Meletakkan Situs Majapahit Dalam Tataran Pelestarian Budaya


Meletakkan Situs Majapahit Dalam Tataran Pelestarian Budaya 
 
Kini kita hidup dalam suatu peradaban yang sangat menarik tetapi sekaligus membingungkan. Bagaimana tidak, sebuah peninggalan lama dengan sejarahnya di’hancurkan’ diganti dengan peradaban modern, yang lebih destruktif lagi ruang kota menjadi ajang pameran papan-papan reklame, hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau (RTH), dan lahan berubah fungsinya menjadi pusat-pusat pertokoan. Kenyataannya itu ditambah lagi dengan adanya ’perusakan’- pembangunan Pusat Informasi Majapahit- bekas ibu kota Majapahit di kawasan Trowulan. 

Yang konon katanya oleh sebagian arkeolog dikatakan tidak terjadi ’perusakan’ pada situs penting itu, atau bisa kita katakan memang telah terjadi ’archeology suicide’ (bunuh diri arkeologi). Sudah jelas, bahwa situs arkeologi-arsitektur perkotaan kuno Majapahit ini merupakan wakil dari citra kebudayaan dalam komunitas bangsa Indonesia. Di dalamnya terdapat bagian dari sejarah dan tradisi bekas ibu kota yang telah berlangsung sangat lama, dan ternyata dapat memberikan sumbangan besar pada tradisi-budaya, kearifan lokal, dan warisan arsitekturnya. Berbicara mengenai sejarah dan tradisi, seorang arsitek dari Jepang bernama Kurokawa (1988) mengatakan, bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai sejarah dan tradisi. 

Pertama, adalah sejarah yang dapat kita lihat seperti, bentuk arsitektur, elemen dekorasi, dan simbol-simbol yang telah ada pada kita. Kemudian yang kedua, adalah sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti, sikap, ide-ide, filosofi, kepercayaan, keindahan, dan pola kehidupan. 

Melihat hal tersebut, jelaslah bahwa masa lalu tradisi budaya situs Trowulan telah diungkapkan dengan keberadaan fisik peninggalan arkeologinya. Situs Segaran III dan IV yang merupakan situs permukiman kota kuno dan artefak masa Majapahit ikut menentukan dan memberikan ciri khas kawasan arsitektur perkotaan masa lalu. Kehidupan dan peninggalan masa lalu situs Majapahit menjadi bagian identitas dari bekas ibu kota kuno kerajaan yang telah menghasilkan warisan sosial-budaya yang sangat bermanfaat. Identitas peninggalan masa lalu ini terungkap dalam bentuk tatanan arkeologi kota kerajaan dan merupakan satu-satunya situs kota dan benda cagar budaya yang masih tersisa. 

Transformasi bentuk masa Jawa-Budha-Hindu diungkapkan dalam pola permukiman yang sangat luas. Tatanan ibu kota ini merupakan pusat kerajaan Hindu di Jawa dengan salah satu bentuknya adalah budaya material yang dihasilkan oleh kelanjutan proses akulturisasi antara budaya Hindu-India dengan budaya Jawa-Kuno. Dengan lain perkataan, konsep kosmologi yang diterapkan dalam penataan kota kerajaan Majapahit, tidak sepenuhnya murni India, melainkan dipengaruhi keruangan tradisional setempat. Oleh karena itu, bahwa tanpa adanya usaha mempertahankan bekas ibu kota kuno yang merupakan satu-satunya kota Hindu-Jawa ini dari usaha ’perusakan’, agar tidak kehilangan akar sejarah dan identitas pola tata ruang kota kuno masa lalu. 

Keprihatinan yang muncul akibat adanya protes dari masyarakat berkaitan dengan ’perusakan’ situs arsitektur dan perkotaan yang terjadi di bekas ibu kota Majapahit, ternyata juga telah terjadi di Kota Kyoto. Pada tahun 1992, warga Kota Kyoto dan organisasi keagamaan menolak rencana pemilik Kyoto Hotel menaikkan ketinggian bangunan dari 31 meter (8 lantai) menjadi 60 meter (16 lantai). Hal itu dilakukan, karena akan merusak lansekap dan peninggalan sejarah kota tersebut. Bahkan dua kuil besar di kota Kyoto, yaitu kuil Kinkaku-ji dan kuil Kiyomizudera memasang papan pengumuman di depan pintu masuk ke kuil tersebut. Isi dari pengumuman adalah, menolak para wisatawan yang menginap di Kyoto Hotel dan hotel-hotel lain yang mempunyai afiliasi untuk mengunjungi kedua kuil tersebut. Selain itu, pada kuil-kuil yang lain, dipasang papan-papan pengumuman yang bertuliskan: “kita menolak bangunan tinggi yang akan menghancurkan sejarah dan lansekap Kota Kyoto”. 

Perlu diketahui, sejak dulu bangunan-bangunan yang terdapat di pusat Kota Kyoto ketinggianya dibatasi, yaitu 45 meter. Sebuah protes yang dilakukan warga masyarakat sudah menjadi satu kesadaran, bahwa masyarakat telah ikut membantu kelancaran proses pelestarian kawasan bersejarahnya. Kaidah-kaidah dalam bentuk kesadaran melalui masyarakat dan para pemerhati pelestarian akan apa yang terjadi pada situs Majapahit perlu mendapat dukungan yang luas. Budaya masa lalu hasil rekonstruksi situs arkeologis ini, merupakan peradaban arsitektur perkotaan yang akan menjadi bagian dari sejarah Nusantara. Dengan terpeliharanya situs bersejarah ibu kota kuno Majapahit ini, tentu saja akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat, antara masa kini dan masa lalu. Namun sebaiknya campur tangan (intervensi) dari pemerintah, dilakukan hanya untuk melindungi dan juga memperbaiki tinggalan situs sejarahnya. 

Dengan tujuan utamanya adalah menjaga stabilitas perkembangan kawasan Trowulan, serta lingkungan masyarakat yang hidup di sekitar tinggalan situs tersebut. Tinggalan arkeologis bekas permukiman kawasan perkotaan, dapat digunakan sebagai data keruangan arsitektur masa lalu. Potret tinggalan arsitektur dan sejarah unsur kota Majapahit beserta artefaknya, adalah tinggalan arkeologis fisik dan ruang yang dapat dipakai sebagai ekspresi jatidiri bangsa. Kekayaan situs Majapahit adalah bagian dari budaya Nusantara merupakan aset bangsa yang tidak ada duanya di dunia. Arkeologi arsitektur situs ibu kota kuno ini menjadi kekayaan warisan arsitektur Nusantara -dalam memperkaya dunia arsitektur- melebihi ragam kota kuno sebelumnya. Untuk itu, dalam mempertahankan situs permukiman kota kuno Majapahit dari ’pengrusakan’, perlu segera dicegah, baik fisik-kesejarahan, arkeologi-arsitektur maupun keruangannya. Agar tempat ini dapat dijadikan sebagai pusat pengembangan budaya bangsa. Karena warisan budaya menjadi penting, dan bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah situs Majapahit tak mempunyai arti lagi.

Meletakkan Situs Majapahit Dalam Tataran Pelestarian Budaya VIDEO





Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan




Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan

Antariksa
Kota adalah wadah dan wajah masyarakat yang akan terus bertahan atau dipertahankan. Rumusan tersebut perlu adanya penegasan bahwa: - setiap kota pasti mempunyai sejarah; - di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan; - bagaimana kota itu mesti dibangun dan dikembangkan; - kegiatan perencanaan teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya). Dengan demikian perkembangan dan perubahan yang terjadi akan memberikan makna atau arti bagi kota itu sendiri. 

Perkembangan kota-kota telah terjadi dan pada akhirnya, memunculkan adanya dua teori: 1. Pertama, teori pemencaran (diffusionist theory) yang berpendapat bahwa gagasan pengembangan kota dipencarkan dari suatu wilayah peradaban atau kebudayaan ke wilayah lain di muka bumi ini. 
 2. Kedua, teori penemuan (inventionist theory) yang mengatakan bahwa gagasan pengembangan kota dapat saja timbul di suatu wilayah tertentu di muka bumi ini. 

Menurut Giedeon Syoberg (1965), pola ruang sirkular, telah lama ada, mencerminkan adanya pemusatan kekuasaan dalam masyarakat pra-industri sebagai panutan dan pengendali, yang secara spasial maupun secara sosial, merupakan pola pusat dan pinggiran (center dan periphery). Ini berarti bahwa puncak kekuasaan berada di tengah ruang kota, dan semakin jauh dari tengah kota semakin rendah, sedangkan tentang pola ruang kota berbentuk papan catur atau grid (grid-pattern). 

Oleh Stanislawski (1946) ditegaskan, bahwa pola ruang grid telah dikembangkan berikut landasan konsepnya dan dipakai pada kota Mohenjo Daro, bukan pada kota-kota pertama atau lebih tua, seperti di wilayah Mesopotamia dan di lembah Nil

Menurut Spiro Kostof (1992), ciri-ciri kota adalah suatu tempat, berkembang dalam kelompok, mempunyai batas keliling, mempunyai berbagai jenis lapangan kerja, membutuhkan sumber daya, tergantung pada tata tulis, membutuhkan wilayah pendukung, memerlukan identitas monumental, terdiri atas manusia dan bangunan. 

Namun menurut cara pandang sistem ruang kota atau permukiman terdapat empat unsur-unsur ruang yang saling berkaitan dan mendukung (Doxiadis 1968), yaitu 

1. unsur ruang pusat (central part); 
2. unsur ruang homogin (homogeneous part); 
3. unsur ruang khusus (special part); 
4. unsur jaringan sirkulasi (circulatory part). 

Hasil penelitian Sjoberg dan Stanislawski di atas, bisa mendasari asumsi berikut ini: Pada dasarnya kota-kota pra-industri di manapun mempunyai struktur dasar perkotaan yang sama, maka pengetahuan pembangunan kota dan patokan penataannya dapat dipinjam dapat dipinjam untuk pembangunan kota lain. Secara hipotetis kemudian dapat dikatakan bahwa segenap bentuk pengetahuan, konsep, dan patokan tata ruang kota yang dipinjam dari ‘orang lain’, dalam penerapannya bagi masyarakat ‘sendiri’ akan memerlukan penyesuaian-penyesuaian. 

Ada atau tidaknya pengaruh luar terhadap pertumbuhan kota
Pertama, penganut teori difusi (diffusion) atau penyebaran gagasan dan temuan teknologi (dispersionist atau diffusionist) dalam perkembangan kota
Kedua, penganut keyakinan akan adanya simpul-simpul komunitas di muka bumi ini yang secara mandiri memiliki akal unggul (inventionist) pendorong lahirnya kotakota dapat dilihat melalui dua golongan, yaitu golongan pertama, terjadinya kota merupakan regional. 
Namun lahir dan terjadinya sebuah gejala berantai, antar budaya dimuka bumi, berupa penyebaran. Pengembangan kota dipandang sebagai suatu cara untuk untuk mengatasi persoalan demografis dan geografis setempat. 
Golongan kedua, lahirnya suatu kota berdasarkan pemikiran atau penemuan masyarakat setempat, tanpa dipengaruhi faktor luar. Kelahiran kota disuatu wilayah dipandang sebagai peristiwa independen terhadap pengaruh luar.

Syarat utama kota praindustri 

Dalam pemikiran Syoberg (1960), ada tiga prasyarat utama untuk dapat lahir dan berkembangnya kota praindustri, yaitu 

1, adalah lingkungan ekologis yang mendukung

2, adalah teknologi, dan 

3, adalah organisasi yang memiliki struktur kekuasaan (power structure) nyata

Ketiga persyaratan di atas harus dipenuhi untuk melahirkan entitas komunitas yang disebut kota dapat dilihat melalui kerangka konsepsional kota praindustri

- lingkungan ekologis berupa lahan yang sesuai serta kondisi iklim yang cocok sangat diperlukan bagi kehidupan penduduk; dan 

- teknologi pertanian mendukung budidaya pertanian, mengatasi kebutuhan pergerakan manusia. 

Apa yang oleh Gordon Childe (1957), disebutkan sebagai “pekerjaan umum” (public works) meliputi prasarana perkotaan, seperti jalan, persediaan air (water supply) dan pematusan (drainage), kompleks permukiman dan bangunan-bangunan umum peribadatan, candi dan monumen-monumen. Organisasi sosial yang cukup maju sebagai wahana ekonomi dan politik. 

Definisi kota pra-industri menurut Spiro Kostof (1992) berkaitan dengan persoalan ruang, adalah: suatu tempat berkembang dalam kelompok, mempunyai batas keliling, mempunyai berbagai jenis lapangan kerja, membutuhkan sumberdaya, tergantung kepada tata tulis, membutuhkan wilayah pendukung, memerlukan identitas monumental, terdiri atas manusia dan bangunan. 

Batasan kota di atas lebih luas, dibanding rumusan sebelumnya yang diketengahkan oleh: Louis Wirth (1938); Gordon Childe (1957); Paul Wheatly (1975); Lewis Mumford (161); dan Giedeon Sjoberg (1965). 

Penelitian Giedeon Sjoberg (1965) dan Spiro Kostof (1992), memberikan rangkuman kesimpulan hipotetis yang lebih luas, di antaranya, yaitu bahwa kota-kota praindustri di mana saja, di Eropa, di India atau di Cina, mempunyai pola dasar keruangan yang sama, baik berkaitan dengan struktur sosial maupun struktur ekonomi, kecuali bagi unsur kota yang memiliki kandungan nilai budaya khusus. Adanya nilai budaya yang bersifat khas dalam masyarakat kota praindustri akan lahir pola kota yang khas pula.

Pola kota papan catur 

Pola kota papan catur yang populer disebut grid-iron pattern atau grid-pattern. Pola kota ini ditemukan, pertama kali digunakan sebagai pola kota Mohenjo Daro, wilayah sebelah barat India kuno (Stanislawski, 1946). 

Secara teoritis pemakaian pola ini didasari atas dua macam pertimbangan (Stanislawski, 1946): 

Pertama, adalah alasan efisiensi penggunaan ruang, berkaitan dengan anggapan bahwa bangunan pada umumnya berbentuk persegi (rectangular). 

Kedua, adalah alasan berkaitan dengan penyiapan jalan untuk keperluan barisan prosesi memanjang dan lurus (straight processional street). 

Dari Mohenjo Daro, pola kota ini menyebar ke berbagai wilayah, ke arah barat ke negara-negara Timur Tengah, seperti Yunani dan Romawi serta kemudian, ke negara Eropa lainnya, danke arah timur, meliputi bagian India lainnya, dan Cina. Penyebaran tersebut juga disertai segenap konsepsi, nilai manfaat strategis beserta persyaratannya

Selanjutnya, Stanislawski (1946) merumuskan beberapa butir pokok pola kota papan catur berikut ini: 

Pertama, pola kota papan catur dikembangkan sebagai bagian dari pemusatan kekuasaan yang mengendalikan segi-segi kehidupan masyarakat (centralized control), terutama kontrol pemanfaatan tanah. 

Kedua, pola kotakota yang baru dibangun sekaligus, dan tidak pernah untuk diterapkan dalam kasus pembangunan kembali (redevelopment) kota lama. 

Ketiga, pola papan catur dapat diterapkan dalam pembangunan kota-kota satelit atau kota berstatus koloni, seperti layaknya kotakota

Keempat, pola ini cocok untuk menyiapkan gubahan ruang kota yang menghendaki bagian-bagian ruang yang seragam bentuk dan ukurannya, terutama untuk bangunan gedung berbentuk rektangular. 

Kelima, agar pemanfaatan pola kota ini dapat memenuhi harapan, maka penguasaan konsepsi dan pengetahuan dibalik wujud fisik dan spasial pola kota papan catur dipergunakan hanya pada entitas induk dan anak permukiman adalah sangat penting.

Pola ruang kota berpusat dan melingkar 

Pola tengah dan lingkaran tepian kota (centered and circular pattern) sebenarnya merupakan gambaran sederhana tentang gejala keruangan kota memusat, yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomis, politis, dan budaya. Pada era praindustri, gejala keruangan kota juga bisa dikaitkan dengan fungsi pokok kota, seperti fungsi politik, ekonomi, agama, dan pendidikan. 

Pola sirkular, yang lahir kemudian merupakan upaya alternatif untuk menghindari pola ruang geometris yang cenderung kaku kurang individual, namun kemudian pemanfaatan pola sirkular untuk mewadahi pandangan kosmologis. Paham ini bahkan menempatkan penguasa atau raja pada kedudukan puncak pada pusat lingkaran pengaruh kuasa, yang dikenal dengan lingkar mandala

Konsep kosmologis dalam penataan kota atau permukiman selalu dikaitkan dengan agama dan kebudayaan Hindu, Budha, India, dan Cina. Tata ruang kosmologis merupakan bagian kelompok tata ruang simbolis dan menjadi utama dalam pengejawantahan nilai-nilai budaya. Dominasi faktor kuasa politis adalah penggerak utama lahirnya pola ruang memusat pada kota-kota praindustri, yang disebabkan oleh kedekatan (proximity) politis kelompok elit kuasa yang diterjemahkan ke dalam kedekatan spasial. Perkantoran, bangunan keagamaan dan tempat tinggal para pejabat dan kerabat kerajaan di sekitar istana atau kreton. Gejala sentralisasi ruang kotakota, pengaruh elitis ini semakin kecil praindustri sangat menonjol. Semakin jauh dari pusat

Sejarah perkotaan sebuah pembelajaran 

Kota besar seperti Roma dan London telah ada ribuan tahun, di era modern semenjak tahun 1800, telah menjadi bagian yang signifikan dari populasi total masyarakat yang berdiam di perkotaan. Pada tahun 1800, sekitar 3% dari populasi dunia tinggal di perkotaan, dari sekitar 5000 atau lebih; Di tahun 1900 proporsi tersebut meningkat menjadi 13,6%. Great Britain, membawa perhatian dunia, dengan urban proportion mencapai 80% di tahun 1921. Apakah dimaksudkan kota lebih menarik dalam masyarakat kita, dibanding pada periode awal sejarah? Apakah naiknya konsentrasi dari penduduk dimaksudkan bagaimana mereka berpikir dan bertindak? Di era modern, mengapa beberapa kota tumbuh dan menjadi makmur dan lainnya mandek atau menurun? Bagaimana kehidupan di metropolis, city, atau town berbeda dari kehidupan di village atau country?

Membangun kota di abad ke-20-an 

Kota dan modernisme 

a. Proses dari urbanisasi Perkembangan perkotaan di abad ke-20 ditandai dengan munculnya giant urban agglomeration, housing millions of residents, dan spread out an immense amount of space. Jumlah terbesar adalah di Asia (lima kota) dan Amerika Latin (empat kota), dipimpin oleh Tokyo-Yokohama dengn 27 juta, dan Mexico City dengan 21 juta. 

b. Bentuk urban Aglomerasi besar selalu berhubungan pada “city-regions”, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jane Jacobs. Aglomerasi ini termasuk keduanya, pusat kotakota. Bentuk dari city-region mempunyai karakter; - pada pusat kota lama; - konsentrasi yang sangat besar dari corporate towers; - dalam suburban; - kepadatan tempat tinggal rendah dan commercial sprawl; dan - pusat perbelanjaan sering kali di tengah. Sekarang dinamakan “Edges Cities”, “technoburbs”, yaitu merupakan:- kombinasi high-tech business, - dan beberapa fungsi-fungsi tempat tinggal serta komersial, - serta jauh dari pusat kota yang asli. 

City-regions umumnya bukan karena political, tetapi dibuat oleh lusinan pemerintah lokal yang berjuang dengan penuh semangat untuk mempertahankan independen dari pemerintah pusat,dan mereka bukan keseluruhan dari bagian unit sosial dan ekonomi yang sama. 

Ada empat karater dari American suburbanization

1. low residential density

2. high home ownership rate; 2. jarak yang tajam antara pusat kota yang relatif miskin dan wealthy suburbs; dan 

3. the long length of daily journey to work

c. Arsitektur modern 

Arsitek dan perencana berpengaruh terutama sekali dalam menetapkan bentuk kota di abad ke-20. Para modernis menolak penggunaan historical allusion dalam arsitektur, dalam prinsip desain yang berhubungan pada bentuk-bentuk industri “machine aesthetic”. Pengaruh dari Le Corbusier (1887~1968), yang menekankan purity of form dalam desain. 

d. Lansekap sosial 

Percampuran etnik dan ras di kota-kota besar Kanada secara dramatis telah berubah dalam lima tahun terakhir (British dan Franch di Montreal). Corak multikultural dari kota-kota besar tidak seperti kota-kota kecil, towns, dan countryside, yang membuat sangat kontras antara mereka dan metropolis. lama dan komunitas suburban yang baru, yang telah tumbuh jauh melewati batas

Persepsi budaya dalam urbanisme 


Persepsi kebudayaan dari kota-kota dapat digunakan pertama, untuk antropologi seperti ditegaskan oleh Clifford Geertz, The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktivitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah, masyarakat di perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di mana budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik.

a. Urbaniti sebagai sebuah budaya Lewis Mumford dalam The Culture of Cities (1938) melakukan pendekatan interdisipliner antara lain ahli filosofi, sejarah, kritik sastra, sosial, kritik arsitektur, dan perencana: 

1. Dalam pandangannya, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat. Kota……adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti; 

2. Kota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu; 

3. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways

4. Max Weber, dengan peran budaya terhadap kota dalam The City (1905), mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity) – wujud kosmopolitan dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah; 

5. Dalam Community Design and the Culture of Cities (1990), Eduardo Lozanourbanity sama seperti city dengan civilization. Argumentasinya, bahwa urbane community (komunitas yang berbudi) adalah salah satu yang menawarkan wargakota berbagai lifestyles – kesempatan untuk memilih, bertukar dan interaksi. Lozano percaya bahwa, bentuk ideal era sebelumnya dari sejarah perkotaan, seperti order (aturan) dan diversity (perbedaan), harus diintroduksi kembali ke dalam kota-kota yang berkharakter membosankan dan membingungkan. William Sharpe dan Leonard Wallock dalam Visions of the Modern City (1983), dalam pengantarnya menjelaskan bahwa, kota telah terlihat sedikitnya sebagai pemandangan sosial dan psikologi, keduanya memproduksi dan merefleksikan kesadaran modern; 

6. Contoh lain adalah issue spesial dalam Journal of Urban History berjudul “Cities as Cultural Arenas”. Beberapa tingkat dari urban self-perception menjelajah dari kota pencerahan (enlightenment) abad ke-18 ke idea kota “decomposition” di abad ke-20; 

7. Konsep provokatif dari urbanity yang menekankan perbedaan-perbedaan daripada komunitas (Thomas Bender). Bender percaya bahwa, notion dari komunitas bukan salah satu yang efektif dapat diterapkan pada pusat-pusat perkotaan yang besar, bila oleh komunitas dimaksudkan ikatan dari penduduk dari kesamaan ketertarikan dan nilai-nilai. Argumentasinya, bahwa notion of the city secara kolektif didasari oleh perbedaan daripada kesamaan. melihat

b. Seni sebagai budaya 

Hubungan antara kota-kota dan budaya dikembalikan pada asal dari kota itu sendiri. Penataan perkotaan memberikan kekayaan, kesenangan, dan konsentrasi dari penduduk yang kreatif memproduksi seni seperti di Renaissance Florence

1.Witold Rybezynski mengatakan “budaya telah menjadi industri besar di beberapa kota tua”. Kota-kota tetap pada lokasi dari budaya yang paling utama –museum, teater, auditorium, dan universitas, juga pabrik-pabrik dan beberapa kantor– ada pada suburbans. Mereka menjadi tujuan wisata karena daya tarik budayanya; 

2. Menurut Jon Caufield, beberapa lukisan terlihat “menangkap atau melambangkan aspek krusial dari pengertian kota baru”; 

3. Public art secara tradisional memberikan rasa pada kota sebagai dunia kolektif dan tempat berbagi. Selalu terdapat patung yang menyimbolkan figur-figur mitologi sebagai even yang penting bagi negara atau kota pada masa lalu. Modernisme cenderung untuk menghancurkan peran budaya dari public art dengan merusak gagasan dari ruang publik sebagai lahan bersama. Ahli perkotaan

c. Warisan sebagai budaya Bagian yang paling menonjol dari budaya kota-kota di Eropa adalah lingkungan binaan bersejarah. Di Amerika Utara, permukiman perkotaan selalu diberikan prioritas untuk tumbuh daripada mempertahankan masa lalu. Gertrude Stein menaksir kota-kota di wilayahnya merupakan tipikal dari perilaku modernis: New York, San Fransisco, dan Cleveland. Puncak pelanggaran terjadi di tahun 1960-an ketika beberapa bangunan di seluruh wilayah dihancurkan dengan alasan bahwa sudah lama bertahan dalam perjalanannya dan tidak dapat diselamatkan nilainya. Apa yang disebut dengan “paradigm shift”, yang juga terjadi di tahun 1960-an, yaitu wargakota dan para professional untuk melihat kota-kota dengan cara pandang baru. Sebagai contoh, Jane Jacobs dalam The Death and Life of Great America Cities (1961) mengatakan, praktek perencanaan konvensional dengan memberikan saran/usulan/anjuran bahwa resep atau ketentuan perencana untuk merevitalisasi kota-kota pada kenyataannya akan membunuh mereka sendiri. Sebagai contoh: - Di New York, lahan/tanah menjadi pertempuran hebat melawan real estate, yang memandang preservasi bangunan bersejarah sebagai pelanggaran dari properti (milik) mereka. - Penghancuran stasiun Pensylvania di tahun 1963, walaupun secara luas dikampanyekan untuk dilindungi, surat kabar New York Times mengutuk hal itu sebagai “monumental act of vandalism…..

Sumber Pustaka

Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.

Catanese, A. J. & J. C. Snyder. 1989. Perencanaan Kota. Eds. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni.

Evers, H.-D. & R. Korff 2002. Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gallion, A. B. & S. Eisner 1992. Pengantar Perancangan Kota. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Hermanislamet, B. 1999. Tata Ruang Kota Majapahit, Analisis Keruangan Pusat Kerajaan Hindu Jawa Abad XIV di Trowulan Jawa Timur. Disertasi, Tidak dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Lynch, K. (1987). Good City Form. Cambridge: The MIT Press.

Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar sosiologi kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Peresthu, A. 2004. Globalisasi dan Transformasi Urban. Network: ALFA-Ibis Research

Spreiregen, P. D. 1965. Urban Design: The Architecture of Towns and Cities. New York: McGraw-Hill Book Company.

Stelter, G.A. 1996. Introduction to the Study of Urban History, Part I General Concept and Sources. University of Guelph 49 -464 Reading a Community, pp. 1-7.

Yunus, H. S. 2004. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peradaban Dalam Sejarah Perkotaan VIDEO






Beberapa Pemikiran Dalam Desain Arsitektur




Beberapa Pemikiran Dalam Desain Arsitektur

Antariksa Pemikiran-pemikiran dalam desain arsitektur telah berkembang menjadi doktrin-doktrin yang banyak digunakan dalam merancang bangunan. Proses ini menjadi bagian dari perkembangan pemikiran arsitektur Barat yang banyak diserap dan digunakan dalam merancang bangunan, tentu saja dengan kelebihan dan kekurangannya. Kemudian Jones (1970) merangkum baik kelebihan dan kekurangan pendekatan terhadap desain ini dalam sebuah penggambaran proses tersebut sebagai “desain dengan cara gambar”. Jika seorang desainer tidak bena-benar membuat sebuah objek, maka ia harus merepresentasikan dengan cara lain. Hingga sejauh ini cara yang paling umum dan berpengaruh untuk mempresentasikan sebuah desain adalah gambar (Lawson 2007:27). 

Namun dari sisi pemikiran yang lain, seorang filsuf Inggris yang ternama, Ryle (1949) menyatakan bahwa “Pemikiran adalah permasalahan latihan (drills) dan keahlian (skills),” dan kemudian seorang Psikolog Barlett (1958) menyatakan juga bahwa “kegiatan berpikir harus dianggap sebagai keahlian kompleks dan tingkat tinggi.” Pesan-pesan penulis tersebut di atas oleh Edward de Bono (1968) dirangkum menjadi “Pada dasarnya, lebih penting bagi kita untuk menjadi ahli dalam berpikir ketimbang kita dijejali dengan fakta-fakta (Lawson 2007:11). 

Secara nalar, alternatif dalam desain dapat dilakukan dengan model berpikir sadar-diri dan introspektif yang dituntut oleh proyek yang mereka kerjakan ke pendekatan tidak-sadar-diri, berbasis-aksi yang alami. Perubahan peran desainer pun ditawarkan oleh Alexander (1964), bahwa pendekatan desain tak sadar berbasis-kriya (craft) harus mengalah pada proses profesionalisasi sadar-diri ketika masyarakat mengalami perubahan yang mendadak dan pesat yang secara budaya tidak dapat diulang kembali (Lawson 2007:25). Akhir-akhir ini arsitek-perancang bergantung hampir sepenuhnya pada metode intuitif, dan kemampuan desain secara luas dianggap sebagai bakat dan sering tidak dapat diajarkan. Pemikiran-pemikian yang konseptualistik pun diberikan dengan ide-ide yang terkadang terlalu idealis antara pemikiran barat dan kearifan local yang tradisionalistik menjadi sebuah permainan arsitektur dalam desain rancangan.

Bahkan sekolah Beaux Arts yang sangat berpengaruh menganggap bahwa serangkaian faktor paling penting yang menyebabkan sifat dasar situasi desain adalah faktor yang diasosiasikan dengan hasil akhir atau produk akhir. Di bawah sistem seperti ini, siswa diperkenalkan dengan skema atau projek yang mereka bawa kembali ke studio untuk dikerjakan, dan mereka hanya akan menghubungi tutor mereka dengan serius ketika mereka telah menyelesaikan gambar akhir yang nantinya dikritisi oleh para juri (Lawson 2007:2). Pada akhirnya, berbagai pendapat pun muncul dan salah satunya datang dari Karl Marx dalam Das Kapital mengatakan seekor lebah membuat malu banyak arsitek pada saat ia mengonstruksi sarangnya tetapi yang membedakan arsitek terburuk dengan lebah terbaik adalah sebagai berikut: arsitek membangun strukturnya dalam imajinasi sebelum ia mendirikannya. Pada akhir setiap proses kerja kita mendapatkan hasil yang telah ada dalam imajinasi si pekerja sejak awal (Lawson 2007:2). Dengan demikian, proses imajinasi tersebut terjadi sejak awal dan di tetapkan oleh arsitek, dalam proses perencanaan maupun perancangannya. Imajinasi dengan konsep yang terstruktur maupun intuitif akhirnya juga menjadi bagian dari tahapan berarsitektur. Dengan cara pandang dan pendekatan pemikiran teoritik dan intuitif dipadukan dalam konsep rancangan dalam dua demensi menjadi tiga demensi.

Dalam pemikiran van Peursen (1976) yang dijelaskan dalam Strategi Kebudayaan dapat mengikhtisarkan sikap fungsional dengan satu kata. Yang dipentingkan dalam pikiran mitis ialah “itu ada”, dalam sikap ontologisme “apa itu”, sedangkan dalam pandangan fungsionalis ditanyakan “bagaimana itu ada?”. Apakah pemikiran tersebut juga menjadi bagian yang dapat diterjemahkan dalam pendekatan bahkan pemikiran arsitektur? Hal tersebut dijawab oleh Friederich Nietzsche dengan mengatakan, dunia ini adalah sebuah karya seni yang senantiasa diciptakan kembali. Tetapi, semua ini hanyalah ilusi, tidak lebih tidak kurang. Seluruh kemegahan “karya seni” menciptakan dirinya sendiri: dari diri dan untuk diri. Secara estetis merupakan inovasi yang sangat maju. Ia dianggap sebagai pendiri konsep “aesthetic metacritique” yang melihat “karya seni” sebagai dasar dari kemungkinan kebenaran (Grenz 2001:144). Seperti doktrin mistikal Plato tentang bentuk, dampak yang terjadi kemudian adalah pengikisan nilai (devaluasi) aktivitas seni dan penulisan oleh usaha terus menerus menggapai metafisika kehadiran, keterpisahan mereka dari sumber yang mengakibatkan mereka harus selalu bermain dalam imitasi-imitasi palsu (Noris 2003:81).

Pemikiran fungsionalis 

Akan tetapi, dengan pemikiran fungsionalis, tidak berdiri sendiri, tetapi justru dalam suatu hubungan tertentu memperoleh arti dan maknanya. Dengan demikian pemikiran fungsionalis akan menyangkut hubungan, pertatutan dan relasi (van Peursen 1976:85). Istilah “fungsionalis” lalu dapat dijadikan sarana untuk meringkas dan menjelaskan sejumlah gejala modern. Gejala itu juga nampak dalam seni bangunan; bukan gedung sendiri menjadi tujuan, seperti dalam pandangan substansialistis, melainkan “komposisi ruang”, seperti misalnya diperbuat oleh M. Breuer, yang antara lain merencanakan gedung Supermarket di Rotterdam. Menurut van Peursen (1976:95) sebenarnya gedung tersebut ingin memperlihatkan, bagaimana manusia bekerja dan berfungsi di dalamnya, mencetuskan arti kehidupan manusia di dalam gedung itu dan sekitarnya. Karena terlalu memikirkan fungsi, banyak arsitek modern menyingkirkan dimensi tersebut. Justru karena terlalu berfokus kepada fungsi (utility), karya seni modern hanya merupakan sebuah teknik membangun tanpa nuansa artistik. Dimensi artistik telah lenyap dari karya seni modern. Padahal sebuah struktur bangunan memerlukan dimensi artistik agar dapat menyampaikan suatu kisah atau melambangkan suatu dunia imajiner (Grenz 2001:41). Dalam pandangan arsitek sekarang fungsi masih berperan meskipun permainan bentuk yang estetis menjadi ciri di setiap periode.

Arsitektur yang memiliki kualitas kehidupan adalah arsitektur yang mempunyai kebranian untuk mengakui dimensi spiritual dan transcendental manusia. Dua arsitek yang menonjolkan dalam abad ke-20, orang yang menempatkan kehidupan di pusat visi mereka dan berencana memenuhi persyaratan-persyaratan untuk kehidupan manusia yang bersinar, pada paruh pertama abad itu, adalah Frank Lloyd Wright dan, pada paruh kedua, Paolo Soleri. Sementara Wright merancang rumah-rumah individu yang sangat indah yang dipadukan secara organis dengan lingkungannya, Soleri telah merancang seluruh kota, yang disebut “Arkologi” (suatu gabungan arsitektur dengan ekologi), yang memenuhi tantangan era industrial dengan mencoba memadukan manusia dengan alam dengan cara baru. (Skolimowski 2004:135)

Imajinasi dan kreatif 

Inventifitas diperlukan untuk mencapai perombakan dalam pandangan, tidak untuk memusnahkan sesuatu, melainkan untuk mencapai suatu pembaharuan yang menyelamatkan. Inventifitas berarti kaya akal, cerdas yang dapat memuncak menjadi “kreativitas”. Di sini inventifitas sungguh menciptakan sesuatu yang baru. Menurut A. Koestler bila seseorang karena fantasinya yang kreatif dan karena jalan pikirannya yang inventif dapat memasukkan unsur yang sama ke dalam dua sistem yang berlainan, maka unsur tersebut seolah-olah memperoleh sebuah dimensi yang lebih luas, sehingga dapat dipandang dari berbagai sudut dan ini mendekatkan kita pada pemecahan persoalan tersebut. Seperti prinsip arsitektur postmodern adalah semua arsitektur bersifat simbolik. Semua bangunan, termasuk bangunan modern, sebenarnya sedang berbahasa dengan bahasa tertentu. Mereka ingin agar bidang arsitektur tidak terperangkap oleh pertanyaan “apa fungsinya? Arsitektur harus kembali berperan untuk menciptakan “bangunan-bangunan yang kreatif dan imajinatif” (Grenz 2001:41). Menurut Lawson (2007:2), hal ini disebabkan karena arsitektur adalah salah satu bidang yang ditempatkan di tengah-tengah yang matematis dan imajinatif. Sebagai ilustrasi dapat menjelaskan hal ini lebih visual lagi. Seorang arsitek, F. van Klingeren, diberi tugas merencanakan bagian pusat dalam sebuah kota; nah, unsur ini, perencanaan berlainan sama sekali. Sang arsitek melihat sebuah lukisan karya Paul Klee. Lukisan tersebut dipandangnya sebagai sebuah peta kota, dikaitkan dengan masalah yang sedang direncanakannya dan ilham ini berkembang menjadi maket pusat kota Lelystad. (van Peursen 1976:153) Memandang yang lama dengan cara yang baru, itu berarti mempertajam inventifitasnya. Kita tidak menambahkan sesuatu kepada pengetahuan kita yang lama, tetapi seluruh persoalan diberi bentuk baru, dilihat dalam kaitan yang baru.

Para arsitek modern mengembangkan gaya yang terkenal dengan International Style (gaya internasional). Arsitek mencari bentuk sederhana yang dapat menyampaikan sebuah makna tunggal. Cara yang digunakan adalah “repetisi” (pengulangan). Karena mereka juga hendak sempurna dalam geometri, bangunan-bangunannya menyerupai model “dunia lain” (Grenz 2001:39). Geometri bertolak dari konsepsi-konsepsi tertentu, seperti “bidang”, “titik”, dan “garis lurus”, yang kurang-lebih dapat kita hubungkan dengan gagasan-gagasan yang sudah mapan. Geometri juga bertolak dari dalil-dalil sederhana (aksioma) yang melulu karena gagasan-gagasan itu pasti, cenderung kita terima sebagai “benar”. Atau sering disebut sebagai geometri Euklidesan (Einstein 2005:3-4). Dalam studinya tentang “geometri lingkungan” March & Steadman (1974) menjelajahi berbagai penerapan matematika untuk menggambarkan penataan ruang dalam desain. Buku mereka menunjukkan bagaimana geometri dapat digunakan untuk memahami baik hubungan formal abstrak maupun konkret. Cabang-cabang matematika seperti topologi dan aljabar Boolean dapat dipakai pada hubungan-hubungan yang eksis secara terpisah dari ruang tiga demensi. Sementara itu, ilmu geometri yang lebih konvensional dapat digunakan untuk mempelajari transformasi fisik seperti refleksi atau rotasi (Lawson 2007:207). Geometri seharusnya menghindari cara semacam itu agar bangunannya memperoleh kesatuan logis seluas mungkin (Einstein 2005:4-5). Penegasan ini juga dilakukan oleh March & Steadman (1974) dengan menunjukkan bagaimana batasan formal yang ditarik dari prinsip geometri dapat memiliki signifikansi intelektual dan praktis dalam desain (Lawson 2007:208).

Demikian pula, dunia gejala-gejala fisika yang dengan singkat disebut “dunia” (world) oleh Minkowski secara alami adalah empat-dimensi dalam pengertian ruang waktu. “Dunia” ini terdiri atas peristiwa-peristiwa tersendiri, yang masing-masing dideskrepsikan dengan empat bilangan, yakni tiga kordinat ruang x, y, z dan satu kordinat waktu, nilai-waktu t (Einstein 2005:65). Namun menurut Einstein (2005:166) pemikiran di atas ditentang oleh Descartes, yang mengemukakan alasan kira-kira begini: ruang itu identik dengan perluasan, tetapi perluasan terhubung dengan benda-benda; dengan demikian, tidak ada ruang tanpa benda-benda dan karena itu tidak ada ruang hampa.

Pemikiran dalam postmodernisme 

Pada dasarnya Grenz (2001:200) menjelaskan, bahwa sebenarnya ada tiga tokoh yang menonjol sebagai pemikir postmodernisme, yaitu Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty. Mereka bertiga adalah trio nabi postmodernisme, kadang-kadang bernyanyi bersama dengan harmonis, tetapi lebih sering menghasilkan musik yang tidak harmonis yang merupakan ciri postmodern. Postmodernisme tidak mempunyai dunia pemikiran. Intinya adalah penolakan adanya realitas yang utuh sebagai objek dari persepsi kita. Postmodern menolak usaha untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal. Secara khusus, era postmodern menandai berakhirnya konsep “universe” – berakhirnya cara pandang yang total dan utuh (Grenz 2001:68). Dalam beberapa contoh misalnya, arsitektur postmodern sengaja memberikan ornament (hiasan). Ini merupakan lawan dari arsitektur modern yang membuang segala hiasan-hiasan yang tidak perlu. Ditekankan kembali oleh Grenz (2001:40) bahwa arsitektur postmodern menggunakan beberapa teknik gaya seni tradisionil, sedangkan arsitektur modern membuang segala gaya dan teknik seni tradisionil. Hal itu juga ditegaskan oleh Umberto Eco (2004:375) bahwa elemen-elemen ini tidak memiliki fungsi struktural: elemen-elemen tersebut tidak menyokong apa pun. Elemen-elemen tersebut murni dibubuhkan sebagai perhiasan, seraya berlagak memiliki fungsi. Di dalam kasus-kasus tertentu, bahkan terjadi pembunuhan arsitektur. Hanyalah style-nyalah yang diberi kesempatan hidup.

Oleh karena itu, Jones (1970) menegaskan: “mendesain bukan lagi sekedar meningkatkan stabilitas dunia buatan manusia: mendesain berarti mengubah, secara lebih baik atau lebih buruk, hal-hal yang menentukan arah perkembangannya” (Lawson 2007:125). Demikian arsitektur bertutur untuk menjawab dimensi keruangan alam semesta ini. Perjalanan pemahaman dan pemikiran telah berlangsung lama dalam merancang lingkungan maupun bangunan. Pemikiran dan teori berkonsultasi menjadi sebuah konsep yang harus diimplementasikan dalam sebuah rancangan. Nuansa pendekatan akademis dan intuitif menjadi sebuah komponen dalam perjalanan ‘berarsitektur’, kapan harus dimulai dan kapan harus diakhiri.

Sumber Pustaka

Eco, U. 2004. Tamasya Dalam Hiperealitas. Yogyakarta: Jalasutra.

Einstein, A. 2005. Relativitas: Teori Khusus dan Umum. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Grenz, S. J. 2001. A Primer on Postmodernism, Pengantar untuk Memahami Postmodernisme. Yogyakarta: Yayasan ANDI.

Lawson, B. 2007. Bagaimana Cara Berpikir Desainer (How Designer Think). Yogyakarta: Jalasutra.

Noris, C. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jaques Derrida. Jogjakarta: Penerbit Ar-Ruzz.

Skolimowski, H. 2004. Filsafat Lingkungan. Yogyakarta: Bentang.

Van Peursen, C. A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Beberapa Pemikiran Dalam Desain Arsitektur VIDEO






Tragedi Arsitektur Menjual Mimpi


Tragedi Arsitektur Menjual Mimpi 

KALAU mengutip teori dari arsitek dan budayawan almarhum YB Mangunwijaya, bahwa arsitektur adalah cermin sikap hidup, bagaimana wajah arsitektur di kompleks-kompleks perumahan yang dipasarkan oleh para pengembang bermodal besar saat ini?

"Para arsitek postmodernis mengatakan itu arsitektur Christmas Cake," ujar Sonny Sutanto M Arch dari Arsitek Muda Indonesia. Bentuk arsitektur ini merupakan potongan, bahkan serpihan, yang tidak punya makna apa-apa. Hanya, Fun, sweet and nice.

Yori Antar, juga dari AMI, menyebutkannya sebagai arsitektur balada, arsitektur seolah-olah, arsitektur tanpa akar. "Bukannya masyarakat kita suka dengan semua yang serba seolah-olah, yang semu, artifisial, dan enggan melihat kenyataan?" ujar Yori.

Arsitek yang mendalami Ilmu Filsafat pada Sekolah Tinggi Driyarkara, Hasan Halim, mengatakan, gaya arsitektur yang belakangan dibangun oleh banyak perusahaan real estat adalah gaya arsitektur Disneyland. Kawasan itu lantas menjadi theme park.

Masyarakat konsumen yang tinggal di dalam theme park seolah-olah hidup di Paris, Wina, Amsterdam dan kota-kota lain di dunia; mereka tinggal di dalam bangunan Romawi seolah-olah mendiami istana kaisar.

Mengutip Baudrillard dalam Hystericising the Millennium (1992) Halim mengatakan, Walt Disney merintis suatu dunia "konyol" yang menampilkan bentuk-bentuk lama dan sekarang, mozaik dari semua kebudayaan... semua dibekukan dalam bentuk keceriaan yang definitif; dibekukan seperti Walt Disney sendiri dibekukan dalam cairan nitrogen: dunia ajaib, gothic, Hollywood-semua masa lalu dan masa depan dalam simulasi.

Masyarakat konsumen kemudian hidup dalam dunia virtual yang disebut hyper-real. Mereka tinggal di lingkungan hiper-arsitektur; suatu campuran masa lalu dan masa kini, yang mengingkari tempat dan sejarah. Seperti astronot tersesat di angkasa luar, hiper-arsitektur tersesat dalam sejarah.

Ketua Masyarakat Lingkungan Binaan, Marco Kusumawijaya, menambahkan, itu bukan hanya sekadar arsitektur atau gaya Disneyland. Mungkin modus operandi Disneyland lebih tepat karena semuanya mengadaptasi sindrom yang sama: pihak penjual harus selalu menemukan sesuatu yang baru agar dapat terus bertahan dari waktu ke waktu.

Mereka memasang iklan dengan rayuan akan kesenangan dan kebahagiaan yang dalam bahasa pemasaran disebut gimmick. "Karena masyarakat konsumeris merasa wajib untuk menjadi bahagia, senang, menarik, bersemangat dinamis dan bergairah," sambung Halim, kembali mengutip Baudrillard.

"Suatu dreamland seperti Disneyland dan Taman Impian Jaya Ancol, misalnya, pun demikian, karena pengunjung biasanya datang untuk melihat atraksi baru tertentu sampai atraksi berikutnya lahir," lanjut Marco.

Mungkin itu sebabnya Yori melihat banyak pemilik kembali menjual rumahnya setelah menempati selama beberapa saat, karena merasa rumah tersebut tidak lagi memenuhi seleranya lagi.

Seperti dipaparkan tenaga pemasaran di sebuah kompleks peristirahatan di Puncak yang menggunakan tema-tema kota dunia itu, "Banyak yang menjual vilanya di kompleks A dan membeli di kompleks kami."

***

GEJALA bahwa rumah bukan lagi merupakan suatu kebutuhan barang sosial yang profan, menurut Marco, terjadi pada paruh kedua tahun 1990-an. "Rumah lebih menjadi komoditas untuk investasi atau aksesori secara berlebihan," ujarnya.

Gejala ini ditangkap oleh pengusaha pengembang perumahan bermodal besar, yang selalu menjadi "dewa" dalam mengatur budaya dan psikologi berarsitektur masyarakat Indonesia.

Seperti dijelaskan Ridwan Kamil, anggota Arsitek Muda Indonesia yang tengah melanjutkan studinya di University California of Berkeley, AS, istilah form follows finance bisa dijadikan ilustrasi sederhana bagaimana arsitektur dan permukiman di Indonesia dirancang oleh kekuatan kapital ketimbang lahir dari desain yang kritis.

Masalah mendidik klien yang menjadi tugas berat para arsitek pada kenyataannya, menurut pengamatan Ridwan Kamil, lebih banyak diatur ketimbang mengatur pola pikir pengembang atau pembangun perumahan. Arsitek akhirnya menjadi orang yang tidak merdeka.

Ini membuat tidak adanya perlawanan ideologis maupun kosmologis terhadap apa yang dipaksakan pengembang-yang acapkali menyewa konsultan dari luar negeri-sehingga dengan mudah terjadi marginalisasi tempat dan pencaplokan tempat ke dalam kapitalisme.

"Yang relevan dengan kasus kita adalah pencaplokan tempat ke dalam kapitalisme," kata Marco. "Perusahaan-perusahaan trans-nasional juga mempunyai kepentingan untuk membuat dirinya familiar atau domestik demi kepentingan pemsaran, tetapi tidak harus bertanggung jawab terhadap masyarakat."

Mereka, lanjut Marco, juga berkepentingan mempromosikan "tempat" sebagai ideologi (Disneyland, Kota Wisata, Kota Bunga, Legenda Wisata dan lain-lain), sementara masyarakat yang tidak kritis segera membahasakan dirinya sedemikian rupa supaya dianggap sejalan dengan kapital.

Kalau kemudian yang muncul adalah arsitektur-arsitektur tanpa akar, barangkali di satu sudut tercakup konsep fetishism (pemujaan) seperti dikemukakan Marco. Membeli tidak ada hubungannya dengan nilai guna, yang oleh Marx disebut sebagai fetisisme komoditas, karena obyek dimuati makna-makna yang memberi status kepada individu yang memiliki atau memakainya.

"Garis atau bentuk rumah Venesia, atau London atau Victoria atau apa saja, di tempat asalnya dimengerti mendalam karena ada sejarah dan maknanya," lanjut Marco, Ketika dipindahan ke sini tentu kehilangan maknanya, menjadi fetish saja."

Dalam pandangan Andra Matin juga dari Arsitek Muda Indonesia (AMI), daripada memilih arsitektur dengan tema-tema tempat seperti Monaco, Kyoto, Praha, Paris, dan seterusnya, mengapa tidak memakai nama arsitek saja sebagai "label" seperti yang dilakukan di Nexus Houses di Fukuoka, Jepang, dan di Bumi Kahuripan, Parung, Jawa Barat, sebelum krismon menghantam Indonesia. Dengan cara ini, para arsitek sebagai perancang bangunan bisa dituntut tanggung jawabnya.

***

LALU apakah gaya arsitektur luar tidak boleh diadaptasi?

"Coba lihat bagaimana para arsitek Belanda mengadaptasi arsitektur tradisional kita ke dalam arsitektur-arsitektur bangunan yang dibuat Belanda di Indonesia," ujar Ir Hilman Asnar dari PT Hilman dan Mitra. Hal yang sama juga dikemukakan Yori Antar dan Marco Kusumawijaya.

"Tiap arsitek boleh saja membawa kekhasannya masing-masing, tetapi disesuaikan dengan lingkungan di mana desain itu dibuat. Lepas dari suka atau tidak suka, tetapi Paul Rudolph dari Amerika sangat memperhatikan keadaan lingkungan yang beriklim tropis ketika mendesain gedung Wisma Dharmala," kata Andra.

"Rancangan arsitektur dari luar sekarang hanya diambil tempelannya, sistem estetikanya tidak dikembangkan dengan baik," sambung Andy Siswanto MArch. "Dengan begitu, kita tidak akan menemui seperti arsitektur Belanda yang mengadaptasi nilai-nilai arsitektur tradisional kita saat ini, karena arsitektur tradisional tidak banyak dieksplorasi lagi."

Van der Wall dalam Oude Hollandsche Bouwkunst in Indonesie (1947) mengklasifikasikan arsitektur "Belanda-Indonesia" sebagai refleksi perpaduan idiom-idiom arsitektur Eropa dengan nilai-nilai arsitektur tradisional lokal. Tanda yang paling khas adalah bentuk atap piramida yang tinggi agar arus udara mengalir dengan lancar. Kemudian beranda yang luas pada bagian depan dan samping rumah.

"Di rumah-rumah Belanda kita juga menjumpai lubang seperti jendela di bagian bawah rumah agar udara dingin masuk dari bawah naik ke atas, sehingga udara di dalam rumah tidak panas," ujar Hilman.

Kita bisa belajar dari arsitektur luar. Romo Mangun, menurut Andy Siswanto, pernah mengajak menjelajah dan belajar serius dari peradaban arsitektur besar seperti meneladani arsitektur besar India yang intinya adalah pembebasan diri dari dunia maya.

Juga bagaimana belajar dari arsitektur Barat dan filsafatnya yang bersumber pada pemikiran Hegelian penuh drama dialektika pergulatan ruang hampa dan gatra masif, antara kebekuan statika dan gelora dinamika, antara simetri dan asimetri dan seterusnya yang semua ini berakar pada sikap Barat terhadap materi atau tepatnya fenomen.

Lalu arsitektur Yunani yang merumuskan arsitektur sebagai archetektoon dan selalu mencari hakikat secara rasional yang oleh Romo Mangun dilacak pengaruhnya sejak zaman purba sampai ke era modernisme: teknologi tinggi, bersih dan iklim citra logika bening dan matematika eksak.

Juga hikmah dari Jepang berupa kepolosan, kesederhanaan, permainan garis-garis lurus dan bidang-bidang murni yang lembut dengan penataan ruang transparan terhadap alam yang direplikasi dalam miniatur taman-taman Jepang yang berjiwa Shinto dan Buddhisme Zen.

Namun, semua ini membutuhkan perjalanan yang jauh lebih reflektif, tidak sekadar merancang. Lebih jauh, selain menolak determinisme ekonomi dalam arsitektur, Romo Mangun menggugah pentingnya pencarian citra, dalam arti arsitektur harus bermakna, memiliki kesejatian, laras terhadap ekologi dan mampu memberi kontribusi pada pembangunan kosmos yang teratur dan harmonis.

Akan tetapi, semua yang dikatakan Romo Mangun hanya bisa dilakukan oleh arsitek yang merdeka, yang geraknya tidak dibatasi dunia di luar dirinya, yang pikirannya senantiasa dipenuhi pertanyaan kritis, serta penuh imajinasi untuk mampu menyerap kejadian dan rasa.

Kalau itu tidak terjadi, secara ontologis akan dijumpai paradoks peradaban manusia: kehidupan baru atau kemajuan hanya diperoleh setelah kehancuran. Apakah sekarang ini merupakan puncak kehancuran arsitektur di Indonesia, atau baru proses menuju kehancuran?

Tragedi Arsitektur Menjual Mimpi VIDEO






Menjadi Modern




Menjadi Modern 

 MELANGKAHKAN kaki di ruang pamer Erasmus Huis sambil menatap panel-panel yang menampilkan sejumlah gambar bangunan karya arsitek muda Belanda, pengunjung akan melihat wajah Belanda yang modern. Di ruang yang hening itu, boleh dikata tak akan ditemukan gambar bangunan berlekuk klasik. Sebaliknya, yang terpampang di depan mata adalah bangunan-bangunan kosmopolitan. Jika melihat wajah lama Belanda, yang paling mudah adalah dengan melihat bangunan peninggalan Belanda yang tersebar di seantero negeri ini, entah yang kini dipakai sebagai kantor-kantor pemerintah ataupun museum/ galeri. Nama-nama seperti Thomas Karsten, PAJ Moojen (penataan fisik Menteng, Gondangdia), Maclaine Pont (aula-aula Institut Teknologi Bandung), JH Horst (Gereja Emanuel, Jakarta), S Snuyf (Istana Merdeka, Jakarta), adalah nama arsitek Belanda yang meninggalkan jejak pengaruh arsitektur modern di Indonesia. 
 Kini di tangan arsitek-arsitek mudanya, Belanda menjadi modern untuk zamannya. Lihatlah karya Jeroen Simons yang menggarap Philips High Tech Campus di Eindhoven. Simons menonjolkan bentuk dan ruang yang begitu sederhana dengan efisiensi tinggi. Garis-garis sederhana tetap dipertahankan Simons untuk bangunan yang digunakan sebagai riset software. Keindahan justru ditonjolkan lewat lekuk detail anak-anak tangga. Tak cuma itu. Menyimak proyek Simons yang bertajuk Multi Development Corporation di Gouda, kita akan melihat bagaimana gedung itu dibangun dengan mengandalkan materi kaca. Jadi, wajah modern Belanda kini identik dengan bangunan-bangunan kaca. Tidak hanya Simons yang cenderung memilih kaca sebagai "dinding" bangunan, banyak arsitek muda lainnya yang condong dengan pemakaian kaca. Arsitek muda Belanda menapak pasti. It

u terbukti dengan kian banyaknya proyek publik ataupun proyek privat yang dipercayakan kepada mereka. Lihat Chris de Jonge yang dipercaya Intermezzo-Vrije Universiteit Amsterdam untuk menggarap Theatre Uilenstede sepanjang 1995-1998. Bersamaan dengan itu, klien Jonge, Stichting tot Bevordering van de Volksgezondheit in Milieuhgiene memintanya untuk menggarap Laboratory SUM di De Bilt. Masih banyak nama lain. Sebut saja Paul de Ruiter, Diedrik Dam, Ad Kill, Bauke Tuinstra, Gerrit Goudkuil, Robert Mulder, Jos Van Eldonk. Mereka umumnya mendesain bangunan-bangunannya dengan sentuhan modern. Uniknya, para arsitek muda Belanda yang tinggal tersebar di berbagai kota di Belanda ini justru baru saling kenal ketika mereka berpameran bersama di Erasmus Huis, Jakarta. Ini terungkap ketika mereka melakukan diskusi bersama AMI (Arsitek Muda Indonesia) beberapa waktu lalu. 
 Untuk bisa berkarya, tentulah mereka harus mendapatkan kesempatan terlebih dahulu guna mengimplementasikan ide-ide mereka. Dan itu berarti berkompetisi. Dengan adanya kompetisi yang sehat, tentulah diharapkan muncul arsitek-arsitek yang berkualitas. Bicara tentang kompetisi, menurut Marco Kusumawijaya dari AMI, itu yang menjadi persoalan di Indonesia karena di sini tidak banyak kompetisi atau sayembara terbuka bagi para arsitek kita. Sebaliknya, di Belanda ada banyak kesempatan untuk berkompetisi di mana arsitek muda bisa menunjukkan ide-ide segar. "Kalau tanpa kompetisi, proyek-proyek itu akan selalu jatuh kepada senior-senior. Kita di sini tidak ada kompetisi," kata Marco. Sayembara atau kompetisi analog dengan lelang kalau dalam kontraktor. Tentu saja arsitek yang bekerja dalam tataran ide juga perlu "menjual" idenya melalui sayembara. Bagi mereka di Eropa, bangunan-bangunan publik banyak yang harus disayembarakan. 

Untuk arsitek muda Belanda, kompetisi ini memang penting untuk karier mereka dan karena Belanda termasuk di dalam Uni Eropa (EU), kompetisi di semua negara anggota EU bisa diikuti. "Tetapi, kompetisi ini pun tidak mudah karena untuk bisa ikut kompetisi mereka harus mendapat referensi dulu," kata Cor Passchier, arsitek anggota ikatan arsitek Belanda BNA. Irianto dari AMI, setuju bahwa sistem sayembara harus dikembangkan di sini untuk memberi kesempatan kepada arsitek muda berkembang. "Anehnya, yang dilelang adalah pekerjaan sipilnya, sementara kerja arsitekturnya tidak disayembarakan," kata bambang Eryudhawan, arsitek yang juga aktif di Ikatan Arsitek Indonesia selain di AMI. 

 Beberapa arsitek Belanda bisa dibilang sebagai arsitek dunia yang luar biasa. Bagi para arsitek muda Belanda, hal itu tidak menjadi masalah karena arsitek-arsitek pendahulu mereka itu sudah menjadi "milik" dunia. Para arsitek muda Belanda tidak merasa senior-senior mereka sebagai saingan yang berarti karena para senior mereka bersaing pada tingkat global. Pun begitu, pemerintah lokal umumnya membantu bila arsitek muda Belanda-di sana batasan umur untuk bisa disebut muda adlah 40 tahun-mendapat bantuan ketika mereka memulai membuka biro arsitek mereka sendiri. Mereka misalnya mendapatkan pinjaman berbunga lunak serta mendapat potongan pajak. "Bagi kita, karena prosesnya tidak terbuka di masa lampau, maka generasi yang lebih tua menjadi masalah karena seolah-olah menjadi suatu hegemoni, suatu dominasi, sehingga dalam batas tertentu itu menghambat ide-ide dari generasi muda," kata Marco. 

 *** PERUBAHAN gaya arsitektur dari klasik menjadi modern memang tak terelakkan. Belanda dalam hal seni budaya arsitektur memang sangat modern dan dinamis. Hingga kini Belanda tetap mengkonservasi warisan-warisan budaya arsitektur masa lampau. Namun, di sisi lain, mereka juga sangat terbuka terhadap perubahan-perubahan modern. Arsitektur modern dalam tanda petik dimulai sejak awal abad ini. Banyak tokoh-tokohnya memang orang-orang Belanda. Sejak itulah sebetulnya bagi orang Belanda tidak mungkin menjadi tidak modern. 
Menjadi modern itu justru tradisi mereka. Jadi tidak ada pertentangan antara tradisi dengan modernitas, karena modernitas bagi mereka sudah menjadi tradisi dari dalam. Itulah yang sangat kuat dalam arsitektur Belanda. Jeroen Simons, salah seorang arsitek muda Belanda, mengatakan, struktur sosial sangat mempengaruhi bentuk arsitektur. "Saat ini kita bekerja dengan menggunakan komputer, email, mobil, dan berbagai perangkat teknologi tinggi. Tentulah itu semua mempengaruhi bentuk bangunan kita. Jadi bentuk arsitektur itu merupakan representasi waktu atau dekade saat ini," demikian alasan yang dikemukakan Simons mengenai karya-karyanya yang begitu modern. Itulah mengapa bentuk arsitektur garapan arsitek muda Belanda yang dipamerkan hingga 28 Oktober 2000 ini sangat modern. "Karya-karya kami ini ternyata diterima masyarakat Belanda. Di beberapa pembangunan vila pribadi, klien kami justru ingin mengekspresikan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dengan teknologi tinggi," kata Simons.

Menjadi Modern VIDEO