Kemegahan Arsitektur Dibalik Dangkalnya Potensi Wisata



Kemegahan Dibalik Dangkalnya Potensi Wisata

Pelestarian bangunan bersejarah di Surabaya timbul tenggelam. Percepatan modernisasi kota, tak seiring sejalan dengan upaya konservasi. Sebagian besar bangunan lama musnah, berganti ruko dan pusat belanjaan. Wajah kota tampak gagah dan megah, tapi miskin akan cita rasa perjuangan.

Sejak pemerintahan Hindia Belanda di Surabaya, ratusan abad lalu hingga awal abad 20, banyak bangunan didirikan untuk kelangsungan kekuasaan, perdagangan, dan pertahanan oleh bangsa kolonial. Bangunan-bangunan itu kokoh nan megah dengan corak arsitektur yang tiada duanya di dunia. Di masa kemerdekaan, banyak tempat dan bangunan itu digunakan sebagai arena bertempur memperjuangkan kemerdekaan. Jadi, selain karena pertimbangan arsitektur yang unik dan langka, juga nilai kesejarahan yang membuat kawasan atau bangunan itu harus dilestarikan sebagai cagar budaya.
Upaya pelestarian itu semestinya harus dilakukan sejak adanya Ordonantie Monumenten Nr 238 tahun 1931, sebagai dasar hukum yang sah ketika pemerintahan Hindia Belanda. Namun perhatian Indonesia baru terasa sejak dibuatnya UU Benda Cagar Budaya No 5 Tahun 1992. Toh, fasilitas hukum ini di Surabaya lemah di lapangan.
Sejak diundangkan perangkat hukum itu, masyarakat Surabaya sebenarnya sudah melakukan upaya-upaya untuk menerapkan tugas UU. Waktu itu, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Paguyuban Pelestarian Arsitektur Surabaya (PPAS) sekarang menjadi Lembaga Pelestarian Arsitektur Surabaya (LePAS), Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Jawa Timur, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Jawa Timur, Dewah Harian Cabang (DHC '45) Surabaya dan Dewah Harian Daerah (DHD '45) Propinsi Jawa Timur, berkumpul untuk merumuskan program dan melakukan berbagai kegiatan untuk mendukung Pemerintah Kodya Surabaya waktu itu.
Berbagai seminar, memberi penghargaan kepada pengelola gedung bersejarah yang memiliki nilai arsitektur tingi, seni dan sejarah yang sangat tinggi sehingga terawat dengan baik, sampai membentuk Tim Cagar Budaya. Tim ini kemudian mengadakan penelitian dan inventarisasi berbagai gedung atau kawasan yang masuk dalam kategori cagar budaya. Realisasinya lalu dituangkan dalam SK Walikota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996, yang menetapkan 61 bangunan sebagai benda cagar budaya, dan SK Walikota Nomor 188.45/004/402.1.04/1988 yang menetapkan 102 lokasi benda dan situs. Dus, dalam dua tahun itu didapat 163 benda, bangunan dan situs yang masuk cagar budaya yang harus dilindungi.
Padahal, bila merunut sejarah panjang Surabaya, tidak menutup kemungkinan terdapat ratusan benda, bangunan atau situs yang dapat digolongkan sebagai cagar budaya. Dan sejak 1988 hingga sekarang, tidak ada pertambahan yang berarti. Sementara perkembangan kota terus berkejaran dengan SK Walikota yang tidak memiliki kekuatan apa-apa di lapangan. Akhirnya, ketidakberdayaan perangkat hukum yang ada tak mampu mencegah terjadinya pembongkaran berbagai kawasan atau bangunan bersejarah.
Keadaan ini diakui oleh Ir Tondojekti, ketua Tim Pelestarian Benda Cagar Budaya Surabaya. Kendala dan kesulitan yang dihadapi sangat banyak, termasuk berganti-gantinya pejabat yang berwenang, tidak adanya instansi khusus yang berwenang menangani, sehingga keberlanjutan usaha perlindungan terhadap benda cagar budaya yang sudah dimulai sejak awal 1990-an menjadi tersendat. Ditambah lagi minimnya dana yang akibatnya tidak bisa dilakukan penelitian dan inventarisasi terhadap bangunan bersejarah lainnya yang masih tersebar.
Selain itu, gejolak politik nasional yang meruntuhkan Orde Baru dan melahirkan Orde Reformasi juga turut menjadi sebab. Masa transisi itu membuat pemerintahan sibuk sendiri dengan soal-soal politik, sekaligus melupakan sektor penting mengenai perlindungan cagar budaya. Di tengah kesibukan seperti itu, berbagai bangunan dirobohkan untuk kepentingan bisnis yang sedang tumbuh di Surabaya. Seperti Pasar Wonokromo dan terakhir Stasiun Semut. Pembongkaran yang terakhir yakni Stasiun Semut seolah menyadarkan pemerintah dan masyarakat dari mimpi, lalu menggerakkan kepedulian kembali akan arti penting bangunan bersejarah yang masuk cagar budaya.
Menyadari keberadaan bangunan bersejarah lain yang terancam musnah, pemerintah segera mengambil inisiatif. SK Walikota sebagai perangkat hukum yang tidak berdaya, akan dikuatkan dengan Peraturan Daerah (Perda). Ketua Tim Pelestarian Benda Cagar Budaya sekaligus Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Ir Tondojekti, melibatkan masyarakat luas, antara lain kalangan akademis, LSM dan masyarakat untuk menyusun Perda yang hingga kini sedang digodok. "Pak Wali (Bambang Dwi Hartono, red) menginginkan Perda ini segera selesai dan disahkan pada November mendatang, sebagai kado Hari Pahlawan," ujarnya.

Pariwisata
Keberadaan Perda menjadi amat sentral, karena akan menguatkan dan melengkapi SK Walikota yang lemah karena tidak memuat sanksi yang tegas terhadap siapapun yang dengan sengaja memusnahkan benda cagar budaya. Termasuk di dalamnya juga memuat kompensasi yang akan diberikan pada pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya. Sebab, bila tidak ada sanksi yang tegas dan kompensasi yang jelas, kecenderungan pembangunan fisik kota sangat membahayakan posisi aset, seperti bangunan bersejarah baik yang masuk benda cagar budaya atau tidak.
Menurut Budi, Ketua Bidang Sosial Budaya didampingi Ach Migdad, Kasubbid .... Pemerintah Kota Surabaya, dikhawatirkan apabila bangunan-bangunan kuno yang bernilai sejarah atau bangunan kolonial bernilai arsitektur peninggalan Belanda dirobohkan satu demi satu, maka hilanglah aset benda cagar budaya yang berarti hilangnya jati diri bangsa dan budaya, hilang pula wajah Surabaya "tempo doeloe" yang mempunyai nilai historis bagi masyarakat Surabaya dan yang bernilai arsitektur kota.
Dengan demikian akan hilang bukti-bukti fisik yang biasanya digunakan sebagai obyek studi lapangan pada bangunan-bangunan kolonial, umumnya peninggalan Belanda, yang memiliki gaya dan langgam tertentu, yang penting bagi pendidikan arsitektur dan arsitektur kota, atau bagi generasi mendatang yang belajar tentang arsitektur kota. Artinya, potensi pariwisata kota yang terkandung dalam wajah Surabaya "tempo doeloe" dengan arsitektur berlanggam klasik, yang umumnya disukai oleh wisatawan manca negara terutama dari Eropa juga akan hilang.
Kekhawatiran ini menjadi sangat beralasan, ketika Surabaya yang dikenal sebagai kota BUDIPAMARINDA (Budaya, Pendidikan, Pariwisata, Maritim, Industri dan Perdagangan) memiliki kekayaan aset yang sangat besar, tapi tidak cantik sebagai obyek wisata. Seperti diungkapkan Muhtadi, Kepala Dinas Pariwisata (Disparta) Surabaya, kota Surabaya sebenarnya memiliki potensi sebagai obyek wisata yang sangat besar, bila dikembangkan dengan baik. Hanya saja keterbatasan yang membuat tidak mampu menjual obyek-obyek itu, terutama bangunan atau kawasan bersejarah. "Kita belum bisa berbuat banyak kalau menyangkut bangunan bersejarah sebagai obyek wisata, karena upaya pelestarian itu juga belum maksimal. Perdanya saja baru dibuat, jadi kita juga masih menunggu."
Potret kota Surabaya demikian makin menegaskan, pemeo yang berkembang di masyarakat bahwa Surabaya hanya kota transit dan bukan kota tujuan wisata mendekati kebenaran. Orang luar daerah atau wisatawan asing hanya 'lewat' untuk kemudian meneruskan perjalanan kembali ke daerah tujuan wisata lain yang lebih menarik. Aset-aset wisata modern yang menjadi obyek wisata unggulan Surabaya, hampir bisa ditemui di kota besar lain di Indonesia, sehingga tak lagi menarik. Sementara banyak wisatawan asing yang lebih suka mengunjungi obyek bernilai sejarah. Kalau di Blitar sekitar 30 persen wisatawan memilih obyek bersejarah, Surabaya belum ada catatan resmi.
Ketimpangan seperti ini pada suatu waktu akan membentuk karakter kota yang angkuh dan egois, tidak lagi peduli dengan bangunan kuno bersejarah sebagai aset bangsa, tidak menarik untuk berwisata, sebagaimana kota-kota medern lain yang miskin sejarah. Apakah dengan adanya Perda nanti wajah Kota Surabaya akan bisa diselamatkan, masih jadi tanda tanya besar. Jangan-jangan seiring disusunnya Perda, diam-diam ada kawasan atau gedung bersejarah termasuk cagar budaya digerogoti hingga musnah, untuk dibangun gedung baru yang megah, tapi kering akan nuansa. 





Understanding Contemporary Architecture


Understanding Contemporary Architecture

Contemporary architecture has helped produce some of today’s most popular building styles. Structures from single family homes to downtown office buildings are built in contemporary styles, and most of which look as fresh today as they did decades ago. While it’s hard to give an absolute list of contemporary architecture features, buildings within the movement can usually be broadly identified, as can their individual styles.

Contemporary architecture is, in many ways, a catch-all to describe modern styles that share a variety of features and haven’t yet been classicized. The term “contemporary” is also slightly inaccurate, as it can refer to buildings 70 or 80 years old. But in an age where classic building styles are as popular as new ones, it’s important to have a broad overview of what separates the two. Contemporary architecture, then, is generally recognized as a movement where few, if any, traditional building methods and ornamentation features are used. It’s also one of the first architectural movements to embrace completely new building methods, and forms that are based more on functionality than style.

While contemporary architecture is broad-ranging, the term usually refers exclusively to homes, while buildings for other purposes are classified according to their particular style. For example, a downtown office building might fit within the contemporary movement, but still be considered art-deco, or internationally styled. The main reason for this is contemporary architecture’s focus on functionality as opposed to design. For example, homes can be modified a number of ways to work better for their occupants, but office buildings with new, unprecedented features are generally seen as having abandoned functionality - an office building in the shape of an hourglass with exposed ventilation would probably be seen as Internationally-styled, whereas a house done this way is likely to be seen as contemporary.

If you notice a contemporarily-styled home it’s usually because one or several of the movement’s common attributes is apparent. The most common things about this style people notice are usually a mixture of wall materials, like stone, brick, and wood, all combined on the
same surface. Exposed wood beams, and an abundance of glass are other common material characteristics of these homes. Shape-wise, contemporary homes can often be identified by flat roofs, split levels, and large overhangs.

While contemporary homes may often look fanciful or extravagant they are usually much more refined and practical than other home styles. Large windows, for example, might encourage energy saving and use of solar power, while split-levels are usually employed to help the
house work better with the land around it. The biggest factor influencing contemporary architecture is probably home building technology - as this evolves, it’ll be interesting to see how the style changes.

Understanding Contemporary Architecture VIDEO







Arsitektur Suku Dayak



Arsitektur Suku Dayak

Rumah tradisional suku Dayak dikenal dengan sebutan Lamin. Bentuk rumah adat Lamin dari tiap suku Dayak umumnya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya didirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan berupa empat persegi panjang. Panjang Lamin ada yang mencapai 200 meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter. Di halaman sekitar Lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung persembahan nenek moyang (blang).

Penggunaan kolong yang tinggi pada Lamin suku Dayak Penggunaan kolong yang tinggi pada Lamin Photo: A.W. Nieuwenhuis, 1900

Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan menggunakan atap bentuk pelana. Tinggi kolong ada yang mencapai 4 meter. Untuk naik ke atas Lamin, digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang ditakik-takik membentuk undakan dan tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-turunkan. Kesemua ini adalah sebagai upaya

Rumah tradisional suku Dayak dikenal dengan sebutan Lamin. Bentuk rumah adat Lamin dari tiap suku Dayak umumnya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya didirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan berupa empat persegi panjang. Panjang Lamin ada yang mencapai 200 meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter. Di halaman sekitar Lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung persembahan nenek moyang (blang).

Penggunaan kolong yang tinggi pada Lamin suku Dayak Penggunaan kolong yang tinggi pada Lamin Photo: A.W. Nieuwenhuis, 1900

Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan menggunakan atap bentuk pelana. Tinggi kolong ada yang mencapai 4 meter. Untuk naik ke atas Lamin, digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang ditakik-takik membentuk undakan dan tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-turunkan. Kesemua ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman serangan musuh ataupun binatang buas.

Pada awalnya, Lamin dihuni oleh banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik didalam Lamin, namun kebiasaan itu sudah semakin memudar di masa sekarang. Bagian depan Lamin merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen, dll. Di belakang serambi inilah terdapat deretan bilik-bilik besar. Setiap kamar dihuni oleh 5 kepala keluarga.

Pemukiman suku Dayak di tepi Mahakam Pemukiman suku Dayak di tepi Mahakam Lukisan: Carl Bock, 1879

Lamin kediaman bangsawan dan kepala adat biasanya penuh dengan hiasan-hiasan atau ukiran-ukiran yang indah mulai dari tiang, dinding hingga puncak atap. Ornamen pada puncak atap ada yang mencuat hingga 3 atau 4 meter. Dinding Lamin milik bangsawan atau kepala adat terbuat dari papan, sedangkan Lamin milik masyarakat biasa hanya terbuat dari kulit kayu.

untuk mengantisipasi ancaman serangan musuh ataupun binatang buas.

Pada awalnya, Lamin dihuni oleh banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik didalam Lamin, namun kebiasaan itu sudah semakin memudar di masa sekarang. Bagian depan Lamin merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen, dll. Di belakang serambi inilah terdapat deretan bilik-bilik besar. Setiap kamar dihuni oleh 5 kepala keluarga.

Pemukiman suku Dayak di tepi Mahakam Pemukiman suku Dayak di tepi Mahakam Lukisan: Carl Bock, 1879

Lamin kediaman bangsawan dan kepala adat biasanya penuh dengan hiasan-hiasan atau ukiran-ukiran yang indah mulai dari tiang, dinding hingga puncak atap. Ornamen pada puncak atap ada yang mencuat hingga 3 atau 4 meter. Dinding Lamin milik bangsawan atau kepala adat terbuat dari papan, sedangkan Lamin milik masyarakat biasa hanya terbuat dari kulit kayu.


Arsitektur Suku Dayak VIDEO





ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN




ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN
 

 1. Arsitektur sebagai cerminan budaya Arsitektur sebagai budaya material tidak hanya sekedar menyusun elemen-elemen material bangunan menjadi bangunan secara utuh, akan tetapi arsitektur juga berperan pada pembentukan ruang-ruang sosial dan simbolik, sebuah “ruang” menjadi cerminan dari perancang dan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Sebagian besar studi arsitektur hanya melihat pada bentukan arsitektur yang monumental dan formal (istana, amphiteater, dst), belum banyak yang juga mempelajari ”arsitektur rakyat”. Diantara arsitek, Bernard Rudofsky (1964) adalah seorang yang dikenal sebagai promotor dari apresiasi terhadap estetika yang asli, original, bahkan juga organis, beliau menyebutnya sebagai ”Architecture Without Architect”. 

Sehingga sejak 20 tahun lalu studi tentang indigenous architecture (baca= arsitektur tradisional, arsitektur rakyat, arsitektur asli masyarakat) mulai dikembangkan bekerjasama dengan para antropolog. Studi ini tidak hanya akan terbatas pada beberapa daerah yang mempunyai budaya asli saja, akan tetapi seluruh dunia dan pada seluruh kalangan. Sebut saja Le Corbusier, seorang pelopor arsitektur modern, yang menyatakan bahwa A house is a Machine to live in, seorang yang mendobrak seluruh dunia dengan jargon fungsionalismenya (segala sesuatu akan tampak indah jika berfungsi dengan baik). Bagaimanapun ekspansifnya Le Corbu akan tetapi semuanya tidak lepas dari perilaku dan sistem sosial yang dianutnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa arsitektur tidak pernah netral, akan tetapi akan selalu berhubungan dengan pengguna, budaya, serta konstruksi sosial yang ada dalam suatu masyarakat. 

 2. Arsitektur dan perubahan kebudayaan Sebagaimana aspek budaya yang lain, arsitektur senantiasa berubah dan mengalami evolusi sepanjang masa. Namun demikian, terjadinya perubahan tidaklah merata pada setiap kelompok masyarakat/bangsa. 

 Dikotomi kebudayaan dalam Arsitektur We may say that monuments-buildings of the grand design tradition-are built to impress either the populace with the power of the patron, or the peer group of designers and cognoscenti with the cleverness of the designer and the good taste of the patron. The folk tradition, on the other hand, is the direct and unself-conscious translation into physical form of a culture, its needs and values –as well as the desires, dreams, and passions of the people. It is the world view writ small, the “ideal” environment of a people expressed in buildings and settlements, with no designer, artist, or architect with an axe to grind (although to what extent the designer is really a form giver is a moot point). The folk tradition is much more closely related to the culture of the majority and life as it is really lived than is the grand design tradition, which represents the culture of the elite. The folk tradition also represents the bulk of the built environment. (Amos Rapoport, 1969) 

 Arsitektur sebagai salah satu proses dan produk budaya material, ternyata juga mengalami dikotomi sebagaimana diungkapkan oleh Amos Rapoport diatas. Budaya tinggi dalam arsitektur diwakili oleh bangunan-bangunan, seperti monumen-sebagai bangunan tradisi desain yang agung-yang merupakan representasi dari kekuasaan dan kejeniusan individual sang arsitek. Sebaliknya, budaya masyarakat merupakan ekspresi yang berhubungan dengan budaya mayoritas, tanpa adanya seorang desainer, seniman atau arsitek. Akan tetapi ”hidup” dalam masyarakat lebih dari tradisi desain yang agung yang merepresentasi budaya para elite. Budaya massa dalam arsitektur ini seringkali didefinisikan antara lain sebagai arsitektur primitif, arsitektur vernakular, architecture without architect, arsitektur tradisional, regional culture ataupun juga arsitektur pinggiran. Sedangkan budaya tinggi diwakili oleh arsitektur non-tradisional, arsitektur world culture, universal civilization. 

 Mainstream Akademik; Budaya Tinggi Vs Budaya Massa dalam Arsitektur Pada mainstream akademik, dikotomi budaya dalam arsitektur ini tampak terlihat lebih jelas. Dikotomi yang meletakkan budaya massa dalam posisi marginal sampai hari ini belum juga bergeser. Hal semacam ini tidak akan terjadi jika kita mendudukkan klasifikasi budaya ini dalam porsi yang proporsional. Beberapa dikotomi dua kutub budaya ini akan lebih jelas, jika kita jabarkan satu persatu sebagai berikut: Arsitektur vernacular dan arsitektur non-vernacular Arsitektur vernakular sebagai representasi budaya massa seringkali disamakan dengan ”architecture without architect” yang memberi kesan bahwa arsitektur vernakular bukanlah porsi kerja seorang arsitek. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi porsi pembahasan arsitektur vernakular dalam mainstream akademik, terkecuali harus dibahas dalam suatu forum ”tersendiri”. Pun, forum-forum semacam ini belum banyak mampu memberi warna pada kurikulum pendidikan arsitektur S1 di Indonesia. 

Mata kuliah-mata kuliah teori dan sejarah arsitektur masih terlalu didominasi oleh arsitektur budaya tinggi dengan pengenalan ”monumen-monumen” arsitektur sepanjang sejarah. Bahkan jika kita melihat timeline yang ditawarkan mulai dari arsitektur Yunani, Romawi, hingga Post-modern, sedikit sekali yang membahas tentang arsitektur vernakular ini. Kalaupun ada, masih terbatas pada pengetahuan arsitektur nusantara, itupun didominasi oleh budaya tinggi arsitektur nusantara. Regional culture dan universal civilization Universal civilization yang diwakili oleh modernisme dewasa ini menumpukan harapan pada kemampuan nalar-rasional dan kemampuan mesin-teknologis yang acapkali semakin meminggirkan mereka yang tidak berada dalam arus utama ini. Regional culture dipandang sebagai sesuatu “yang lain” dan tidak “universal”. Tidak perlu kita ragukan lagi, modernisme telah menjadi warna dominan produk-produk arsitektur di abad 20-21 ini. 

Kota-kota besar kita didominasi bangunan-bangunan international style yang menafikan regional culture masing-masing. Dunia akademik pun seakan tidak bergeming dalam hal ini. Mainstream yang terbentuk masih saja mengekor universal civilization yang dianggap sebagai agen pembaharuan yang progresif sementara regional culture bersifat sementara. Arsitektur tradisional dan arsitektur non-tradisional Arsitektur tradisional yang merupakan representasi dari tradisi, nilai-nilai yang dianut, kepercayaan dalam masyarakat, dan lain-lain, sampai saat ini masih berada dalam posisi yang terpinggirkan dalam mainstream akademik. Pengetahuan tentang arsitektur tradisional masih terbatas pada produk jadi dan justru kehilangan ruh tradisionalnya sendiri ketika telah menjadi fix dan cenderung statis, bukannya sebagai ”proses hidup”. 

Arsitektur Jawa, misalnya yang pada perwujudannya didominasi oleh joglo sebagai budaya tinggi (=adiluhung) dan satunya lagi ”bukan joglo” yang diwakili oleh arsitektur kampung (yang sebenarnya memiliki kekayaan dan keragaman arsitektural yang tinggi dan diikuti oleh mayoritas dalam masyarakat) namun tidak banyak dikaji karena dianggap kurang ”bernilai” atau tidak adiluhung. Sedangkan arsitektur non-tradisional yang didominasi oleh arus modernisme universal/universal civilization masih menjadi mainstream dominan dalam pendidikan S1 Arsitektur. Apalagi dengan bantuan media, baik literatur, media massa, elektronik, internet, dan lain-lain yang memudahkan kita untuk kapan saja melihat dan mengapresiasinya. Sementara media yang membahas arsitektur tradisional (baca=arsitektur nusantara) masih relatif terbatas. Bahkan sangat minim, dan itupun masih membahas arsitektur semacam joglo, tongkonan, dst yang cenderung elitis dan tidak menyentuh mayoritas masyarakat kita.

ARSITEKTUR DAN KEBUDAYAAN VIDEO





Empat Bangunan Tua di Kawasan Kota Direnovasi





Empat Bangunan Tua di Kawasan Kota Direnovasi

Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ke-476 Kota Jakarta, panitia JakArt@2003 mempunyai agenda merenovasi empat bangunan berusia sekitar dua abad di Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Upaya renovasi dilakukan dalam rangka menghidupkan kembali Kota Tua yang “mati” dan seolah terlupakan.

Salah satu bangunan yang saat ini tengah direnovasi adalah bekas kantor Bank Bumi Daya di Jalan Kali Besar Barat. Khusus bangunan ini, panitia JakArt@2003 bekerja sama dengan Standard Chartered Bank dan Bank Mandiri. Tiga bangunan di Jalan Kali Besar Timur adalah Gedung Kota Bawah yang nantinya akan dijadikan arena pergulatan seni dan budaya, juga gedung-gedung yang saat ini masih digunakan untuk kantor.

Renovasi empat bangunan tua tersebut merupakan bagian dari Festival Kali Besar yang telah diselenggarakan sejak tanggal 1 Juni lalu oleh Sukarelawan JakArt.

Tujuan utama renovasi adalah menunjukkan kepada masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI bahwa daerah Kali Besar yang telah dilupakan orang ternyata masih memiliki potensi budaya dan nilai sejarah yang bermakna dalam industri pariwisata.

Menurut Koordinator Arsitektur JakArt@2003 Imron Yusuf, renovasi bangunan tua tersebut meliputi dua bagian, yaitu interior dan eksterior. “Hanya sedikit bangunan tua di kawasan Kota ini yang terawat rapi dan bersih. Kebanyakan semrawut. Kota tua menjadi satu kawasan yang terlupakan,” katanya, Minggu (22/6).

Saat ini, sebagian bangunan di Jalan Kali Besar sedang dicat ulang menggunakan cat nonakrilik yang merupakan campuran kapur, singkong, dan air. “Dulu, karena belum ada semen, bangunan memakai plester. Dengan bahan itu, air bisa bernapas, masuk ke pori-pori dan bisa keluar lagi. Jika menggunakan cat akrilik, air tidak akan bisa bernapas sehingga bangunan mudah rapuh. Ini yang sering kurang dipahami pihak-pihak yang menggunakan bangunan tua di sini. Untuk syuting sinetron, misalnya, para kru sering mengecat sembarangan,” kata Imron.

Standard Chartered

Menurut Chief Executive Officer Standard Chartered Stewart D Hall, bangunan bekas Bank Bumi Daya itu pernah menjadi kantor Standard Chartered hingga tahun 1960-an. “Gedung itu luar biasa, karakternya kuat, dan terletak di kawasan bersejarah pada Oud Batavia. Kawasan Kota ini mempunyai potensi budaya dan sejarah yang kuat untuk dikembangkan. Juga untuk tempat komersial dan perdagangan,” katanya.

Menurut rencana, renovasi bangunan berlantai tiga dengan luas lantai dasarnya mendekati 1.000 meter persegi itu akan selesai sebelum September tahun ini.

Imron Yusuf mengatakan, Gedung Kota Bawah nantinya akan dijadikan pusat budaya dan seni pertunjukan. “Setelah kami renovasi, nantinya gedung itu, kalau bisa, dijadikan tempat untuk pameran, pertunjukan teater dan musik, dan lain- lain sehingga kawasan Kota menjadi hidup,” katanya.

Komite JakArt@2003 Ahmad Djuhara menambahkan, bangunan yang dulu pernah dipakai Standard Chartered adalah contoh sangat baik untuk menggambarkan satu jejak sejarah kota.

Kompas mencatat, gagasan untuk merevitalisasi kawasan Kota seluas 139 hektar di Jakarta Utara dan Jakarta Barat tersebut sudah bergulir lama, yaitu pada tahun 1970-an. Tahun 1972-1974, ketika Jakarta dipimpin Ali Sadikin, beberapa bangunan dipugar, yaitu Museum Sejarah Jakarta, Museum Bahari, Gedung Joang 45, Museum Sumpah Pemuda, dan gedung lain. Namun, pemugaran dan revitalisasi itu kemudian terhenti hingga sekarang. (IVV)

Empat Bangunan Tua di Kawasan Kota Direnovasi VIDEO






Essence of Architecture



Essence of Architecture 

 Banyak orang salah menafsirkan mengenai apa itu arsitektur. Sebelum kita membahas lebih lanjut ada baiknya kita mengetahui arti kata arsitektur yaitu berasal dari bahasa Yunani yaitu Arche yang berarti asli, yang utama atau yang awal serta Tektoon yang berarti menunjukkan kepada sesuatu yang berdiri kokoh, tidak roboh dan stabil. Dalam hal ini, saya akan merefer pendapat alah seorang sesepuh para Arsitek di Indonesia Yaitu Romo YB Mangunwijaya. Romo Mangun selain seorang Arsitek, juga sebagai seorang budayawan. Menurutnya Arsitektur itu adalah penciptaan suasana, perkawinan guna dan citra. 
Bukan dalam kemewahan bahan atau tehnologi yang tinggi serta letak harganya. Bahan-bahan yang sederhana justru lebih mampu mencerminkan refleksi keindahan. Guna berarti bahwa suatu karya arsitektur yang dihasilkan itu benar-benar berguna, efisien dan dapat dipakai dengan baik.Serta Citra yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan budaya atau kebudayaan. 
Citra suatu karya Arsitektur itu berarti ekspresi dari rumah tersabut atau kesan yang ditimbulkan dari suatu karya Arsitektur yang terlepas dari fungsi. Bidang Garapan Arsitektur menurut Y. B. Mangunwijaya meliputu : 

a. Ruang dan Gatra 
b. Garis dan Bidang 
c. Bahan Material 
d. Sarana tempat/lahan/lingkungan. 

Berarsitektur berarti berbahasa dengan ruang dan gatra, dengan garis dan bidang, dengan material dan suasana tempat. Dalam berarsitektur, bukan hanya soal efisiensi-teknis dan fungsional saja, tetapi ada unsur lain yaitu harus adanya dimensi ‘ Budaya’ (Buku Wastu Citra Hal 7) Dengan Arsitektur kita mencoba mengolah unsure-unsur diatas dan berusaha menciptakan kesan serta suasana tertentu, yaitu dengan pengolahan dan permainan massa, gatra, ruang dan sebagainya, sehingga dengan pengolahan tersebut diharapkan kita dapat menciptakan kesan dan suasana nikmat, aman dan nyaman, dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu karya Arsitektur yang dirancang tersebut benar-benar berhasil. Dalam berkarya arsitektur yang baik kita hendaknya menampakkan kejujuran, kewajaran serta kebenaran, dan biarkanlah dengan kejujuran, kebenaran serta kewajaran tersebut terpancar suatu keindahan. Kita sebagai Arsitek mempunyai tugas untuk mengolah Arsitektur yang lengkap, lebih utuh dalam arti suatu total Architecture. 

Menciptakan Arsitektur adalah memanfaatkan dan mengangkat martabat alam, atau sering disebut dengan Arsitektur yang berwawasan lingkungan. Jadi dalam kita berarsitektur, kita harus menyesuaikan dengan keadaan sekitar kita agar apa yang akan kita buat nantinya tidak akan merusak keadaan sekitarnya, bahkan sebaliknya yaitu dengan memanfaatkan lingkungan disekitarnya untuk menghasilkan suatu karya arsitektur yang baik, sehingga karya Arsitektur yang kita buat akan lebih memperindah lingkungan yang telah ada. Hal itulah kiranya yang sering dilupakan oleh para Arsitek kita yang mungkin lupa dengan keadaan disekitar, sehingga hasil karya arsitektur yang dihasilkan sering kali merusak atau memperburuk keadaan tempat karya arsitektur itu berdiri.Mungkin ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama demi tercapainya suatu karya Arsitektur yang lebih baik. 

 Posted in Architecture Theory. Tagged with Essence of Architecture. By Sanny Kurniadi January 9, 2009

Essence of Architecture VIDEO





Meletakkan Situs Majapahit Dalam Tataran Pelestarian Budaya


Meletakkan Situs Majapahit Dalam Tataran Pelestarian Budaya 
 
Kini kita hidup dalam suatu peradaban yang sangat menarik tetapi sekaligus membingungkan. Bagaimana tidak, sebuah peninggalan lama dengan sejarahnya di’hancurkan’ diganti dengan peradaban modern, yang lebih destruktif lagi ruang kota menjadi ajang pameran papan-papan reklame, hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau (RTH), dan lahan berubah fungsinya menjadi pusat-pusat pertokoan. Kenyataannya itu ditambah lagi dengan adanya ’perusakan’- pembangunan Pusat Informasi Majapahit- bekas ibu kota Majapahit di kawasan Trowulan. 

Yang konon katanya oleh sebagian arkeolog dikatakan tidak terjadi ’perusakan’ pada situs penting itu, atau bisa kita katakan memang telah terjadi ’archeology suicide’ (bunuh diri arkeologi). Sudah jelas, bahwa situs arkeologi-arsitektur perkotaan kuno Majapahit ini merupakan wakil dari citra kebudayaan dalam komunitas bangsa Indonesia. Di dalamnya terdapat bagian dari sejarah dan tradisi bekas ibu kota yang telah berlangsung sangat lama, dan ternyata dapat memberikan sumbangan besar pada tradisi-budaya, kearifan lokal, dan warisan arsitekturnya. Berbicara mengenai sejarah dan tradisi, seorang arsitek dari Jepang bernama Kurokawa (1988) mengatakan, bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai sejarah dan tradisi. 

Pertama, adalah sejarah yang dapat kita lihat seperti, bentuk arsitektur, elemen dekorasi, dan simbol-simbol yang telah ada pada kita. Kemudian yang kedua, adalah sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti, sikap, ide-ide, filosofi, kepercayaan, keindahan, dan pola kehidupan. 

Melihat hal tersebut, jelaslah bahwa masa lalu tradisi budaya situs Trowulan telah diungkapkan dengan keberadaan fisik peninggalan arkeologinya. Situs Segaran III dan IV yang merupakan situs permukiman kota kuno dan artefak masa Majapahit ikut menentukan dan memberikan ciri khas kawasan arsitektur perkotaan masa lalu. Kehidupan dan peninggalan masa lalu situs Majapahit menjadi bagian identitas dari bekas ibu kota kuno kerajaan yang telah menghasilkan warisan sosial-budaya yang sangat bermanfaat. Identitas peninggalan masa lalu ini terungkap dalam bentuk tatanan arkeologi kota kerajaan dan merupakan satu-satunya situs kota dan benda cagar budaya yang masih tersisa. 

Transformasi bentuk masa Jawa-Budha-Hindu diungkapkan dalam pola permukiman yang sangat luas. Tatanan ibu kota ini merupakan pusat kerajaan Hindu di Jawa dengan salah satu bentuknya adalah budaya material yang dihasilkan oleh kelanjutan proses akulturisasi antara budaya Hindu-India dengan budaya Jawa-Kuno. Dengan lain perkataan, konsep kosmologi yang diterapkan dalam penataan kota kerajaan Majapahit, tidak sepenuhnya murni India, melainkan dipengaruhi keruangan tradisional setempat. Oleh karena itu, bahwa tanpa adanya usaha mempertahankan bekas ibu kota kuno yang merupakan satu-satunya kota Hindu-Jawa ini dari usaha ’perusakan’, agar tidak kehilangan akar sejarah dan identitas pola tata ruang kota kuno masa lalu. 

Keprihatinan yang muncul akibat adanya protes dari masyarakat berkaitan dengan ’perusakan’ situs arsitektur dan perkotaan yang terjadi di bekas ibu kota Majapahit, ternyata juga telah terjadi di Kota Kyoto. Pada tahun 1992, warga Kota Kyoto dan organisasi keagamaan menolak rencana pemilik Kyoto Hotel menaikkan ketinggian bangunan dari 31 meter (8 lantai) menjadi 60 meter (16 lantai). Hal itu dilakukan, karena akan merusak lansekap dan peninggalan sejarah kota tersebut. Bahkan dua kuil besar di kota Kyoto, yaitu kuil Kinkaku-ji dan kuil Kiyomizudera memasang papan pengumuman di depan pintu masuk ke kuil tersebut. Isi dari pengumuman adalah, menolak para wisatawan yang menginap di Kyoto Hotel dan hotel-hotel lain yang mempunyai afiliasi untuk mengunjungi kedua kuil tersebut. Selain itu, pada kuil-kuil yang lain, dipasang papan-papan pengumuman yang bertuliskan: “kita menolak bangunan tinggi yang akan menghancurkan sejarah dan lansekap Kota Kyoto”. 

Perlu diketahui, sejak dulu bangunan-bangunan yang terdapat di pusat Kota Kyoto ketinggianya dibatasi, yaitu 45 meter. Sebuah protes yang dilakukan warga masyarakat sudah menjadi satu kesadaran, bahwa masyarakat telah ikut membantu kelancaran proses pelestarian kawasan bersejarahnya. Kaidah-kaidah dalam bentuk kesadaran melalui masyarakat dan para pemerhati pelestarian akan apa yang terjadi pada situs Majapahit perlu mendapat dukungan yang luas. Budaya masa lalu hasil rekonstruksi situs arkeologis ini, merupakan peradaban arsitektur perkotaan yang akan menjadi bagian dari sejarah Nusantara. Dengan terpeliharanya situs bersejarah ibu kota kuno Majapahit ini, tentu saja akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat, antara masa kini dan masa lalu. Namun sebaiknya campur tangan (intervensi) dari pemerintah, dilakukan hanya untuk melindungi dan juga memperbaiki tinggalan situs sejarahnya. 

Dengan tujuan utamanya adalah menjaga stabilitas perkembangan kawasan Trowulan, serta lingkungan masyarakat yang hidup di sekitar tinggalan situs tersebut. Tinggalan arkeologis bekas permukiman kawasan perkotaan, dapat digunakan sebagai data keruangan arsitektur masa lalu. Potret tinggalan arsitektur dan sejarah unsur kota Majapahit beserta artefaknya, adalah tinggalan arkeologis fisik dan ruang yang dapat dipakai sebagai ekspresi jatidiri bangsa. Kekayaan situs Majapahit adalah bagian dari budaya Nusantara merupakan aset bangsa yang tidak ada duanya di dunia. Arkeologi arsitektur situs ibu kota kuno ini menjadi kekayaan warisan arsitektur Nusantara -dalam memperkaya dunia arsitektur- melebihi ragam kota kuno sebelumnya. Untuk itu, dalam mempertahankan situs permukiman kota kuno Majapahit dari ’pengrusakan’, perlu segera dicegah, baik fisik-kesejarahan, arkeologi-arsitektur maupun keruangannya. Agar tempat ini dapat dijadikan sebagai pusat pengembangan budaya bangsa. Karena warisan budaya menjadi penting, dan bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah situs Majapahit tak mempunyai arti lagi.

Meletakkan Situs Majapahit Dalam Tataran Pelestarian Budaya VIDEO