Arsitektur Dalam Perubahan Kebudayaan

Arsitektur Dalam Perubahan Kebudayaan

Prof.Ir.Eko Budiharjo, MSc

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia. Keragaman Arsitektur tradisional yang tersebar di bentang kawasan Nusantara menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tiada habis-habisnya. Arsitektur tradisional di setiap daerah menjadi lambang kekhasan budaya masyarakat setempat. Sebagai suatu bentuk kebudayaan arsitektur tradisional dihasilkan dari satu aturan atau kesepakatan yang tetap dipegang dan dipelihara dari generasi ke generasi. Aturan tersebut akan tetap ditaati selama masih dianggap dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat.

Pada masa sekarang dimana modernisasi serta globalisasi demikian kuat mempengaruhi peri kehidupan dan merubah kebudayaan masyarakat, masihkan aturan-aturan yang bersumber dari
kebudayaan setempat tersebut diikuti?. Adalah suatu kondisi alamiah bahwa suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun perubahan yang diinginkan adalah perubahan yang tetap memelihara karakter inti dan menyesuaikannya dengan kondisi saat ini. Sehingga tetap terjaga benang merah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

Masyarakat Kudus mungkin merupakan satu kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih memegang ciri kebudayaannya sebagai masyarakat pedagang santri dalam kehidupan kesehariannya. Mata pencaharian sebagai pedagang atau pengusaha serta kesalehannya sebagai umat muslim sangat mewarnai kehidupannya. Karakter kebudayaan yang khas tersebut juga ditemui pada rumah tradisionalnya yang biasa disebut Joglo Pencu. Pada saat ini rumah pencu tersebut sudah mulai jarang ditemui. Sebagian hilang karena di dijual, sebagian berubah karena rusak atau karena mengikuti model dan material baru. Adalah satu hal yang menarik mengetahui gambaran masyarakat Kudus dibalik kemegahan bentuk fisik rumah tinggalnya serta perkembangannya dari masa ke masa.

2. Kebudayaan

Kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas dan pengertiannya tergantung dari bidang, tujuan bahasan atau penelitian tentang kebudayaan tersebut dilakukan. Terdapat konsep kebudayaan yang bersifat materiel, yang dilawankan dengan kebudayaan yang bersifat idiel atau konsep yang mencakup keduanya. A. Kroeber & C. Kluchkohn (dalam Poerwanto, 1997) secara lengkap menyatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan bertingkah laku, eksplisit maupun implisit yang diperoleh melalui simbol yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi. Seperti halnya dinyatakan Koentjaraningrat (2005) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang didapatkannya melalui belajar. Dengan mengkaji lingkungan alam tempat tinggalnya, menyesuaikan diri dan mencoba menarik manfaatnya.

Menurut wujud atau bentuknya kebudayaan dibagi dari yang abstrak sampai ke yang kasat. JJ. Honigman dalam Koentjaraningrat (2005) membagi wujud kebudayaan tersebut dalam 3 bagian, yakni: Sistem Kebudayaan (Cultural System) yang bersifat abstrak berupa nilai atau pandangan hidup, Sistem Sosial (Sosial system) yang berupa pola kegiatan yang sifatnya lebih konkrit serta Kebudayaan Fisik (Physical Culture) berupa peralatan, perabot dan bangunan yang sifatnya paling konkrit. Masing-masing bentuk kebudayaan tersebut berkaitan erat satu sama lain.

Pada semua kebudayaan terdapat unsur-unsur yang selalu ada yang dikategorikan dalam tujuh unsur kebudayaan meliputi: Sistem Religi dan Upacara Keagamaan, Sistim dan Organisasi Kemasyarakatan, Sistem Pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem Mata Pencaharian serta Sistem
Teknologi (Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2005). Unsur budaya tersebut merujuk pada macam atau tema kebudayaan. Sifat unsur kebudayaan tersebut universal, artinya pada kebudayaan apapun ketujuh unsur tersebut ada, hanya komposisinya saja yang akan berbeda. Komposisi inilah yang akan memberikan karakter pada suatu kebudayaan.

3. Perubahan Kebudayaan

Budaya sebagai sebuah sistem tidak pernah berhenti tetapi mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dari dalam maupun dari luar sistem tersebut. Perubahan ini logis terjadi karena aspek proses adaptasi dan belajar manusia sehingga selalu menuju pada tataran serta tuntutan yang lebih baik. Dengan perubahan tersebut waktu dalam arti masa dan kesejarahan menjadi faktor yang perlu diperhitungkan.

Dalam perkembangannya, akibat perpindahan atau hubungan antar masyarakat dalam berbagai
kegiatan, persinggungan bahkan percampuran antara kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain tidak akan terhindarkan. Proses pertemuan dua kebudayaan yang berbeda menyebabkan terjadinya akulturasi dan asimilasi (Poerwanto, 1997). Akulturasi terjadi ketika kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang saling berbeda berhubungan langsung dan intensif sehingga kemudian menyebabkan perubahan pola kebudayaan pada salah satu atau kedua kebudayaan tersebut (Syam, 2005). Syam menyebutkan bahwa akulturasi lebih merupakan pengkayaan suatu kebudayaan tanpa merubah ciri awal kebudayaan tersebut. Asimilasi adalah proses peleburan kebudayaan dimana satu kebudayaan dapat menerima nilai-nilai kebudayaan yang lain dan menjadikannya bagian dari perkembangan kebudayaannya (Park dan Burgess dalam Poerwanto, 1997).

Rapoport (1994) menyebut akulturasi ini sebagai salah satu bentuk kebudayaan berkelanjutan (Cultural Sustainability) yang merupakan upaya suatu kebudayaan agar dapat bertahan. Rapoport, menyatakan, walaupun suatu kebudayaan pasti berubah, yang diharapkan adalah sebuah perkembangan, dengan tetap mempertahankan karakter dari kebudayaan tersebut. Perubahan lebih merupakan adaptasi terhadap tuntutan dan tatangan baru agar kebudayaan tersebut dapat tetap hidup. Dengan demikian ada bagian-bagian yang tetap eksis dan menjadi ciri kuat dari kebudayaan tersebut serta ada bagian-bagian yang berubah menyesuaikan perkembangan jaman (continuity and change). Unsur-unsur yang tetap dipertahankan dan diturunkan antar generasi menjadi tradisi kebudayaan.

4. Arsitektur Dalam Perubahan Kebudayaan

Dalam membahas arsitektur, terdapat tiga aspek yang sangat terkait di dalamnya, yakni contend, container dan context. Contend menyangkut isi, yakni manusia sebagai penghuni dengan segala aktifitas dan kebudayaanya. Container menyangkut wadah, bentuk fisik, lingkungan binaan atau bangunan yang mewadahi kegiatan manusia tersebut. Context menyangkut tempat, lingkungan alam dimana wadah dan isinya berada. Perubahan diantara ketiganya akan menyebabkan berubah pula yang lain.

Dalam hal perubahan budaya, bentuk perubahan lingkungan permukiman tidak berlangsung spontan dan menyeluruh, tetapi tergantung pada kedudukan elemen lingkungan tersebut dalam sistern budaya (sebagai core atau sebagai peripheral elemen). Hal ini mengakibatkan adanya, elemen-elemen yang tidak berubah serta ada elemen-elemen yang berubah mengikuti perkembangan. Elemen yang tetap akan menjadi ciri khas dan pengenal dari arsitektur suatu daerah pada skala yang luas, sementara elemen yang berubah akan menjadi farian dan keragaman pada lingkup atau daerah yang lebih kecil.

Arsitektur sebagai wujud nyata kebudayaan dapat dipastikan akan ikut terimbas mana kala kebudayaan sebagai suatu sistem keseluruhan mengalami perubahan. Bahkan sebagai bentuk kebudayaan yang kedudukannya paling luar, arsitektur merupakan bentuk kebudayaan yang paling rentan berubah. Sebagai bentuk adaptasi, perubahan-perubahan bentuk arsitektur tersebut akan mewakili kondisi kebudayaan pada saat itu, yang apabila dirangkaikan akan dapat bercerita tentang sejarah suatu kebudayaan.

5. Arsitektur Tradisional

Arsitektur sebagai produk kebudayaan akan mencerminkan peradaban masyarakat setempat. Pada kebudayaan yang bertahan karena nilai-nilainya tetap dipegang dan diturunkan antar generasi, akan tercermin pada tampilan arsitektur lingkungan binaannya. Wujud fisik kebudayaannya dikenal sebagai arsitektur tadisional. Arsitektur tradisional kerap dipadankan dengan Vernakular Architecture, Indigenous, Tribal (Oliver dalam Martana, 2006), Arsitektur Rakyat, Anonymus, Primitive, Local atau Folk Architecture (Papanek dalam Wiranto, 1999). Juga disebut sebagai Arsitektur Etnik (Tjahjono,1991). Istilah-istilah tersebut diatas saling terkait dan pada penggambarannya sulit dipisahkan satu sama lain. Beberapa persamaannya adalah karakter spesifik yang merujuk pada budaya masyarakat, keterkaitan yang dalam dengan lingkungan alam setempat (lokalitas), serta bersumber dari adat yang diturunkan antar generasi dengan perubahan kecil.

Menurut Oliver (2006) arsitektur vernakular (dalam bahasan ini akan disebut sebagai arsitektur
tradisional) dibangun oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam pandangan hidup masing-masing masyarakat. Kebutuhan khusus dari nilai-nilai yang bersifat lokal ini menimbulkan keragaman bentuk antar daerah. Kekhasan dari masing-masing daerah tergantung dari respon dan pemanfaatan lingkungan lokalnya yang mencerminkan hubungan erat manusia dan lingkungannya (man & enfironment). Jadi keragaman arsitektur tradisional mencerminkan besarnya fariasi budaya dalam luasnya spektrum hubungan masyarakat dan tempatnya. Karakter kebudayaan dan konteks lingkungannya menjadi fokus bahasan arsitektur tradisional. Nilai-nilai yang cocok dan dapat memenuhi kebutuhan dipertahankan dan menjadi tradisi yang diturunkan dari ayah ke anak. Tradisi ini akan tetap dipertahankan bila mempunyai makna, baik praktis maupun simbolis.

B. KEBUDAYAAN PESISIRAN JAWA: KUDUS

1. Kebudayaan Jawa

Kebudayaan Jawa merupakan bagian dari rangkaian lebih kurang 500 kebudayaan daerah yang menyusun kebudayaan Nusantara. Wilayah kebudayaan Jawa meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur, tidak termasuk daerah Pasundan di Jawa Barat serta Madura di Jawa Timur. Secara umum kebudayaan Jawa dikenal sebagai kebudayaan yang berkembang di lingkungan keraton di pedalaman Jawa yakni Keraton di Yogyakarta dan Surakarta (Koentjaraningrat, 1984). Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan aristokratis (kerajaan) dengan latar kehidupan agraris (pertanian). Dalam aspek religi masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sebagian besar beragama Islam Sinkretik, yang sudah bercampur dengan agama Hindu, Budha serta kepercayaan setempat (Geertz, 1960). Pandangan Hidup orang Jawa menekankan pada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan. Sikap narimo, menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (Mulder, 1984). Masyarakat Jawa hanya mengenal dua stratifikasi masyarakat yakni Penggede serta Wong Cilik (Castless, 1982). Dalam interaksinya, Penggede menjadi golongan yang superior yang dilayani dan disembah oleh Wong Cilik. Bahasa Jawa bertingkat-tingkat sebagaimana masyarakatnya. Penggunaan jenis bahasa dalam pembicaraan tergantung pada siapa lawan bicaranya serta dalam konteks apa pembicaraan tersebut berlangsung (Suseno, 1991).

Dalam bentukan arsitektur rumah tradisional terdapat farisasi bentuk yang dibedakan menurut atapnya. Dari yang paling sederhana, yakni: Panggang Pe, Kampung, Limasan, Joglo dan Tajug. Diantara bentuk-bentuk rumah tersebut Joglo merupakan bentuk yang paling utama, biasa digunakan pada rumah-rumah para bangsawan. Atap Tajug tidak diperuntukkan untuk atap rumah karena hanya digunakan untuk makam, dan bangunan peribadatan. Dalam membangun rumahnya masyarakat Jawa banyak melihat pada strata sosialnya. Nilai-nilai budaya Jawa seperti pembagian dua (dualitas) serta pemusatan (sentralitas) terungkap dalam bentukan fisik serta keruangan rumah Jawa, terutama pada rumah Jawa Tipe Joglo (Tjahjono, 1989).

Kebudayaan Jawa sendiri menurut Koentjaraningrat bukan merupakan kebudayaan yang tunggal (Koentjaraningrat, 1984). Koentjaraningrat membagi kebudayaan Jawa menjadi beberapa wilayah kebudayaan, yaitu: Banyumas; Bagelen; Nagarigung; Mancanagari; Sabrang Wetan dan Pesisir. Daerah Pesisir terbagi lagi menjadi dua wilayah yaitu Pesisir Barat yang berpusat di Cirebon dan Pesisir Timur yang berpusat di Demak (Pigeud dalam Koentjaraningrat, 1984).

2. Kebudayaan Pesisiran

Kebudayaan pesisir merupakan kebudayaan yang terdapat di kota-kota pantai utara Jawa. Kawasan yang dalam sejarahnya banyak dipengaruhi aktifitas perdagangan serta penyebaran agama Islam. Masyarakat Pesisir mepunyai karakter egaliter, terbuka dan lugas (Thohir, 2006). Egaliter karena menganggap setiap manusia mempunyai kedudukan yang sejajar. Terbuka dalam menyampaikan pendapat dan perasaannya, mudah akrab dan tidak mudah curiga. Lugas, dalam berkomunikasi lebih suka langsung pada pokok pembicaraannya, lebih mementingkan isi daripada cara menyampaikannya. Thohir menganggap karakter ini berkaitan dengan lingkungan, agama serta mata pencahariannya. Kebudayaan masyarakat Pesisir ini lebih berorientasi ke masjid dan pasar daripada keraton dan sawah yang menjadi ciri kebudayaan Nagarigung.

Penduduk pesisiran merupakan masyarakat muslim yang puritan atau lebih dikenal dengan istilah santri. Mereka taat melaksanakan shalat lima waktu serta, shalat Jun’at di masjid, cakap mengaji Al Quran, tidak makan daging babi serta minum-minuman keras, menunaikan ibadah haji merupakan salah satu cita-citanya (Koentjaraningrat, 1984). Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah pedagang ataupun pengusaha, terutama barang kerajinan, pakaian, palawija serta rokok. Mereka adalah pengusaha dan pedagang yang rajin, ulet, pekerja keras serta ahli dalam bidangnya. Para pedagang pesisir ini mempunyai orientasi ke luar. Mereka merantau dari kota ke kota untuk menjajakan barang dagangannya untuk waktu yang cukup lama. Sekalipun begitu mereka mempunyai ikatan kelompok dan ikatan terhadap daerah asal yang sangat kuat. Di perantauan mereka tinggal mengelompok dalam kampung yang penghuninya berasal dari daerah yang sama (Geertz, 1977) dan setiap saat-saat tertentu mereka akan pulang ke kampung halamannya.

3. Kebudayaan Pesisiran di Kudus : Masyarakat Pedagang Santri

Pada daerah Pesisir Timur bagian Barat dalam sejarahnya terdapat tiga kota yang cukup terkenal, yakni Demak, Jepara serta Kudus. Demak merupakan pusat kekuasaan kerajaan Demak Bintoro, Jepara merupakan kota pelabuhan penting bagi kerajaan Demak sementara Kudus merupakan kota pemasok hasil bumi untuk Demak dan Jepara yang didatangkan dari pedalaman (Graaf, 1985). Kudus merupakan salah satu pusat kebudayaan Pesisiran di bagian Barat atau Pesisiran Kilen (Koentjaraningrat, 1984) sekalipun Kudus tidak terletak di daerah pantai dan bukan kota pelabuhan.

a. Sejarah Perkembangan Kota

Sejarah kota Kudus banyak dikaitkan dengan sejarah perkembangan agama Islam di Jawa serta sejarah tentang Walisongo. Ja’far Shodiq (yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Kudus), salah seorang Walisongo yang menjadi penghulu di Demak, diperintahkan oleh penguasa Demak untuk menyiarkan agama Islam di Kudus (Salam, 1977). Kudus kemudian berkembang menjadi pusat kegiatan agama Islam. Kejayaan Kudus menurun sepeninggal Sunan Kudus tahun 1550 dan berakhir ketika kerajaan Mataram Islam menguasai hampir seluruh daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sejak abad 18 Kudus berada dibawah kekuasaan Belanda dan dijadikan daerah setingkat Kabupaten.

Pada abad 19 Kudus mengalami perkembangan sosial ekonomi pesat karena meningkatnya produksi pertanian. Daerah Kudus Kulon berkembang menjadi daerah permukiman saudagar-saudagar hasil bumi yang kaya. Perkembangan ini meningkat tajam ketika industri rokok berkembang (akhir abad 19 – awal abad 20). Perkembangan perekonomian surut ketika kondisi politik dan perekonomian tidak stabil (awal abad 20 – 1970). Ketika keadaan kembali stabil perkembangan kota lebih mengarah ke selatan dan Timur, sementara Kudus Kulon tidak mengalami banyak perobahan (Wikantari, 1995).

b. Masyarakat Kudus

Secara sosiologis kota Kudus terbagi menjadi dua yakni Kudus kulon dan Kudus wetan yang dipisahkan oleh sungai (kali Gelis). Kudus-kulon adalah kota lama yang di konotasikan dengan kekunoan, kekolotan, ketertutupan tetapi juga kesalehan serta kemakmuran. Sedangkan Kudus-wetan dikenal sebagai daerah perkembangan yang lebih modern, lebih heterogen serta daerah yang sekuler.

Masyarakat Kudus-kulon dikenal sebagai masyarkat religius, kehidupan keagamaannya mendominasi kehidupan sehari-hari, di sisi lain dikenal sebagai pedagang yang gigih pekerja keras dan terampil. Diantara mereka dikenal ungkapan "Jigang" yang berarti Ngaji (membaca Al Quran) dan Dagang (Perdagangan). Ngaji adalah aktivitas keagamaan yang merupakan pencerminan keta’atan seorang muslim dalam menjalankan perintah agama, sedangkan dagang adalah kegiatan duniawi yang. merupakan upaya manusia memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia. Kegiatan duniawi dan ukhrowi harus dijalankan secara seimbang agar tercapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Keuletan, kecerdikan dan kerja keras sebagai pedagang menyebabkan masyarakat Kudus-kulon berhasil dalam bidang perekonomian. Ketika perdagangan beras dan polowijo mencapai puncak kejayaannya, masyarakat Kudus-kulon berkembang menjadi masyarakat yang makmur, terlebih lagi pada masa keemasan industri dan perdagangan rokok. Kemakmuran ini diwujudkan dengan menunaikan ibadah Haji, membangun masjid lingkungan serta dalam penampilan bangunan rumah tinggalnya. Pada masa itu rumah bukan hanya sarana untuk memertuhi kebutuhan fisik saja, tetapi berkembang menjadi sarana menampilkan aktualisasi diri dari masyarakat pedagang santri, golongan menengah Jawa yang kurang mendapatkan tempat dalam tatanan sosial masyarakat Jawa (Castles,1967).

c. Lingkungan Permukiman

Kota lama Kudus atau Kudus-kulon adalah wilayah kota yang merupakan embrio perkembangan kota Kudus. Wilayah kota lama meliputi daerah-daerah di sebelah barat sungai Gelis, meliputi desa Kauman, Kerjasan, Langgar Dalem, Demangan, Sunggingan, Janggalan, Damaran serta Kajeksan. Secara fisik kawasan pusat Kota lama mempunyai keunikan dibandingkan daerah-daerah lain. Kawasan ini merupakan kawasan permukiman dengan kepadatan bangunan yang tinggi.

Jalan-jalan di lingkungan kota lama dibedakan menjadi jalan besar yang bersifat umum serta jalan lingkungan yang lebih prifat. Jalan-jalan di dalam lingkungan pemukiman berupa lorong-lorong sempit yang berliku-liku. Jalan lingkungan ada yang mengarah utara-selatan yang menyusur di antara pekarangan-pekarangan rumah (disebut lorong) serta jalan yang mengarah barat-timur yang seringkali melintas pekarangan (disebut jalan pintas). Jalan yang sempit berliku-liku menunjukkan jalan tersebut terbentuk setelah permukiman berdiri dan merupakan jalan pintas menuju ke pusat-pusat lingkungan.

Pusat kawasan terdapat pada masjid Menara yang merupakan masjid jami’, sedangkan pada lingkungan permukiman banyak terdapat masjid lingkungan yang merupakan pusat aktivitas masyarakat di sekitamya. Masjid lingkungan digunakan untuk melaksanakan ibadah sehari-hari (shalat lima wktu dan shalat sunnah yang lain) oleh masyarakat di sekitarnya. Masjid menara digunakan selain digunakan untuk kegiatan ibadah sehari-hari bagi masyarakat di sekitar masjid juga kegiatan peribadatan yang skalanya lebih besar. Sebagai pusat lingkungan masjid tidak hanya digunakan untuk kegiatan peribadatan dan pendidikan keagamaan, namun juga sebagai tempat kegiatan sosial.

Pola permukiman secara umum dibedakan menjadi dua, yakni pola rumah-rumah deret serta pola rumah-rumah tunggal. Pola rumah-rumah deret terdiri dari kelompok bangunan yang berderet rapat dari Barat ke Timur, antara rumah satu dan lain dalam satu kelompok tidak terdapat batas yang jelas. Pola kedua yakni permukiman dengan rumah-rumah tunggal ditandai dengan letak rumah yang berdiri sendiri dengan batas pekarangan yang jelas.

d. Rumah Tradisional Kudus

Rumah tradisional Kudus merupakan kesatuan beberapa bangunan yang berfungsi untuk tempat tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Pola tata bangunan terdiri dari bangunan utama, yakni: Dalem atau rumah induk, Jogosatru di sebelah depan serta pawon di samping Dalem. Di tengah tapak atau di depan bangunan utama terdapat halaman terbuka (pelataran), sedangkan di seberangnya terdapat kamar mandi dan sumur (Pekiwan) serta Sisir. Regol terletak disisi samping halaman.


Dalem merupakan bangunan utama yang digunakan untuk tidur serta kegiatan yang sifatnya prifat. Di dalanya terdapat Gedongan, yakni sentong tengah Kesehariannya dibiarkan kosong atau untuk tempat sholat, pada saat upacara pernikahan digunakan sebagai kamar pengantin. Jogosatru merupakan ruang untuk menerima tamu, terletak di depan Dalem. Pawon digunakan sebagai kegiatan bersama keluarga (disebut pawon ageng) serta tempat memasak pada bagian belakang (pawon alit), ruangan ini paling sering digunakan dalam kehidupan keseharian. Sumur dan kamar mandi terletak di sebelah depan, dipisahkan halaman dari bangunan utama. Merupakan ruang ruang serfis, digunakan untuk mandi, mencuci serta berwudlu. Sisir terletak di sebelah kamar mandi, berbentuk los memanjang. Fungsi bangunan ini merupakan tempat kerja atau tempat penyimpanan (gudang) atau ruang serba guna.


C. KAJIAN ARSITEKTUR TRADISIONAL KUDUS DALAM PERUBAHAN KEBUDAYAAN

Mengkaji perkembangan arsitektur dalam perubahan kebudayaan dengan studi kasus Kudus kulon akan merujuk pada interpretasi terhadap sejarah kebudayaan masyarakat Kudus dikaitkan dengan perkembangan arsitektur, khususnya rumah tradisionalnya. Apa yang diungkapkan berikut adalah satu interpretasi atau pendapat yang sifatnya masih terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut. Tujuan yang lebih utama adalah untuk memberikan gambaran bahwa perubahan pada kebudayaan akan tercermin pada perubahan arsitektur, mengingat arsitektur merupakan artefak dari kebudayaan.


1. Periode Sebelum Islam, Sampai Akhir Abad 15

Kondisi geografis Kudus pada saat itu terletak di dataran lembah dengan gunung Muria di sisi utara dan daerah rawa-rawa di sisi selatan. Daerah ini diperkirakan merupakan sisa-sisa kanal atau selat yang pernah memisahkan pulau Muria dengan pulau Jawa. Kemungkinan telah terdapat permukiman kecil disebut Tajug yang dihuni masyarakat penganut agama Hindu ditepi sungai Gelis dengan matapencaharian sebagai petani (Wikantari, 1994). Disamping agama Hindu, kepercayaan asli setempat (dinamisme dan animisme) masih dipegang teguh.

Kelompok permukiman penganut hindu terdiri dari rumah-rumah penduduk dan kemungkinan terdapat asrama (mandala) serta tempat ibadah (kuil). Rumah-rumah kemungkinan berbentuk kampung atau limasan dengan material bambu atau kayu. Konstruksi rumah berbentuk panggung untuk mengatasi kondisi alam berawa-rawa. Atap bangunan menggunakan rumbia, yang merupakan bahan bangunan yang mudah didapatkan di sekitarnya. Bangunan peribadatan dibangun dengan menggunakan bahan yang lebih awet, teknik membangun yang lebih rumit serta ornamentasi pada bangunan yang merepresentasikan kemuliaan dan keabadian. Material utama menggunakan batu bata (tanah liat yang dibakar) yang disusun berlapis tanpa pengikat semen.


2. Periode Pengembangan Agama Islam, Awal – Pertengahan Abad 16

Sebelum kedatangan Ja’far Shodiq telah datang terlebih dahulu The Ling Sing, penyiar agama Islam dari Yunan (China) yang selain menyebarkan agama Islam juga mengajarkan ketrampilan mengukir atau menyungging pada masyarakat. Ja’far Shodiq datang kemudian dengan pengikut-pengikutnya ke Kudus untuk menyebarkan agama Islam, mengembangkan permukiman baru serta mulai memperkenalkan ketrampilan berdagang. Penyebaran agama Islam dilakukan secara persuasif serta menghormati keyakinan yang sudah ada lebih dahulu. Ja’far Shodiq membangun masjid Al Manaar, membagi-bagikan tanah pada pengikutnya dan mendirikan kota. Pengaruh Cina serta Timur Tengah masuk dalam kebudayaan masyarakat, disamping Hindu dan Jawa. Demikian juga struktur masyarakat berkembang dengan tatanan yang lebih kompleks.


Masjid yang awalnya kecil kemungkinan dibangun di bekas tempat peribadatan Hindu, atau dengan mempergunakan pengetahuan membangun tempat ibadah Hindu yang disesuaikan untuk Masjid. Diversifikasi bentuk bangunan bangunan mulai di kenal untuk merepresentasikan fungsi atau penghuninya. Atap bangunan peribadatan berbentuk tajuk, bangunan untuk petinggi atau penguasa berbentuk limas dan Kampung untuk masyarakat umum. Penggunaan material kayu jati untuk bangunan penting. Ukiran atau ornamentasi mulai dikenal sebagai elemen penghias bangunan penting. Rumah biasa mungkin tetap menggunakan bahan bambu serta beratap kampung dari bahan rumbia. Pusat Kota berupa pelataran terbuka diletakkan berebelahan dengan sungai. Pelataran ini sekaligus digunakan sebagai pasar. Di sisi barat terdapat Masjid yang menghadap pelataran tersebut. Di sisi selatan masjid terdapat Pendopo yang diperkirakan merupakan bangsal istama, kemungkinan lain istana atau rumah Sunan Kudus terdapat di sisi utara kawasan dengan masjid pribadinya, Langgar Dalem. Dengan membagi-bagikan tanah disekitarnya pada pengikutnya, Sunan Kudus sudah meletakkan dasar-dasar tata kota Kudus.


3. Periode Kekuasaan Mataram Islam, Awal Abad 17 – Akhir Abad 18

Dengan jatuhnya kekuasaan Demak ke Pajang dan kemudian Mataram, kekuasaan kerajaan bandar berpindah ke selatan, ke kerajaan agraris yang veodal, saat itu Kudus berkembang menjadi pemasok beras dan palawija dari pedalaman ke bandar Demak, Jepara serta tempat-tempat lain. Perdagangan keliling lambat laun menjadi mata pencaharian penting masyarakat Kudus dan memberikan peningkatan sosial ekonomi pada masyarakat, menjadi kelopok masyarakat yang makmur dan mandiri.


Orientasi masyarakat Kudus waktu itu banyak ditujukan ke Nagarigung sebagai ibukota kerajaan. Kemampuan ekonomi hasil perdagangan diwujudkan dengan pembangunan rumah-rumah dari bahan yang lebih baik, kayu jati. Bentuk Joglo yang menjadi lambang kebangsawanan menjadi bentuk yang disukai untuk menaikkan derajat sosial. Tata ruang rumah mengalami penyederhanaan dengan hanya meliputi Dalem serta pawon. Tata ruang rumah yang ringkas ini kemungkinan ada hubungannya dengan perkembangan peduduk kota yang mulai padat, terutama di sekitar pusat Kawasan (Masjid Menara). Arah selatan yang menjadi orientasi rumah tetap dipatuhi, sehingga menimbulkan pola rumah berderet pada kapling-kapling yang mulai ramai.


4. Periode Kekuasaan Kolonial Belanda, Abad 18

Pada masa kekuasaan kolonial belanda, Kudus dijadikan wilayah pemerintahan setingkat kabupaten dan pejabat-pejabat pemerintah lansung diangkat oleh Belanda. Hubungan dengan Nagarigung menjadi terputus dan penguasa-penguasa Kudus menjadi semacam raja. Belanda memindahkan pusat kota ke sebelah Barat kali Gelis dan kota lama dibiarkan tetap dalam kondisi tradisionalnya. Perdagangan keliling semakin ditekuni masyarakat kota lama Kudus. Demikian pula dengan kehidupan keagamaannya. Menguatnya perekonomian masyarakat menummbuhkan tuntutan aktualisasi diri pada masyarakat Kudus. Sayang tuntutan tersebut tidak mendapat respon yang positif. Pergesekan dengan pemerintah Belanda, masyarakat Jawa sendiri serta orang China mulai sering terjadi. Ikatan diantara masyarakat semakin kuat karena karakteristik kelompok masyarakat tersebut.

Pengaruh kolonial Belanda dan eropa tercermin pada penggunaan elemen-elemen non kayu yang mulai mewarnai rumah Kudus. Unsur keamanan mulai diperhatikan masyarakat dengan membangun pagar-pagar halaman. Ketertutupan terhadap masyarakat luar serta ikatan kelompok yang berkembang diwujudkan dengan adanya dinding-dinding pembatas. Masyarakat mengembangkan kehidupannya dibalik tembok pembatas. Bentuk rumah berkembang menyesuaikan tradisi masyarakat. Emperan rumah mulai ditutup dan diperbesar untk menerima tamu.


5. Periode Kejayaan Sosial Ekonomi, Abad 19 – Awal Abad 20

Menjelang akhir abad 19 kota Kudus mengalami peningkatan kemakmuran berkat melimpahnya hasil pertanian daerah sekitarnya, terutarna. beras, polowijo dan gula jawa. Hasil panen ini menjadi mata dagangan penting bagi pedagang pedagang Kudus. Aktivitas perdagangan mengharuskan mereka menjelajah sampai di tempat tempat yang jauh (biasa disebut belayar) yang memakan waktu berminggu minggu sampai berbulan¬-bulan. Setelah berkeliling dan sukses mereka kemudian kembali (berlabuh) atau menetap di suatu kota. Sementara para suami berlayar, kaurn wanita Kudus melakukan kegiatan kerajinan rumah tangga atau berdagang kecil kecilan. Hasil kerajinan rumah tangga berupa batik, bordir dan tenun ikut menjadi mata dagangan dari suami suami mereka.

Pada paruh pertama abad 20 Kudus menjadi terkenal karena pabrik rokok kreteknya. Industri yang semula merupakan kerajinan rumah tangga berkernbang menjadi industri besar 13). Kemajuan perdagangan dan industri pribumi menarik kalangan masyarakat Cina untuk beramai ramai ikut terjun dalam industri rokok. Persaingan ini mernicu pertentangan antar etnis yang sengit dan berlarut larut 14). Perkembangan ini lebih dipertajam ketika industri rokok berkembang (akhir abad 19 awal abad 20). Perkembangan ini menyebabkan kepercayaan diri yang besar dari masyarakat Kudus berkembang. Mereka membangun strata sosial sendiri menjadi kaum borjuis. Tuntutan aktualisasi diri menjadi semakin kuat melawan perlakuan masyarakat luar yang dianggap kurang menghargai.

Jalan jalan kereta api di dibangun untuk mengantisipasi perkembangan industri gula dan produksi beras. Daerah Kudus kulon berkembang menjadi daerah permukiman saudagar saudagar hasil bumi yang kaya dari hasil perdagangan. Rumah-rumah besar dibangun dengan bentuk Joglo yang dimodifikasi. Brunjung atau bagian atas dari atap Joglo dibuat lebih tinggi, dikenal sebagai Joglo Pencu. Ornamentasi semakin rumit dan halus serta menghiasi hampir seluruh permukaan dinding rumah, terutama ruang Jogosatru dan Gedongan. Elemen-elemen khusus yang hanya di temui di Rumah tradisional Kudus memperkuat karakter rumah. Musholla-musholla mulai banyak didirikan untuk mendekatkan dengan rumah. Sumur dan kamar mandi mungkin sudah dibuat di depan rumah sejak awalnya. Untuk mempermudah kegiatan ibadah yang perlu bersuci sebelum ke masjid atau musholla. Bangsal didirikan di depan rumah untuk menampung barang dagangan atau untuk tempat kerja produksi Rokok. Gudang gudang dan pabrik rokok banyak didirikan di Kudus kulon.


6. Periode Surutnya Kejayaan Sosial Ekonomi, Awal Abad 20 – Tahun 1970an

Perkembangan perekonomian surut ketika kondisi politik dan perekonomian tidak stabil (awal abad 20 1970). Banyak perusahaan yang bangkrut dan gudang gudang terbengkalai. Industri Rokok yang pernah mengantarkan sosial ekonomi ke puncak kejayaan beralih ke tangan orang-orang China yang mengembangkannya menjadi Industri raksasa dengan dukungan pemerintah. Bagi masyarakat Kudus sendiri industri rokok tidak pernah bangkit kembali. Hanya beberapa keluarga keturunan pengusaha rokok besar yang masih meneruskan usahanya dalam skala kecil. Surutnya perekonomian membawa dampak pada kehidupan masyarakat, namun tidak pernah menghilangkan semangat perdagangan dan usaha mandiri masyarakat.

Rumah-rumah Kudus mulai menjadi obyek yang bermasalah. Kondisi sosial ekonomi masyarakat saat itu tidak lagi mampu mendukung keberadaan rumah-rumah tradisional Kudus. Demikian juga dengan ketersediaan material kayu jati yang semakin langka. Elemen-elemen bangunan yang rusak mulai diganti dengan elemen yang lebih murah dan awet. Jumlah penghuni yang berkembang juga mulai merubah fungsi-fungsi awal dari ruangan yang ada. Namun secara keseluruhan bangunan tidak mengalami perubahan. Bangunan bangunan baru yang didirikan tidak lagi menerapkan bangunan tradisional karena alasan kepraktisan serta biaya.



7. Masyarakat Kudus Kulon Saat Sekarang

Akhirnya ketika keadaan lebih stabil penataan perkembangan kota mulai dilakukan Kudus berkembang menjadi kota industri kecil. Perluasan kota mengarah ke selatan dan timur, sementara kota lama tidak mengalami banyak perubahan. Pada sisi kehidupan sosial masyarakat. Kegiatan industri rokok sudah mulai di tinggalkan. Beberapa industri kecil rumahan seperti jamu sempat berkembang sebentar diantara masyarakat. Industri yang terus bertahan adalah industri Konfeksi. Pada tahun-tahun terakhir mulai bermunculan industri kerajinan ukir untuk perabot serta elemen bangunan, walaupun jumlahnya tidak terlalu banyak dan letaknya tersebar di wilayah Kota Kudus (Wikantari, 2001) dan yang sampai sekarang terus berkembang dengan pesat adalah industri bordir.

Ketika masa kemakmuran berlalu, banyak rumah rumah dan fasilitas-fasilitas perekonomian yang kemudian terbengkalai. Perselisihan yang terjadi diantara keluarga keturunan pemilik rumah, kesulitan ekonomi serta rumitnya perawatan rumah seringkali berakhir dengan dijualnya rumah rumah tersebut. Di sisi lain keunikan dan kemewahan rumah Kudus sangat menarik minat orang-orang di luar Kudus, bahkan luar negeri untuk memilikinya. Akibatnya dari tahun ke tahun jumlah rumah tradisional terus berkurang. Tahun 2003 Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah telah melakukan inventarisasi dan hanya menemukan 33 rumah adat kudus dan 68 rumah diseluruh kota Kudus.

Berkurangnya rumah tradisional Kudus juga disebabkan karena sifat kayu yang tidak tahan terhadap cuaca dan waktu dibandingkan dengan material batu atau beton. Kecuali yang selalu dirawat dengan seksama, rumah-rumah tradisional yang sudah lewat seratus tahun sudah mulai lapuk dan rusak. Dalam perkembangannya kemudian rumah rumah di daerah ini banyak mengalami perubahan perubahan baik dalam hal penggunaan bahan bangunan maupun dalam corak arsitektur bangunannya. Ada yang hanya berubah sedikit pada elemen-elemen bangunannya, berubah satu unit bangunan yang hilang dan digantikan bangunan baru atau yang berubah sama sekali, walaupun ada pula yang masih tetap berusaha untuk tetap mempertahankannya.

Perkembangan kebudayaan masyarakat Kudus serta bentukan rumah tinggalnya secara ringkas dapat dilihat pada tabel di bawah:


D. PENUTUP

Rentetan peristiwa dalam kesejarahan masyarakat Kudus kulon membawa perkembangan perubahan dalam kebudayaan masyarakat Kudus. Akulturasi dari berbagai kebudayaan (kebudayaan lokal, Hindu, Islam, Cina, Kolonial, Eropa) mewarnai kebudayaan Kudus sampai saat ini. Perkembangan dari masa kemasa tersebut tercermin pada perkembangan artefaknya, yakni rumah traisional Kudus. Dari gambaran morfologi rumah tradsional Kudus dalam perkembangan kesejarahannya dapat dilihat bagaimana rumah tradisional sampai pada bentuk seperti sekarang. Sebagaimana dikatakan Rapoport, Oliver, Nash, Tjahjono, bahwa suatu kebudayaan yang bentuknya tercermin dalam arsitektur akan selalu berubah atau berkembang. Selama nilai nilai yang dipatuhi masih dianggap berguna serta cocok dalam menghadapi tantang kehidupan, maka nilai-nilai tersebut masih akan lestari atau lentur berubah dengan tetap mempertahankan karakteristik intinya.



DAFTAR PUSTAKA

Castles, Lance, 1982, Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa : Industri Rokok Kretek Kudus, sinar harapan, Jakarta.
De Graaf, H.J., dan Pigeoud, T.H., 1985, Kerajdan kerajdan Islam & Jawa, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Geertz, Clifford, 1960, 7he Religion of Java, The university of Chicago Press, London.
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, Jakarta.
………………..., 2005, Pengantar Antropologi Budaya
Martana. Salman P, 2006, Problematika Penerapan Vield Research Dalam Penelitian Arsitektur Vernakular di Indonesia, Dimensi Teknik Arsitektur vol. 34
Mulder, Neils, 1984, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Poerwanto, Hari, 1997, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Depdikbud, Jakarta
Rapoport, Amos, 1983, Development, Culture Change and Suportive Design, Pergamon Press, New York
………………..., 1994, Sustainability, Meaning & Traditional Environment. IASTE Converence, Tunis
Salam, S, 1977, Kudus Purbakala Dalam Perjuangan Islam, Menara Kudus, Kudus
Soetomo, Soegijono, 2009, Urbanisasi dan Morfologi, Graha Ilmu, Yogyakarta
Syam, Nur, 2005, Islam Pesisir, LKIS, Yogyakarta
Thohir, Mudjahirin, 2006, Orang Islam Jawa Pesisiran, Fasindo, Semarang
Tjahjono, Gunawan, 1989, Cosmos Centre and Duality In Javanese Architectural Tradition : The Symbolik Dimention of House Shapes in Kota Gede and Surroundings, Disertasi , University of California, Barkelay.
Wikantari, Ria R., 1995, Save guarding A Living Heritage A Model for The Architectural Conservation of an Historic Isimnic District of Kudus Indonesia, Thesis University of Tasmania, Tasmania.
…………………., 2001, Sustainability Historic Enviroment of Wooden Traditional Houses in The City of Java, Disertasi, University of Kobe, Japan.