilayah dihancurkan dengan alasan bahwa sudah lama bertahan dalam perjalanannya dan tidak dapat diselamatkan nilainya. Apa yang disebut dengan “paradigm shift”, yang juga terjadi di tahun 1960-an, yaitu wargakota dan para professional untuk melihat kota-kota dengan cara pandang baru. Sebagai contoh, Jane Jacobs dalam The Death and Life of Great America Cities (1961) mengatakan, praktek perencanaan konvensional dengan memberikan saran/usulan/anjuran bahwa resep atau ketentuan perencana untuk merevitalisasi kota-kota pada kenyataannya akan membunuh mereka sendiri. Sebagai contoh: - Di New York, lahan/tanah menjadi pertempuran hebat melawan real estate, yang memandang preservasi bangunan bersejarah sebagai pelanggaran dari properti (milik) mereka. - Penghancuran stasiun Pensylvania di tahun 1963, walaupun secara luas dikampanyekan untuk dilindungi, surat kabar New York Times mengutuk hal itu sebagai “monumental act of vandalism…..

Sumber Pustaka

Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.

Catanese, A. J. & J. C. Snyder. 1989. Perencanaan Kota. Eds. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni.

Evers, H.-D. & R. Korff 2002. Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gallion, A. B. & S. Eisner 1992. Pengantar Perancangan Kota. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hermanislamet, B. 1999. Tata Ruang Kota Majapahit, Analisis Keruangan Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Disertasi, Tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Lynch, K. (1987). Good City Form. Cambridge: The MIT Press.

Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar sosiologi kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Peresthu, A. 2004. Globalisasi dan Transformasi Urban. Network: ALFA-Ibis Research

Spreiregen, P. D. 1965. Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company.

Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7.

Yunus, H. S. 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan VIDEO






Beberapa Pemikiran Dalam Desain Arsitektur




Beberapa Pemikiran Dalam Desain Arsitektur

Antariksa Pemikiran-pemikiran dalam desain arsitektur telah berkembang menjadi doktrin-doktrin yang banyak digunakan dalam merancang bangunan. Proses ini menjadi bagian dari perkembangan pemikiran arsitektur Barat yang banyak diserap dan digunakan dalam merancang bangunan, tentu saja dengan kelebihan dan kekurangannya. Kemudian Jones (1970) merangkum baik kelebihan dan kekurangan pendekatan terhadap desain ini dalam sebuah penggambaran proses tersebut sebagai “desain dengan cara gambar”. Jika seorang desainer tidak bena-benar membuat sebuah objek, maka ia harus merepresentasikan dengan cara lain. Hingga sejauh ini cara yang paling umum dan berpengaruh untuk mempresentasikan sebuah desain adalah gambar (Lawson 2007:27). 

Namun dari sisi pemikiran yang lain, seorang filsuf Inggris yang ternama, Ryle (1949) menyatakan bahwa “Pemikiran adalah permasalahan latihan (drills) dan keahlian (skills),” dan kemudian seorang Psikolog Barlett (1958) menyatakan juga bahwa “kegiatan berpikir harus dianggap sebagai keahlian kompleks dan tingkat tinggi.” Pesan-pesan penulis tersebut di atas oleh Edward de Bono (1968) dirangkum menjadi “Pada dasarnya, lebih penting bagi kita untuk menjadi ahli dalam berpikir ketimbang kita dijejali dengan fakta-fakta (Lawson 2007:11). 

Secara nalar, alternatif dalam desain dapat dilakukan dengan model berpikir sadar-diri dan introspektif yang dituntut oleh proyek yang mereka kerjakan ke pendekatan tidak-sadar-diri, berbasis-aksi yang alami. Perubahan peran desainer pun ditawarkan oleh Alexander (1964), bahwa pendekatan desain tak sadar berbasis-kriya (craft) harus mengalah pada proses profesionalisasi sadar-diri ketika masyarakat mengalami perubahan yang mendadak dan pesat yang secara budaya tidak dapat diulang kembali (Lawson 2007:25). Akhir-akhir ini arsitek-perancang bergantung hampir sepenuhnya pada metode intuitif, dan kemampuan desain secara luas dianggap sebagai bakat dan sering tidak dapat diajarkan. Pemikiran-pemikian yang konseptualistik pun diberikan dengan ide-ide yang terkadang terlalu idealis antara pemikiran barat dan kearifan local yang tradisionalistik menjadi sebuah permainan arsitektur dalam desain rancangan.

Bahkan sekolah Beaux Arts yang sangat berpengaruh menganggap bahwa serangkaian faktor paling penting yang menyebabkan sifat dasar situasi desain adalah faktor yang diasosiasikan dengan hasil akhir atau produk akhir. Di bawah sistem seperti ini, siswa diperkenalkan dengan skema atau projek yang mereka bawa kembali ke studio untuk dikerjakan, dan mereka hanya akan menghubungi tutor mereka dengan serius ketika mereka telah menyelesaikan gambar akhir yang nantinya dikritisi oleh para juri (Lawson 2007:2). Pada akhirnya, berbagai pendapat pun muncul dan salah satunya datang dari Karl Marx dalam Das Kapital mengatakan seekor lebah membuat malu banyak arsitek pada saat ia mengonstruksi sarangnya tetapi yang membedakan arsitek terburuk dengan lebah terbaik adalah sebagai berikut: arsitek membangun strukturnya dalam imajinasi sebelum ia mendirikannya. Pada akhir setiap proses kerja kita mendapatkan hasil yang telah ada dalam imajinasi si pekerja sejak awal (Lawson 2007:2). Dengan demikian, proses imajinasi tersebut terjadi sejak awal dan di tetapkan oleh arsitek, dalam proses perencanaan maupun perancangannya. Imajinasi dengan konsep yang terstruktur maupun intuitif akhirnya juga menjadi bagian dari tahapan berarsitektur. Dengan cara pandang dan pendekatan pemikiran teoritik dan intuitif dipadukan dalam konsep rancangan dalam dua demensi menjadi tiga demensi.

Dalam pemikiran van Peursen (1976) yang dijelaskan dalam Strategi Kebudayaan dapat mengikhtisarkan sikap fungsional dengan satu kata. Yang dipentingkan dalam pikiran mitis ialah “itu ada”, dalam sikap ontologisme “apa itu”, sedangkan dalam pandangan fungsionalis ditanyakan “bagaimana itu ada?”. Apakah pemikiran tersebut juga menjadi bagian yang dapat diterjemahkan dalam pendekatan bahkan pemikiran arsitektur? Hal tersebut dijawab oleh Friederich Nietzsche dengan mengatakan, dunia ini adalah sebuah karya seni yang senantiasa diciptakan kembali. Tetapi, semua ini hanyalah ilusi, tidak lebih tidak kurang. Seluruh kemegahan “karya seni” menciptakan dirinya sendiri: dari diri dan untuk diri. Secara estetis merupakan inovasi yang sangat maju. Ia dianggap sebagai pendiri konsep “aesthetic metacritique” yang melihat “karya seni” sebagai dasar dari kemungkinan kebenaran (Grenz 2001:144). Seperti doktrin mistikal Plato tentang bentuk, dampak yang terjadi kemudian adalah pengikisan nilai (devaluasi) aktivitas seni dan penulisan oleh usaha terus menerus menggapai metafisika kehadiran, keterpisahan mereka dari sumber yang mengakibatkan mereka harus selalu bermain dalam imitasi-imitasi palsu (Noris 2003:81).

Pemikiran fungsionalis 

Akan tetapi, dengan pemikiran fungsionalis, tidak berdiri sendiri, tetapi justru dalam suatu hubungan tertentu memperoleh arti dan maknanya. Dengan demikian pemikiran fungsionalis akan menyangkut hubungan, pertatutan dan relasi (van Peursen 1976:85). Istilah “fungsionalis” lalu dapat dijadikan sarana untuk meringkas dan menjelaskan sejumlah gejala modern. Gejala itu juga nampak dalam seni bangunan; bukan gedung sendiri menjadi tujuan, seperti dalam pandangan substansialistis, melainkan “komposisi ruang”, seperti misalnya diperbuat oleh M. Breuer, yang antara lain merencanakan gedung Supermarket di Rotterdam. Menurut van Peursen (1976:95) sebenarnya gedung tersebut ingin memperlihatkan, bagaimana manusia bekerja dan berfungsi di dalamnya, mencetuskan arti kehidupan manusia di dalam gedung itu dan sekitarnya. Karena terlalu memikirkan fungsi, banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut. Justru karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya seni modern hanya merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu kisah atau melambangkan suatu dunia imajiner (Grenz 2001:41). Dalam pandangan arsitek sekarang fungsi masih berperan meskipun permainan bentuk yang estetis menjadi ciri di setiap periode.

Arsitektur yang memiliki kualitas kehidupan adalah arsitektur yang mempunyai kebranian untuk mengakui dimensi spiritual dan transcendental manusia. Dua arsitek yang menonjolkan dalam abad ke-20, orang yang menempatkan kehidupan di pusat visi mereka dan berencana memenuhi persyaratan-persyaratan untuk kehidupan manusia yang bersinar, pada paruh pertama abad itu, adalah Frank Lloyd Wright dan, pada paruh kedua, Paolo Soleri. Sementara Wright merancang rumah-rumah individu yang sangat indah yang dipadukan secara organis dengan lingkungannya, Soleri telah merancang seluruh kota, yang disebut “Arkologi” (suatu gabungan arsitektur dengan ekologi), yang memenuhi tantangan era industrial dengan mencoba memadukan manusia dengan alam dengan cara baru. (Skolimowski 2004:135)

Imajinasi dan kreatif 

Inventifitas diperlukan untuk mencapai perombakan dalam pandangan, tidak untuk memusnahkan sesuatu, melainkan untuk mencapai suatu pembaharuan yang menyelamatkan. Inventifitas berarti kaya akal, cerdas yang dapat memuncak menjadi “kreativitas”. Di sini inventifitas sungguh menciptakan sesuatu yang baru. Menurut A. Koestler bila seseorang karena fantasinya yang kreatif dan karena jalan pikirannya yang inventif dapat memasukkan unsur yang sama ke dalam dua sistem yang berlainan, maka unsur tersebut seolah-olah memperoleh sebuah dimensi yang lebih luas, sehingga dapat dipandang dari berbagai sudut dan ini mendekatkan kita pada pemecahan persoalan tersebut. Seperti prinsip arsitektur postmodern adalah semua arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk bangunan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Mereka ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan “apa fungsinya? Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan “bangunan-bangunan yang kreatif dan imajinatif” (Grenz 2001:41). Menurut Lawson (2007:2), hal ini disebabkan karena arsitektur adalah salah satu bidang yang ditempatkan di tengah-tengah yang matematis dan imajinatif. Sebagai ilustrasi dapat menjelaskan hal ini lebih visual lagi. Seorang arsitek, F. van Klingeren, diberi tugas merencanakan bagian pusat dalam sebuah kota; nah, unsur ini, perencanaan berlainan sama sekali. Sang arsitek melihat sebuah lukisan karya Paul Klee. Lukisan tersebut dipandangnya sebagai sebuah peta kota, dikaitkan dengan masalah yang sedang direncanakannya dan ilham ini berkembang menjadi maket pusat kota Lelystad. (van Peursen 1976:153) Memandang yang lama dengan cara yang baru, itu berarti mempertajam inventifitasnya. Kita tidak menambahkan sesuatu kepada pengetahuan kita yang lama, tetapi seluruh persoalan diberi bentuk baru, dilihat dalam kaitan yang baru.

Para arsitek modern mengembangkan gaya yang terkenal dengan International Style (gaya internasional). Arsitek mencari bentuk sederhana yang dapat menyampaikan sebuah makna tunggal. Cara yang digunakan adalah “repetisi” (pengulangan). Karena mereka juga hendak sempurna dalam geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model “dunia lain” (Grenz 2001:39). Geometri bertolak dari konsepsi-konsepsi tertentu, seperti “bidang”, “titik”, dan “garis lurus”, yang kurang-lebih dapat kita hubungkan dengan gagasan-gagasan yang sudah mapan. Geometri juga bertolak dari dalil-dalil sederhana (aksioma) yang melulu karena gagasan-gagasan itu pasti, cenderung kita terima sebagai “benar”. Atau sering disebut sebagai geometri Euklidesan (Einstein 2005:3-4). Dalam studinya tentang “geometri lingkungan” March & Steadman (1974) menjelajahi berbagai penerapan matematika untuk menggambarkan penataan ruang dalam desain. Buku mereka menunjukkan bagaimana geometri dapat digunakan untuk memahami baik hubungan formal abstrak maupun konkret. Cabang-cabang matematika seperti topologi dan aljabar Boolean dapat dipakai pada hubungan-hubungan yang eksis secara terpisah dari ruang tiga demensi. Sementara itu, ilmu geometri yang lebih konvensional dapat digunakan untuk mempelajari transformasi fisik seperti refleksi atau rotasi (Lawson 2007:207). Geometri seharusnya menghindari cara semacam itu agar bangunannya memperoleh kesatuan logis seluas mungkin (Einstein 2005:4-5). Penegasan ini juga dilakukan oleh March & Steadman (1974) dengan menunjukkan bagaimana batasan formal yang ditarik dari prinsip geometri dapat memiliki signifikansi intelektual dan praktis dalam desain (Lawson 2007:208).

Demikian pula, dunia gejala-gejala fisika yang dengan singkat disebut “dunia” (world) oleh Minkowski secara alami adalah empat-dimensi dalam pengertian ruang waktu. “Dunia” ini terdiri atas peristiwa-peristiwa tersendiri, yang masing-masing dideskrepsikan dengan empat bilangan, yakni tiga kordinat ruang x, y, z dan satu kordinat waktu, nilai-waktu t (Einstein 2005:65). Namun menurut Einstein (2005:166) pemikiran di atas ditentang oleh Descartes, yang mengemukakan alasan kira-kira begini: ruang itu identik dengan perluasan, tetapi perluasan terhubung dengan benda-benda; dengan demikian, tidak ada ruang tanpa benda-benda dan karena itu tidak ada ruang hampa.

Pemikiran dalam postmodernisme 

Pada dasarnya Grenz (2001:200) menjelaskan, bahwa sebenarnya ada tiga tokoh yang menonjol sebagai pemikir postmodernisme, yaitu Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty. Mereka bertiga adalah trio nabi postmodernisme, kadang-kadang bernyanyi bersama dengan harmonis, tetapi lebih sering menghasilkan musik yang tidak harmonis yang merupakan ciri postmodern. Postmodernisme tidak mempunyai dunia pemikiran. Intinya adalah penolakan adanya realitas yang utuh sebagai objek dari persepsi kita. Postmodern menolak usaha untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal. Secara khusus, era postmodern menandai berakhirnya konsep “universe” – berakhirnya cara pandang yang total dan utuh (Grenz 2001:68). Dalam beberapa contoh misalnya, arsitektur postmodern sengaja memberikan ornament (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Ditekankan kembali oleh Grenz (2001:40) bahwa arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik gaya seni tradisionil, sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni tradisionil. Hal itu juga ditegaskan oleh Umberto Eco (2004:375) bahwa elemen-elemen ini tidak memiliki fungsi struktural: elemen-elemen tersebut tidak menyokong apa pun. Elemen-elemen tersebut murni dibubuhkan sebagai perhiasan, seraya berlagak memiliki fungsi. Di dalam kasus-kasus tertentu, bahkan terjadi pembunuhan arsitektur. Hanyalah style-nyalah yang diberi kesempatan hidup.

Oleh karena itu, Jones (1970) menegaskan: “mendesain bukan lagi sekedar meningkatkan stabilitas dunia buatan manusia: mendesain berarti mengubah, secara lebih baik atau lebih buruk, hal-hal yang menentukan arah perkembangannya” (Lawson 2007:125). Demikian arsitektur bertutur untuk menjawab dimensi keruangan alam semesta ini. Perjalanan pemahaman dan pemikiran telah berlangsung lama dalam merancang lingkungan maupun bangunan. Pemikiran dan teori berkonsultasi menjadi sebuah konsep yang harus diimplementasikan dalam sebuah rancangan. Nuansa pendekatan akademis dan intuitif menjadi sebuah komponen dalam perjalanan ‘berarsitektur’, kapan harus dimulai dan kapan harus diakhiri.

Sumber Pustaka

Eco, U. 2004. Tamasya Dalam Hiperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.

Einstein, A. 2005. Relativitas: Teori Khusus dan Umum. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Grenz, S. J. 2001. A Primer on Postmodernism, Pengantar untuk Memahami Postmodernisme. Yogyakarta: Yayasan ANDI.

Lawson, B. 2007. Bagaimana Cara Berpikir Desainer (How Designer Think). Yogyakarta: Jalasutra.

Noris, C. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jaques Derrida. Jogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz.

Skolimowski, H. 2004. Filsafat Lingkungan. Yogyakarta: Bentang.

Van Peursen, C. A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Beberapa Pemikiran Dalam Desain Arsitektur VIDEO






Tragedi Arsitektur Menjual Mimpi


Tragedi Arsitektur Menjual Mimpi 

KALAU mengutip teori dari arsitek dan budayawan almarhum YB Mangunwijaya, bahwa arsitektur adalah cermin sikap hidup, bagaimana wajah arsitektur di kompleks-kompleks perumahan yang dipasarkan oleh para pengembang bermodal besar saat ini?

"Para arsitek postmodernis mengatakan itu arsitektur Christmas Cake," ujar Sonny Sutanto M Arch dari Arsitek Muda Indonesia. Bentuk arsitektur ini merupakan potongan, bahkan serpihan, yang tidak punya makna apa-apa. Hanya, Fun, sweet and nice.

Yori Antar, juga dari AMI, menyebutkannya sebagai arsitektur balada, arsitektur seolah-olah, arsitektur tanpa akar. "Bukannya masyarakat kita suka dengan semua yang serba seolah-olah, yang semu, artifisial, dan enggan melihat kenyataan?" ujar Yori.

Arsitek yang mendalami Ilmu Filsafat pada Sekolah Tinggi Driyarkara, Hasan Halim, mengatakan, gaya arsitektur yang belakangan dibangun oleh banyak perusahaan real estat adalah gaya arsitektur Disneyland. Kawasan itu lantas menjadi theme park.

Masyarakat konsumen yang tinggal di dalam theme park seolah-olah hidup di Paris, Wina, Amsterdam dan kota-kota lain di dunia; mereka tinggal di dalam bangunan Romawi seolah-olah mendiami istana kaisar.

Mengutip Baudrillard dalam Hystericising the Millennium (1992) Halim mengatakan, Walt Disney merintis suatu dunia "konyol" yang menampilkan bentuk-bentuk lama dan sekarang, mozaik dari semua kebudayaan... semua dibekukan dalam bentuk keceriaan yang definitif; dibekukan seperti Walt Disney sendiri dibekukan dalam cairan nitrogen: dunia ajaib, gothic, Hollywood-semua masa lalu dan masa depan dalam simulasi.

Masyarakat konsumen kemudian hidup dalam dunia virtual yang disebut hyper-real. Mereka tinggal di lingkungan hiper-arsitektur; suatu campuran masa lalu dan masa kini, yang mengingkari tempat dan sejarah. Seperti astronot tersesat di angkasa luar, hiper-arsitektur tersesat dalam sejarah.

Ketua Masyarakat Lingkungan Binaan, Marco Kusumawijaya, menambahkan, itu bukan hanya sekadar arsitektur atau gaya Disneyland. Mungkin modus operandi Disneyland lebih tepat karena semuanya mengadaptasi sindrom yang sama: pihak penjual harus selalu menemukan sesuatu yang baru agar dapat terus bertahan dari waktu ke waktu.

Mereka memasang iklan dengan rayuan akan kesenangan dan kebahagiaan yang dalam bahasa pemasaran disebut gimmick. "Karena masyarakat konsumeris merasa wajib untuk menjadi bahagia, senang, menarik, bersemangat dinamis dan bergairah," sambung Halim, kembali mengutip Baudrillard.

"Suatu dreamland seperti Disneyland dan Taman Impian Jaya Ancol, misalnya, pun demikian, karena pengunjung biasanya datang untuk melihat atraksi baru tertentu sampai atraksi berikutnya lahir," lanjut Marco.

Mungkin itu sebabnya Yori melihat banyak pemilik kembali menjual rumahnya setelah menempati selama beberapa saat, karena merasa rumah tersebut tidak lagi memenuhi seleranya lagi.

Seperti dipaparkan tenaga pemasaran di sebuah kompleks peristirahatan di Puncak yang menggunakan tema-tema kota dunia itu, "Banyak yang menjual vilanya di kompleks A dan membeli di kompleks kami."

***

GEJALA bahwa rumah bukan lagi merupakan suatu kebutuhan barang sosial yang profan, menurut Marco, terjadi pada paruh kedua tahun 1990-an. "Rumah lebih menjadi komoditas untuk investasi atau aksesori secara berlebihan," ujarnya.

Gejala ini ditangkap oleh pengusaha pengembang perumahan bermodal besar, yang selalu menjadi "dewa" dalam mengatur budaya dan psikologi berarsitektur masyarakat Indonesia.

Seperti dijelaskan Ridwan Kamil, anggota Arsitek Muda Indonesia yang tengah melanjutkan studinya di University California of Berkeley, AS, istilah form follows finance bisa dijadikan ilustrasi sederhana bagaimana arsitektur dan permukiman di Indonesia dirancang oleh kekuatan kapital ketimbang lahir dari desain yang kritis.

Masalah mendidik klien yang menjadi tugas berat para arsitek pada kenyataannya, menurut pengamatan Ridwan Kamil, lebih banyak diatur ketimbang mengatur pola pikir pengembang atau pembangun perumahan. Arsitek akhirnya menjadi orang yang tidak merdeka.

Ini membuat tidak adanya perlawanan ideologis maupun kosmologis terhadap apa yang dipaksakan pengembang-yang acapkali menyewa konsultan dari luar negeri-sehingga dengan mudah terjadi marginalisasi tempat dan pencaplokan tempat ke dalam kapitalisme.

"Yang relevan dengan kasus kita adalah pencaplokan tempat ke dalam kapitalisme," kata Marco. "Perusahaan-perusahaan trans-nasional juga mempunyai kepentingan untuk membuat dirinya familiar atau domestik demi kepentingan pemsaran, tetapi tidak harus bertanggung jawab terhadap masyarakat."

Mereka, lanjut Marco, juga berkepentingan mempromosikan "tempat" sebagai ideologi (Disneyland, Kota Wisata, Kota Bunga, Legenda Wisata dan lain-lain), sementara masyarakat yang tidak kritis segera membahasakan dirinya sedemikian rupa supaya dianggap sejalan dengan kapital.

Kalau kemudian yang muncul adalah arsitektur-arsitektur tanpa akar, barangkali di satu sudut tercakup konsep fetishism (pemujaan) seperti dikemukakan Marco. Membeli tidak ada hubungannya dengan nilai guna, yang oleh Marx disebut sebagai fetisisme komoditas, karena obyek dimuati makna-makna yang memberi status kepada individu yang memiliki atau memakainya.

"Garis atau bentuk rumah Venesia, atau London atau Victoria atau apa saja, di tempat asalnya dimengerti mendalam karena ada sejarah dan maknanya," lanjut Marco, Ketika dipindahan ke sini tentu kehilangan maknanya, menjadi fetish saja."

Dalam pandangan Andra Matin juga dari Arsitek Muda Indonesia (AMI), daripada memilih arsitektur dengan tema-tema tempat seperti Monaco, Kyoto, Praha, Paris, dan seterusnya, mengapa tidak memakai nama arsitek saja sebagai "label" seperti yang dilakukan di Nexus Houses di Fukuoka, Jepang, dan di Bumi Kahuripan, Parung, Jawa Barat, sebelum krismon menghantam Indonesia. Dengan cara ini, para arsitek sebagai perancang bangunan bisa dituntut tanggung jawabnya.

***

LALU apakah gaya arsitektur luar tidak boleh diadaptasi?

"Coba lihat bagaimana para arsitek Belanda mengadaptasi arsitektur tradisional kita ke dalam arsitektur-arsitektur bangunan yang dibuat Belanda di Indonesia," ujar Ir Hilman Asnar dari PT Hilman dan Mitra. Hal yang sama juga dikemukakan Yori Antar dan Marco Kusumawijaya.

"Tiap arsitek boleh saja membawa kekhasannya masing-masing, tetapi disesuaikan dengan lingkungan di mana desain itu dibuat. Lepas dari suka atau tidak suka, tetapi Paul Rudolph dari Amerika sangat memperhatikan keadaan lingkungan yang beriklim tropis ketika mendesain gedung Wisma Dharmala," kata Andra.

"Rancangan arsitektur dari luar sekarang hanya diambil tempelannya, sistem estetikanya tidak dikembangkan dengan baik," sambung Andy Siswanto MArch. "Dengan begitu, kita tidak akan menemui seperti arsitektur Belanda yang mengadaptasi nilai-nilai arsitektur tradisional kita saat ini, karena arsitektur tradisional tidak banyak dieksplorasi lagi."

Van der Wall dalam Oude Hollandsche Bouwkunst in Indonesie (1947) mengklasifikasikan arsitektur "Belanda-Indonesia" sebagai refleksi perpaduan idiom-idiom arsitektur Eropa dengan nilai-nilai arsitektur tradisional lokal. Tanda yang paling khas adalah bentuk atap piramida yang tinggi agar arus udara mengalir dengan lancar. Kemudian beranda yang luas pada bagian depan dan samping rumah.

"Di rumah-rumah Belanda kita juga menjumpai lubang seperti jendela di bagian bawah rumah agar udara dingin masuk dari bawah naik ke atas, sehingga udara di dalam rumah tidak panas," ujar Hilman.

Kita bisa belajar dari arsitektur luar. Romo Mangun, menurut Andy Siswanto, pernah mengajak menjelajah dan belajar serius dari peradaban arsitektur besar seperti meneladani arsitektur besar India yang intinya adalah pembebasan diri dari dunia maya.

Juga bagaimana belajar dari arsitektur Barat dan filsafatnya yang bersumber pada pemikiran Hegelian penuh drama dialektika pergulatan ruang hampa dan gatra masif, antara kebekuan statika dan gelora dinamika, antara simetri dan asimetri dan seterusnya yang semua ini berakar pada sikap Barat terhadap materi atau tepatnya fenomen.

Lalu arsitektur Yunani yang merumuskan arsitektur sebagai archetektoon dan selalu mencari hakikat secara rasional yang oleh Romo Mangun dilacak pengaruhnya sejak zaman purba sampai ke era modernisme: teknologi tinggi, bersih dan iklim citra logika bening dan matematika eksak.

Juga hikmah dari Jepang berupa kepolosan, kesederhanaan, permainan garis-garis lurus dan bidang-bidang murni yang lembut dengan penataan ruang transparan terhadap alam yang direplikasi dalam miniatur taman-taman Jepang yang berjiwa Shinto dan Buddhisme Zen.

Namun, semua ini membutuhkan perjalanan yang jauh lebih reflektif, tidak sekadar merancang. Lebih jauh, selain menolak determinisme ekonomi dalam arsitektur, Romo Mangun menggugah pentingnya pencarian citra, dalam arti arsitektur harus bermakna, memiliki kesejatian, laras terhadap ekologi dan mampu memberi kontribusi pada pembangunan kosmos yang teratur dan harmonis.

Akan tetapi, semua yang dikatakan Romo Mangun hanya bisa dilakukan oleh arsitek yang merdeka, yang geraknya tidak dibatasi dunia di luar dirinya, yang pikirannya senantiasa dipenuhi pertanyaan kritis, serta penuh imajinasi untuk mampu menyerap kejadian dan rasa.

Kalau itu tidak terjadi, secara ontologis akan dijumpai paradoks peradaban manusia: kehidupan baru atau kemajuan hanya diperoleh setelah kehancuran. Apakah sekarang ini merupakan puncak kehancuran arsitektur di Indonesia, atau baru proses menuju kehancuran?

Tragedi Arsitektur Menjual Mimpi VIDEO






Menjadi Modern




Menjadi Modern 

 MELANGKAHKAN kaki di ruang pamer Erasmus Huis sambil menatap panel-panel yang menampilkan sejumlah gambar bangunan karya arsitek muda Belanda, pengunjung akan melihat wajah Belanda yang modern. Di ruang yang hening itu, boleh dikata tak akan ditemukan gambar bangunan berlekuk klasik. Sebaliknya, yang terpampang di depan mata adalah bangunan-bangunan kosmopolitan. Jika melihat wajah lama Belanda, yang paling mudah adalah dengan melihat bangunan peninggalan Belanda yang tersebar di seantero negeri ini, entah yang kini dipakai sebagai kantor-kantor pemerintah ataupun museum/ galeri. Nama-nama seperti Thomas Karsten, PAJ Moojen (penataan fisik Menteng, Gondangdia), Maclaine Pont (aula-aula Institut Teknologi Bandung), JH Horst (Gereja Emanuel, Jakarta), S Snuyf (Istana Merdeka, Jakarta), adalah nama arsitek Belanda yang meninggalkan jejak pengaruh arsitektur modern di Indonesia. 
 Kini di tangan arsitek-arsitek mudanya, Belanda menjadi modern untuk zamannya. Lihatlah karya Jeroen Simons yang menggarap Philips High Tech Campus di Eindhoven. Simons menonjolkan bentuk dan ruang yang begitu sederhana dengan efisiensi tinggi. Garis-garis sederhana tetap dipertahankan Simons untuk bangunan yang digunakan sebagai riset software. Keindahan justru ditonjolkan lewat lekuk detail anak-anak tangga. Tak cuma itu. Menyimak proyek Simons yang bertajuk Multi Development Corporation di Gouda, kita akan melihat bagaimana gedung itu dibangun dengan mengandalkan materi kaca. Jadi, wajah modern Belanda kini identik dengan bangunan-bangunan kaca. Tidak hanya Simons yang cenderung memilih kaca sebagai "dinding" bangunan, banyak arsitek muda lainnya yang condong dengan pemakaian kaca. Arsitek muda Belanda menapak pasti. It

u terbukti dengan kian banyaknya proyek publik ataupun proyek privat yang dipercayakan kepada mereka. Lihat Chris de Jonge yang dipercaya Intermezzo-Vrije Universiteit Amsterdam untuk menggarap Theatre Uilenstede sepanjang 1995-1998. Bersamaan dengan itu, klien Jonge, Stichting tot Bevordering van de Volksgezondheit in Milieuhgiene memintanya untuk menggarap Laboratory SUM di De Bilt. Masih banyak nama lain. Sebut saja Paul de Ruiter, Diedrik Dam, Ad Kill, Bauke Tuinstra, Gerrit Goudkuil, Robert Mulder, Jos Van Eldonk. Mereka umumnya mendesain bangunan-bangunannya dengan sentuhan modern. Uniknya, para arsitek muda Belanda yang tinggal tersebar di berbagai kota di Belanda ini justru baru saling kenal ketika mereka berpameran bersama di Erasmus Huis, Jakarta. Ini terungkap ketika mereka melakukan diskusi bersama AMI (Arsitek Muda Indonesia) beberapa waktu lalu. 
 Untuk bisa berkarya, tentulah mereka harus mendapatkan kesempatan terlebih dahulu guna mengimplementasikan ide-ide mereka. Dan itu berarti berkompetisi. Dengan adanya kompetisi yang sehat, tentulah diharapkan muncul arsitek-arsitek yang berkualitas. Bicara tentang kompetisi, menurut Marco Kusumawijaya dari AMI, itu yang menjadi persoalan di Indonesia karena di sini tidak banyak kompetisi atau sayembara terbuka bagi para arsitek kita. Sebaliknya, di Belanda ada banyak kesempatan untuk berkompetisi di mana arsitek muda bisa menunjukkan ide-ide segar. "Kalau tanpa kompetisi, proyek-proyek itu akan selalu jatuh kepada senior-senior. Kita di sini tidak ada kompetisi," kata Marco. Sayembara atau kompetisi analog dengan lelang kalau dalam kontraktor. Tentu saja arsitek yang bekerja dalam tataran ide juga perlu "menjual" idenya melalui sayembara. Bagi mereka di Eropa, bangunan-bangunan publik banyak yang harus disayembarakan. 

Untuk arsitek muda Belanda, kompetisi ini memang penting untuk karier mereka dan karena Belanda termasuk di dalam Uni Eropa (EU), kompetisi di semua negara anggota EU bisa diikuti. "Tetapi, kompetisi ini pun tidak mudah karena untuk bisa ikut kompetisi mereka harus mendapat referensi dulu," kata Cor Passchier, arsitek anggota ikatan arsitek Belanda BNA. Irianto dari AMI, setuju bahwa sistem sayembara harus dikembangkan di sini untuk memberi kesempatan kepada arsitek muda berkembang. "Anehnya, yang dilelang adalah pekerjaan sipilnya, sementara kerja arsitekturnya tidak disayembarakan," kata bambang Eryudhawan, arsitek yang juga aktif di Ikatan Arsitek Indonesia selain di AMI. 

 Beberapa arsitek Belanda bisa dibilang sebagai arsitek dunia yang luar biasa. Bagi para arsitek muda Belanda, hal itu tidak menjadi masalah karena arsitek-arsitek pendahulu mereka itu sudah menjadi "milik" dunia. Para arsitek muda Belanda tidak merasa senior-senior mereka sebagai saingan yang berarti karena para senior mereka bersaing pada tingkat global. Pun begitu, pemerintah lokal umumnya membantu bila arsitek muda Belanda-di sana batasan umur untuk bisa disebut muda adlah 40 tahun-mendapat bantuan ketika mereka memulai membuka biro arsitek mereka sendiri. Mereka misalnya mendapatkan pinjaman berbunga lunak serta mendapat potongan pajak. "Bagi kita, karena prosesnya tidak terbuka di masa lampau, maka generasi yang lebih tua menjadi masalah karena seolah-olah menjadi suatu hegemoni, suatu dominasi, sehingga dalam batas tertentu itu menghambat ide-ide dari generasi muda," kata Marco. 

 *** PERUBAHAN gaya arsitektur dari klasik menjadi modern memang tak terelakkan. Belanda dalam hal seni budaya arsitektur memang sangat modern dan dinamis. Hingga kini Belanda tetap mengkonservasi warisan-warisan budaya arsitektur masa lampau. Namun, di sisi lain, mereka juga sangat terbuka terhadap perubahan-perubahan modern. Arsitektur modern dalam tanda petik dimulai sejak awal abad ini. Banyak tokoh-tokohnya memang orang-orang Belanda. Sejak itulah sebetulnya bagi orang Belanda tidak mungkin menjadi tidak modern. 
Menjadi modern itu justru tradisi mereka. Jadi tidak ada pertentangan antara tradisi dengan modernitas, karena modernitas bagi mereka sudah menjadi tradisi dari dalam. Itulah yang sangat kuat dalam arsitektur Belanda. Jeroen Simons, salah seorang arsitek muda Belanda, mengatakan, struktur sosial sangat mempengaruhi bentuk arsitektur. "Saat ini kita bekerja dengan menggunakan komputer, email, mobil, dan berbagai perangkat teknologi tinggi. Tentulah itu semua mempengaruhi bentuk bangunan kita. Jadi bentuk arsitektur itu merupakan representasi waktu atau dekade saat ini," demikian alasan yang dikemukakan Simons mengenai karya-karyanya yang begitu modern. Itulah mengapa bentuk arsitektur garapan arsitek muda Belanda yang dipamerkan hingga 28 Oktober 2000 ini sangat modern. "Karya-karya kami ini ternyata diterima masyarakat Belanda. Di beberapa pembangunan vila pribadi, klien kami justru ingin mengekspresikan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dengan teknologi tinggi," kata Simons.

Menjadi Modern VIDEO





Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan




Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan

Antariksa

Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyaakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya). Kata antropologi, diambil dari bahasa Yunani anthropos (“human”) dan logia (“study”), sedangkan antropologi adalah “the study of man” atau “the study of humankind”. Kemudian distribusi dari (urban anthropology) antropologi perkotaan jelas mendukung sosio-kultural antropologi, bagaimana pun, mereka mengakui bahwa arkeologi telah memberikan kontribusi signifikan pada studi peradaban dan sistem spasial perkotaan. Istilah antropologi perkotaan mulai digunakan pada tahun 1960-an. Dengan perubahan difokuskan pada “urban anthropology” melawan tradisi antropologi yang menekankan pada “primitif” dan masyarakat petani, mengasingkan tentang perkotaan, kelompok dan masyarakat industri (Basham 1978). Kemunculan dari antropologi perkotaan juga diakibatkan oleh Perang Dunia ke-II dan proses dekolonisasi. Dalam pandangan para pakar urban anthropology, ketertarikan pada kota telah membenarkan tuntutan akan tradisi antropologi yang menaruh perhatian pada keseluruhan dan bermacam budaya manusia serta masyarakat. Secara teoritis, antropologi perkotaan melibatkan studi dari sistem budaya kota baik hubungan dari kota terhadap tempat-tempat yang luas dan kecil, serta penduduk sebagai bagian dari sistem perkotaan (Kemper 1996).

Di Amerika antropologi di bagi menjadi empat bidang: 
- Sociocultural anthropology (sosiokultural antropologi), studi mengenai adat-istiadat dan masyarakat; - Archaeology (arkeologi), studi mengenai pra-sejarah manusia; 
- Linguistics (linguistik), studi mengenai bahasa; dan 
- Physical anthropology (antropologi fisik/ragawi), studi mengenai fisiologi manusia. Atau secara tradisional antropologi telah dibagi ke dalam: 

(1) cultural anthropology (antropologi budaya) yang terdiri dari beberapa sub-bidang: 
(a) antropologi sosial (social anthropology) atau etnologi (ethnology) berurusan dengan studi komparatif dari kebudayaan dan kemasyarakatan; 
(b) arkeologi (archeology) berurusan dengan rekonstruksi dari kehidupan manusia di masa lalu melalui analisa artifak dan benda peninggalan dari budaya yang punah; dan 
(c) anthropological linguistics (antropologi linguistik) merupakan studi bahasa sebagai cara kerja pertama dari komunikasi manusia. 

 (2) physical anthropology (antropologi fisik/ragawi) adalah bersangkutan dengan evolusi spesies manusia, dan karakter biologis dari populasi manusia yang lalu dan sekarang.

Perbedaan cara pandang sosiologi dan antropologi muncul pada human relations nya: Sosiologi, secara kontras tidak membicarakan orang tertentu dari kota akan tetapi lebih pada keterikatan hubungan personal dengan rural life. Cara pandang ini berkembang lebih awal dalam ilmu sosial dengan pemikiran evolusi sosial. Hal itu merupakan refleksi studi “Suicide” dari Emile Durkheim (1897), dengan konsep anomie atau state of normlessness. Anomie suicide merupakan karakter bagi mereka yang hidup terisolasi, dari dunia impersonal. 

Ferdinand Tönnies (1887), membuat jarak antara Gemeinschaft (community) dan Gesellschaft (society) konsep dasarnya, secara kontras untuk mendalami hubungan kontraktual pertalian karakter masyarakat kapitalis dan aktivitas bersama dari masyarakat feudal. 

Sedangkan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”, mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban life. Louis Wirth, menyatakan bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling berhubungan (inter-related): 
1. as a physical structure (struktur fisiknya); 
2. as a system of social organization (sistem dari organisasi sosialnya); dan 
3. as a set of attitudes and ideas and a “constellation of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari kepribadian”). Antropologi, lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan. Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan.

Sosiologi perkotaan

Apa sosiologi itu? Sosiologi adalah studi empiris dari struktur sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial, organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan. Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan. Karakter kota dan masyarakat: 

a. Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus; 
b. Mata pencaharian penduduknya di luar agraris; 
c. Adanya spesialisasi pekerjaan warganya; 
d. Kepadatan penduduk; 
e. Ukuran jumlah penduduk; 
f. Warganya (relatif) mobility
g. Tempat permukiman yang tampak permanen; dan 
h. Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, social relations yang impersonal dan eksternal, dan lain sebagainya. 

Kemudian ilmu tersebut berkembang dan berkaitan dengan apa yang dinamakan urban sosiologi (sosiologi perkotaan). Urban sosiologi adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan pada urban environment (lingkungan perkotaan). Menjelaskan beberapa topik-topik sebagai bagian dari perkembangan perkotaan, struktur perkotaan, jalan kehidupan dalam perkotaan, pemerintahan, dan permasalahan perkotaan. Karena penduduk yang tinggal di perkotaan akan dipengaruhi oleh kota. Untuk memahaminya kita harus mempelajari perkotaan. Berbagai permasalahan berhadapan masyarakat kita berhubungan pada lingkungan urban. Untuk memahami permasalahannya kita perlu mempelajari kota. Dengan belajar bagaimana kota-kota dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan natural kita dapat mengerti link antara nature dan struktur sosial.

Politik-ekonomi dari kota

Istilah dari “politik-ekonomi” menunjukkan adanya pengaruh dari kekuatan politik dan ekonomi dalam masyarakat. Kekuatan politik dan ekonomi nampak menjadi pendorong utama dari aktivitas perkotaan. Dalam perspektif spasial sosial, kota merupakan produk dari faktor-faktor ekonomi, politik, budaya, dan geografi. Namun dari sudut pandang sosiologi perkotaan sesungguhnya adalah merupakan area studi interdisipliner, artinya bahwa bidang lain dari sosiologi memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita terhadap kota. Geografi, ilmu politik, ekonomi, sejarah, antropologi, dan psikologi keseluruhan studinya mengenai beberapa aspek dari lingkungan perkotaan dan memberikan sumbangan pada kita, yaitu pengetahuan tentang lingkungan perkotaan. 
Tentu saja di dalamnya terdapat ‘dependent variable’ bagaimana kekuatan-kekuatan eksternal, yaitu variabel yang independent mempengaruhi lingkungan perkotaan: - pengaruh dari segregasi rasial dari sistem ekonomi di dalam kota; - pengaruh dari batas-batas geografi (pegunungan) terhadap perkembangan kota; dan - pengaruh dari kejadian sejarah (peperangan) terhadap perkembangan kota. Sedangkan karakter dari lingkungan perkotaan harus memenuhi: - Luas, secara kultural merupakan kelompok masyarakat yang heterogin; - Bukan area pertanian di mana bahan mentah diproses dari pada produksi; -Sebagai pusat administrasi, menampilkan fungsi-fungsi administrasi yang substansial untuk masyarakat yang luas; dan - Tingkat populasinya tinggi.

Antropolgi perkotaan sebagai kelompok sosial

Dengan sendirinya antropologi perkotaan dikenal melalui sosiologi perkotaan terutama dalam perspektif istilah yang berbeda: studi-studi sosiologi lebih difokuskan dalam issue penggalan (fragmented), antropologi perkotaan secara teoritis sedikit mengarah pada pendekatan holistik (Ansari & Nas 1983:2). Hal-hal yang mendorong berkembangnya sosiologi adalah: 

(1) konfrontasi dengan perubahan sosial yang hebat; 
(2) munculnya masyarakat yang makin berdiferensiasi; dan 
(3) keinginan manusia untuk membuat perubahan sosial dan kemajuan yang diorganisasikan secara sistematis. 

Beberapa definisi mengenai sosiologi: “Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial” (WF. Ogburn & MF. Nimkoff). “Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kehidupan kelompok” (Roucek & Warren). “Sociology, the scientific study of human interaction” (James W. Vander Zanden 1979:626).

Dari tahun 1930-an sampai dengan 1950-an antropologi kebudayaan telah tumbuh dan lebih ditekankan pada studi masyarakat petani serta impaknya terhadap kota-kota dan kehidupannya (Redfield 1947). Perhatian yang lebih utama diberikan pada migrasi desa-kota, urban adaptation, etnik, dan kemiskinan (Lewis 1968; Hannerz 1969). Kemudian Fox (1977) mengidentifikasi lima perbedaan tipe dari kota, serta membahas hubungan kota dan masyarakat yang lebih luas terpancang di dalamnya. Akhirnya Basham (1978) menawarkan sebuah diskusi dari studi masyarakat perkotaan dan beberapa topik yang mempunyai hubungan.

Metodologi

Permasalahan yang paling utama pada antropologi perkotaan adalah aplikasi dua teknik pendekatan antropologi, yaitu partisipan-observasi dan holistik di dalam riset perkotaan. Teknik dari metode antropologi ditekankan pada suku (tribe) dan masyarakat perdesaan/petani di mana hal itu lebih terbuka dan memungkinkan untuk pengembangan hakekat hubungan personal setiap orang di masyarakat. Para pakar antropologi perkotaan diminta untuk memperluas pengetahuan dalam mengembangkan kemampuan dengan memasukkan materi-materi tertulis, survei, studi kesejarahan, novels (ceritera-ceritera), dan sumber-sumber lainnya. 

Tantangan dari para pakar antropologi perkotaan adalah untuk menata keseluruhan sumber materi yang berbeda dan untuk mencoba realitas kelompok yang lebih luas tanpa mengorbankan penjelasan dengan mengkarakterisasi etnografi dan antropologi secara umum. Dalam skala yang luas tujuan dari studi-studi antropologi perkotaan didominasi: - studi komparasi dengan komunitas tunggal (comparative study with single community); - studi dengan multi-komunitas (multy-community studies); - survei wilayah (regional survey); - analisa tingakat nasional (national-level analyses); - studi komparasi tingkat nasional (comparative multy-national studies); dan - studi teori dan metodologi secara umum (general theoritical and methodological studies).

Pada skala kecil tujuan studi antropologi perkotaan fokus utamanya: mengenai individu-individu di dalam sejarah kehidupannya, spesifikasi pada konteks masyarakat (seperti, marketplaces, gangs, shopping centers), unit-unit tempat tinggal, dan tempat kerja. (Kemper 1991b) Menurut Fox (1977), ada perbedaan tradisi dalam penelitian antropologi perkotaan dengan mempertahankan kontinuitas dengan antropologi tradisional dan metode-metodenya yang tidak memfokuskan pada perkotaan, tetapi ke dalam unit yang lebih kecil di dalam kota. Satu contoh, adalah antropologi mengenai kemiskinan kota (urban poverty). Kemudian Oscar Lewis memperkenalkan istilah “culture of poverty” (budaya kemiskinan), yang mana dipahami sebagai bentuk dari kehidupan yang muncul secara independen akibat hilangnya faktor ekonomi dan politik (Valentine 1968; Goode & Eames 1996).

Antropologi dan urbanisme

Urbanisasi antropologi (migrasi desa-kota) berdiri saling memotong di antara kota dan desa. Bidang ini spesial kuat berkembang dalam penelitian di Afrika oleh para antropolog Inggris, dan studi di Amerika Latin oleh peneliti dari Amerika. Di sini penekanan dalam skala luas tergantung dari pergerakan fisik penduduk desa ke kota-kota dan adaptasi populasi dari imigran terhadap lingkungan barunya difokuskan mengenai perubahan struktur sosial, hubungan interpersonal dan identitas kolektif di dalam kota (Abu-Lughod 1962) Kecenderungan dari urbanisasi menunjukkan, bahwa jumlah penduduk yang akan berurbanisasi akan bertambah di masa medatang. Untuk itu bidang antropologi kemungkinan akan memusatkan ke dalam antropologi perkotaan (Ansari & Nas 1983:6)

Anthropology in cities and anthropology of cities

Ada jarak di antara “antropolog yang melakukan riset dalam kota, tetapi tanpa banyak memahami konteks perkotaan; hanya menitik beratkan pada struktur kehidupan kota dan pengaruhnya dalam perilaku manusia atau silang budaya; dan mereka yang menitik beratkan pada perkembangan dari sistem internasional perkotaan melalui waktu dan ruang sebagai perbedaan wilayah sosial-budaya dan politik-ekonomi” (Kemper 1991b: 374). Antropologi perkotaan di tahun 1960-an dan 1970-an difokuskan pada issue khusus, sebagai contoh, migrasi, pertalian keluarga (kinship), kemiskinan, dan lain sebagainya. Di tahun 1980-an diperluas ketertarikan pada semua aspek dari kehidupan perkotaan (urban life). 

Di dalam prakteknya, antropologi perkotaan telah melebur pada bagian khusus dari geografi, ekologi, dan disiplin lainnya. Issue kontemporer dari antropologi perkotaan adalah: 
- Masalah perkotaan; 
- Migrasi desa-kota; 
- Adaptasi dan penyesuaian dari manusia dalam populasi lingkungan yang padat; 
- Efek dari penataan kota di atas pluralisme budaya dan stratifikasi sosial; 
- Hubungan sosial (social networks); 
- Fungsi dari paertalian keluarga; 
- Pertumbuhan dari kota; 
- Kejahatan (crime); 
- Perumahan (housing); 
- Arsitektur; 
- Transportasi; 
- Penggunaan dari ruang (use of space); 
- Pekerja (employment); 
- Infrastruktur; dan 
- Demografi/kependudukan.


Masyarakat kota sebagai community

Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri: 

1. berisi kelompok manusia; 
2. menempati suatu wilayah geografis; 
3. mengenal pembagian kerja ke dlam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung; 
4. memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka; 
5. para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan 
6. mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. 

Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community: 
Rural
Fringe (pinggiran);
Town; dan 
Metropolis. 

Sedangkan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) adalah: 1. pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas; 2. organisasi sosial lebih berdasarkan kelas sosial dari pada kekeluargaan; 3. lembaga pemerintah lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan; 4. suatu sistem perdagangan dan pertukangan; 5. mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi; dan 6. berteknologi yang rasional. Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya.

Kriteria kota dan definisinya

Kota dapat berupa town (kota kecil) dapat city (kota besar). Di Denmark, Swedia, Albania, dan Finlandia permukiman dengan 200 jiwa sudah disebut town; Di Argentina dan Kanada suatu tempat dengan 1.000 jiwa sudah disebut kota, sedangkan di Amerika Serikat, dan Meksiko 2.500 jiwa; Di Italia, Yunani, dan Spanyol untuk dapat digolongkan kota penduduknya paling sedikit 10.000 jiwa; dan Di Nederland dengan 20.000 jiwa, sedang di Indonesia menurut sensus 1971 juga 20.000 jiwa ditambah dengan beberapa syarat fasilitas lain. Contoh lain yang dikemukakan oleh Wilcox, daerah dengan jumlah penduduk 100 jiwa disebut community; 100 hingga 1.000 jiwa disebut village, dan 1.000 jiwa ke atas disebut city.

Perbedaan antara kota dan desa

PJM. Nas (1979) menjelaskan bahwa, 
(1). Kota bersifat besar dan memberikan gambaran yang jelas, sedangkan pedesaan itu kecil dan bercampur-baur, tanpa gambaran yang tegas; 
(2). Kota mengenal pembagian kerja yang luas, desa (pedalaman) tidak; 
(3). Struktur sosial di kota differensiasi yang luas, sedangkan di pedesaan relatif sederhana; 
(4). Individualitas memainkan peranan penting dalam kebudayaan kota, sedangkan di pedesaan hal ini kurang penting; di pedesaan orang menghayati hidupnya terutama dalam kelompok primer; dan 
(5). Kota mengarahkan gaya-hidup pada kemajuan, sedangkan pedesaan lebih berorientasi pada tradisi, dan cenderung pada konservatisme. 

Dunia Barat dalam Sosiologi Perkotaan membuat perincian objek studi sebagai pengkhususan: 
1. kemiskinan dan ketergantungan; 
2. salah adaptasi perorangan dan disorganisasi kepribadian; dan 
3. kenakalan remaja dan kejahatan. 

Untuk mempelajari itu semua dicakup tiga pokok sebagai berikut: 
1. persebaran keruangan dari gejala dan tempat tinggal para pelakunya; 
2. studi khusus terhadap para pelaku kejahatan untuk mengetahui jenis dan dalamnya motivasi; dan 
3. menstudi kejahatan yang diorganisasikan (termasuk parageng-nya).

Ciri-ciri struktur sosial kota

Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut: 
(a) heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; 
(b) hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; 
(c) kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; 
(d) toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; 
(e) mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; 
(f) ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; 
(g) Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan 
(h) segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.

Urbanisasi dan urbanisme

PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”. Konsep urbanisasi juga mencakup: pertumbuhan suatu permukiman menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan penduduk ke kota (dalam bentuk migrasi mutlak, atau ulang alik), atau kenaikan prosentase penduduk yang tinggi di kota. 
Istilah urbanisasi dalam garis besarnya mempunyai dua pengertian: pertama, urbanisasi berarti proses pengkotaan, yakni proses pengembangan atau mengkotanya suatu daerah (desa). Kedua, urbanisasi berarti perpindahan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota. Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. 

Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota. Dengan demikian erat kaitan antara proses urbanisasi dan sarana komunikasi serta transportasi modern telah menyebabkan terjadinya dua gejala: 
1. gejala peleburan kesatuan-kesatuan komuniti kecil menjadi kesatuan komuniti yang lebih besar; dan 2. gejala pe-massa-an masyarakat, sebagai ciri kebudayaan modern. 

Gejala pertama timbul karena daerah-daerah atau lingkungan masyarakat yang tadinya tertutup, terisolasi secara geografik maupun sosial-kultural, menjadi terbuka, sejalan dengan semakin meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi. Gejala kedua, pemassaan masyarakat terjadi karena dengan melalui sarana komunikasi dan tranportasi modern secara luas dan serentak dapat didistribusikan, dan diterima semua lapisan masyarakat, terlepas dari perbedaan kekayaan, pendidikan, dan tingkat sosial atau segi-segi lainnya. Proses urbanisasi tidak hanya proses difusi kebudayaan kota ke desa, tetapi juga terhadap masyarakat kota itu sendiri. Karena dalam kenyataan di kota-kota (termasuk kota besar) dalam negara-negara berkembang masih terdapat “desa-desa” di dalamnya.

Kingsley Davis, membedakan urbanization dari growth of cities: yang pertama menyatakan proporsi dari penduduk yang tinggal di kota. Dapat saja terjadi pertumbuhan di kota tanpa terjadi peningkatan urbanisasi. Proses urbanisasi terbatas, yaitu sampai tercapai seratus persen, sedang pertumbuhan kota berjalan tanpa ada batasnya. Di negara-negara yang maju urbanisasi menciptakan dua kelas masyarakat, yaitu proletariat kota (mereka yang gagal dalam social climbing), dan klas yang terdiri atas kaum lapisan sosial menengah (tukang dan pedagang). Di Inggris, urbanisasi berjalan berdampingan dengan industrialisasi. Di sini muncul tiga fenomena secara bersamaan, yaitu ekspansi penduduk, pertumbuhan kota, dan perubahan industri. Industrialisasi di Barat dalam abad ke-19 dan yang terjadi di Asia Tenggara mempunyai trend yang lain: di Barat pendorongnya adalah revolusi teknologi, sedang di Asia Tenggara keparahan krisis ekonomi di pedesaan yang agraris. 

Sosiolog Louis Wirth, mengatakan makin besar tempat tinggal, makin padat penduduknya, makin heterogen manusianya, maka makin menonjol karakteristik masyarakatnya. Di samping itu Louis Wirth juga menjelaskan:
(a) Urbanisasi menimbulkan inovasi, spesialisasi, diversitas, dan anonimitas. Kota dapat menciptakan cara hidup yang berbeda, disebutkan dengan istilah Urbanism; dan 
(b) Luas (size), kepadatan (density), dan heterogenitas (heteroginity) merupakan variabel bebas yang menentukan urbanisme, atau gaya hidup kota. Heterogenitas masyarakat kota mengakibatkan munculnya gejala depersonalisasi, lunturnya kepribadian orang, ia menjadi penting secara individual saja. Gejala ini dalam proses selanjutnya akan menuju impersonalitas dari masyarakat modern. 

Pada bagian lain, Georg Simmel mengupas impersonalitas dan melukiskan orang kota sebagai yang: (1) cenderung mencari privacy; 
(2) berhubungan dengan orang-orang lain hanya dalam peranan-peranan khusus saja; dan 
(3) menilai segalanya dengan standar uang. Selain menimbulkan klas baru, urbanisasi juga menciptakan gaya hidup (way of life) yang baru. 

Sedangkan Roe (1971), memandang gaya hidup kota modern memiliki tiga nivo kehidupan: 
(1) nivo kelompok primer yang akrab, ini terdapat dalam relasi orang dengan keluarga, teman dan tetangga; 
(2) nivo kelugasan kelompok sekunder, ini terdapat dalam relasi orang dengan teman-teman sekerja; dan 
(3) nivo kelompok berdasar peranan, ini bersifat anonim dan di situ terdapat interaksi misalnya, antara pribumi dan orang asing, si kaya dan si miskin.


Migrasi desa-kota dan pertumbuhan kota

Di Eropa, penduduk yang meninggalkan rumahnya untuk ke kota telah benar-benar pindah dari cara hidup desa ke tradisi perkotaan di mana mereka telah bermigrasi. Meninggalkan wilayah desa masuk ke kota yang terorganisir, terjadi setelah adanya faham dari luar, hal ini sebagai akibat dari kolonialisme Eropa. Dalam artikel “The Cultural Role of Cities,” 
Redfield & Singer mengatakan, istilah primary urbanization and secondary urbanization digunakan untuk membedakan antara: - perkembangan kota sebagai natural outgrowth (hasil alami) dari tradisi-tradisi yang menjadi bagian mereka (primary urbanization); serta - dan peradaban atau pra-peradaban masyarakat jelata (folk society) dari tradisi-tradisi perkotaan sebagai hasil pengaruh dari luar (secondary urbanization).

Cityward migration: the “push” factor

Bahwa yang permulaan mendiami kota, adalah kaum migran yang telah “ditekan” untuk meninggalkan tempat tinggal di desa atau kota-kecil, sebagai akibat dari faktor kesukaran ekonomi, dari pada “tarikan” oleh kesempatan kerja di kota. Beyond push and pull cityward migration as a multidimensional phenomenon. Meningkatnya urbanisasi di dunia dapat di analisis dari: 

1. tipe dari urban migration; dan 
2. kebudayaan, ekonomi, dan motivasi personal dari pergerakan penduduk. 

Variasi dari migrasi ke kota dapat dibagi menjadi beberapa kategori (Hackenberg & Wilson): 
- sedentary, pola pergerakan individu terutama dibatasi pada wilayah tempat tinggalnya, yang kadang-kadang mengunjungi lokasi-lokasi ritual dan seremonial; 
- circulatory, pola pergerakan individu dilakukan paling tidak sekali, atau beberapa kali, pada urban setting untuk periode yang panjang, tetapi mereka tetap tinggal di tempat komunitasnya; 
- oscillatory, mereka telah meninggalkan tempat asalnya untuk periode yang panjang dan kembali ke tempat asalnya, namun tidak menetap di tempat asalnya, karena sudah menetap di kota secara permanen; dan - linear, imigran benar-benar migrasi dari desa ke kota dengan pengertian mereka meninggalkan tempat asalnya dan tidak pernah kembali. Secara umum, bagi siapa yang meninggalkan tempat tinggalnya, adalah untuk mencari pekerjaan di kota mengikuti teman atau saudara dari tempat asalnya, tujuannya mendapatkan pekerjaan dan tempat untuk hidup. 
Kejahatan, sakit jiwa, dan permasalahan sosial: 
- nutrition and diabetes
- urban psychopathology
- juvenile delinquency (kejahatan remaja); 
- prostitution; dan 
- political corruption.

Kemiskinan di perkotaan

Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya (Oscar Lewis). 

Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin. Lalu apa penyebab kemiskin itu, kemudian di paparkan sebagai berikut: - kemiskinan yang bersifat kultural; 
- kemiskinan dan budaya dua-duanya terletak dalam lingkaran setan; dan 
- orang miskin dapat disosialisasikan pula di dalam budaya kemiskinan itu yang mewujudkan budaya yang dominan baginya. 

Kemudian ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan (Johnstone): 
a) Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunna perumahan liar mengikuti permainan ekonomi; 
b) Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; 
c) Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit; 
d) Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran perumahan untuk kaum ekonomi lemah; dan e) Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan bersama penghuninya.

Peradaban kota

Peradaban istilah terjemahan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Peradaban mewujudkan puncak-puncak dari kebudayaan (Huntington). Di samping hal itu, Franz Boas mengatakan, lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya materiil, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu. 

Antropolog Malinowski (1944), membedakan lagi budaya material dan yang spiritual: pertama, menyangkut adat-kebiasaan dan pranata kemasyarakatan; dan kedua, menyangkut berbagai harapan, nilai dan gagasan yang berlaku umum. 

Sejarawan Oswaldo Spengler, memandang kultur sebagai pertumbuhan jiwa manusia yang bermasyarakat, dalam makna yang serba asli, mengandung kehidupan dan bersifat mulia, kuat, dan kaya. Dia berusaha menarik garis yang jelas antara budaya dan peradaban: - budaya, yang dominan nilai spiritual, menekankan perkembangan individu di bidang mental dan moral. (Yunani kuno sebagai budaya); dan - peradaban: yang dominan nilai material, menekankan kesejahteraan fisik dan material. (Romawi kuno sebagai peradaban) Spengler menyebut Zivilization (peradaban) sebagai produk akhir di mana budaya di situ telah menjadi steril, suatu kondisi yang akhirnya akan dialami oleh semua budaya yang ada. Ini berbeda dengan pendapat Huntington, bahwa civilization adalah puncak-puncak dari kultur. Dalam tafsiran Spengler justru sebaliknya, yakni bahwa Zivilization adalah lebih rendah daripada kultur karena merupakan hasil dari pemerosotannya.
Sikap manusia terhadap kota
Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para localis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif.

Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya. 
Sehubungan dengan itu: Arsitek Frank Lloyd Wright, melukiskan manusia kota sebagai ternak goblok atau kelompok semut yang berputar-putar bingung mencari lubangnya. Filsuf abad ke-19 Emerson, memperingatkan bahwa kota menjadikan manusia semakin cerewet dan keranjingan hiburan serta iseng. Tokoh pembenci kota dalam sejarahnya adalah Jenghis Khan, selama hidupnya merasa diancam oleh kota, dalam rangka meluaskan kerajaannya, kota-kota di Asia banyak yang dihancurkan dengan sewenang-wenang. Dalam mengupas “pencinta kota”, F.L. Wright membagi manusia purba atas dua golongan: pertama, penghuni gua, ini seperti manusia kota sekarang; dan kedua, mereka yang berpindah-pindah, ini mirip petualang berasal dari pedesaan sekarang. Dengan adanya gejala urbanisasi yang melanda dunia sekarang ini para “pecinta kota” membela diri: kaum urbanis dengan sukarela meninggalkan desa karena mereka ingin terlepas dari cengkeraman kebodohan, dan sedikitnya kesempatan untuk maju.

Hal ini didukung pula oleh pendapat dari Paul Tillich, yang mengatakan bahwa justru dengan kehadiran mereka kita menjadi lebih menarik karena menawarkan hal-hal serba baru dan aneh. Arsitek Eliel Saarinen mengatakan, bagaimana pun, perkembangan fisik dan mental manusia banyak tergantung dari corak lingkungan tempat ia dibesarkan sejak bayi, dan bertempat tinggal serta bekerja sebagai orang dewasa.

Sumber Pustaka
Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Basham, R. 1978. Urban Antrophology: The Cross-Culture Study of Complex Societies. United States of America: Mayfield Publishing Company.
Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni.
Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Spreiregen, P. D. (1965). Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company.