Jangan Sampai Dijadikan Lokasi Perjudian - Menyelamatkan Toko Merah

Jangan Sampai Dijadikan Lokasi Perjudian - Menyelamatkan Toko Merah

Monday, July 21st, 2003

JAKARTA-Memerangi praktik perjudian, khususnya di Jakarta dan di wilayah lain pada umumnya, memang kedengarannya merupakan mission impossible alias suatu hal yang mustahil untuk dilakukan. Pengamat-pengamat masalah sosial atau bahkan masyarakat awam sendiri bila ditanya perihal perjudian akan berkata, ”Itu kesalahan pemerintah yang seringkali menjadi munafik kalau bicara tentang judi dan prostitusi, padahal kalau dilokalisasi dengan benar bisa mendatangkan sumber pajak yang besar untuk negara.”

Masih segar dalam ingatan kita mengenai perdebatan di kalangan anggota Dewan maupun pemerintahan mengenai upaya untuk melegalkan dan melokalisasi praktik perjudian di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu sampai pada akhirnya rencana itu sendiri ”tutup buku” karena banyak yang menentang.

Praktik perjudian kemudian terus tumbuh dengan beragam bentuk dan jenisnya sampai di pelosok-pelosok Jakarta. Lebih parahnya lagi, sekelompok orang yang mempunyai modal besar kemudian berusaha menggunakan bangunan tua yang notabene merupakan gedung cagar budaya sebagai sarang untuk membangun kerajaan judinya.

Fakta inilah yang ditemukan SH ketika melihat Toko Merah yang merupakan satu-satunya bekas rumah tinggal elite di zaman kejayaan VOC, yang paling utuh dan terawat sampai saat ini. Dari pengamatan SH, gedung yang terletak di Jalan Kalibesar Barat No. 11, Jakarta Barat, dalam proses pembangunan dan pengalihfungsian menjadi lokasi judi. Hal ini terlihat dari meja-meja judi yang sudah tersusun di lantai dasar. Selain itu pekerja-pekerja juga terlihat sibuk membuat meja-meja judi yang baru.

Seperti yang diketahui, Toko Merah merupakan gedung cagar budaya yang masuk klasifikasi A. Artinya tidak dapat diubah sedikit pun baik di bagian dalam maupun luar bangunannya.
Buntut dari fenomena ini kemudian muncul kritik dari kalangan pemerhati gedung-gedung kuno maupun dari kalangan Pemda DKI untuk mengimbau agar usaha untuk membangun lokasi perjudian di Toko Merah segera dihentikan.

”Kita akan mengecek kebenaran informasi tersebut. Jikalau benar kita akan lakukan tindakan untuk menghentikannya,” ujar Gubernur Sutiyoso seperti yang dilansir harian ini beberapa hari sebelumnya.

Kritikan yang sama juga disampaikan Pater A. Heuken SJ, pemerhati sekaligus penulis buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta. Ia mengatakan memang dalam kenyataannya satu per satu gedung bersejarah di kota Jakarta sudah beralih fungsi menjadi tempat hiburan termasuk perjudian. Kenyataan ini, menurut Romo Heuken, akan sangat memperihatinkan dan sebaiknya pemerintah segera melakukan tindakan yang lebih proaktif untuk menyelamatkan gedung-gedung tua bersejarah.

Dijadikan Museum
Perihal usaha Toko Merah yang akan dijadikan sebagai lokasi perjudian, Thomas Ataladjar, salah satu staf PT Dharma Niaga yang bertanggung jawab untuk mengelola gedung ini mengatakan bahwa Toko Merah sebagai salah satu aset Badan Usaha Milik Nagara sebenarnya diusulkan untuk dipertimbangkan menjadi sebuah Museum Pelayaran dan Perdagangan. Karena dalam sejarahnya, pemakaian gedung Toko Merah sering digunakan menjadi gedung perkantoran untuk usaha industri, perdagangan ekspor maupun impor.

”Itulah target kita ke depan untuk Toko Merah. Makanya saya terkejut sekali dan baru tahu dari Saudara kalau bangunan itu mau dijadikan tempat judi. Toko Merah merupakan bukti bangunan bersejarah yang harus selalu dijaga dan diperhatikan. Mengenai Toko Merah sudah saya sampaikan ke Ratu Beatrix. Kalau seandainya dia mau melihat Toko Merah apa jadinya,” ujar Thomas Ataladjar, kepada SH.

Toko Merah merupakan salah satu dari 216 monumen cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta yang dibangun pada tahun 1730 oleh Gustaff Willem Baron van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC, sebagai rumah tinggal yang kembar sifatnya. Selanjutnya, Toko Merah kemudian seringkali digunakan menjadi tempat penginapan bahkan perkantoran hingga saat ini.
Asal-usul sebutan Toko Merah sendiri memiliki kisah panjang. Namun, nama resmi yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta bagi bangunan tua ini adalah Toko Merah.
Sebelumnya, gedung tersebut pernah bernama Hoofd Kantoor Jacobson van den Berg. Dinamakan demikian karena digunakan sebagai gedung kantor pusat dari NV. Jacobson van den Berg, salah satu perusahaan the big five milik Belanda yang pernah jaya di zamannya.
Namun ternyata, nama Toko Merah telah jauh lebih populer. Hampir semua kepustakaan Belanda yang menulis mengenai Batavia Lama dan menyinggung mengenai tata bangunan era VOC menggunakan sebutan Toko Merah dan bukan Red Shop dalam bahasa Inggris atau Rode Winkel dalam bahasa Belandanya.

Awal penggunaan nama Toko Merah bagi gedung tua ini bermula pada salah satu fungsi yang diembannya sebagai sebuah toko milik seorang warga Cina. Tepatnya pada tahun 1851, seorang warga Cina, Oey Liauw Kong menjadi pemilik bangunan ini dan menjadikannya sebagai rumah toko (ruko).

Hal ini memberi pengaruh arsitektur Cina yang kental. Tembok depan bangunan yang terbuat dari susunan batu bata yang tidak diplester kemudian dicat dengan warna merah hati ayam.
Karena warnanya itulah, bangunan tua tersebut lebih populer dengan sebutan Toko Merah. Toko Merah, menurut Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta, kualitas arsitekturnya bisa dikatakan yang terbaik di antara bangunan-bangunan bersejarah di DKI Jakarta.

Melindungi Toko Merah
Begitu berharganya nilai sejarah bangunan ini, maka pemeritahan terdahulu berusaha mengeluarkan peratuan-peraturan untuk melindungi dan melestarikan Toko Merah dan gedung-gedung bersejarah lainnya secara umum di wilayah DKI Jakarta.

Sebagai contoh, sejak pemerintahan kolonial Belanda, bangunan tua dan bersejarah telah diupayakan untuk dilindungi dan dijaga kelestariannya terutama nilai-nilai sejarahnya, seni dan budayanya dengan dikeluarkannya Monumenten Ordonantie tahun 1931 (Staatsblad No. 238/1931) dan telah diubah dengan Monumenten Ordonantie No. 21 thaun 1934 (Staatsblad Tahun 1934 No. 515).

Upaya yang sama juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta pada masa itu Ali sadikin yang sangat concern dengan bangunan-bangunan kuno di DKI Jakarta. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No.cb.11/1/12/72, tanggal 10 Januari 1972 yang intinya menetapkan tentang pemugaran dan pelestarian bangunan-bangunan kuno yang bersejarah.

Akan tetapi, dalam perjalanan sejarahnya, usaha pemerintah pada masa terdahulu ternyata hanya berlaku pada masa itu saja. Kenyataannya satu per satu bangunan bersejarah mulai hilang ditelan pembangunan kota.

Tak satu pun yang dapat menunjukkan di mana keberadaan bangunan Kastil Batavia, Hotel Des Indes, Societat Harmonie. Semua bangunan tua yang disebutkan itu sudah hilang tanpa bekas, rata dengan tanah.

Akankah Toko Merah dan bangunan-bangunan bersejarah lainnya akan bernasib sama? Hanya pemerintah dan kesadaran masyarakat akan nilai sejarah yang mampu menjawabnya. (SH/rafael sebayang)

Sumber: Sinar Harapan, 21 Juli 2003

Empat Bangunan Tua di Kawasan Kota Direnovasi

Monday, June 23rd, 2003

Jakarta, Kompas - Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ke-476 Kota Jakarta, panitia JakArt@2003 mempunyai agenda merenovasi empat bangunan berusia sekitar dua abad di Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur. Upaya renovasi dilakukan dalam rangka menghidupkan kembali Kota Tua yang “mati” dan seolah terlupakan.

Salah satu bangunan yang saat ini tengah direnovasi adalah bekas kantor Bank Bumi Daya di Jalan Kali Besar Barat. Khusus bangunan ini, panitia JakArt@2003 bekerja sama dengan Standard Chartered Bank dan Bank Mandiri. Tiga bangunan di Jalan Kali Besar Timur adalah Gedung Kota Bawah yang nantinya akan dijadikan arena pergulatan seni dan budaya, juga gedung-gedung yang saat ini masih digunakan untuk kantor.

Renovasi empat bangunan tua tersebut merupakan bagian dari Festival Kali Besar yang telah diselenggarakan sejak tanggal 1 Juni lalu oleh Sukarelawan JakArt.

Tujuan utama renovasi adalah menunjukkan kepada masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI bahwa daerah Kali Besar yang telah dilupakan orang ternyata masih memiliki potensi budaya dan nilai sejarah yang bermakna dalam industri pariwisata.

Menurut Koordinator Arsitektur JakArt@2003 Imron Yusuf, renovasi bangunan tua tersebut meliputi dua bagian, yaitu interior dan eksterior. “Hanya sedikit bangunan tua di kawasan Kota ini yang terawat rapi dan bersih. Kebanyakan semrawut. Kota tua menjadi satu kawasan yang terlupakan,” katanya, Minggu (22/6).

Saat ini, sebagian bangunan di Jalan Kali Besar sedang dicat ulang menggunakan cat nonakrilik yang merupakan campuran kapur, singkong, dan air. “Dulu, karena belum ada semen, bangunan memakai plester. Dengan bahan itu, air bisa bernapas, masuk ke pori-pori dan bisa keluar lagi. Jika menggunakan cat akrilik, air tidak akan bisa bernapas sehingga bangunan mudah rapuh. Ini yang sering kurang dipahami pihak-pihak yang menggunakan bangunan tua di sini. Untuk syuting sinetron, misalnya, para kru sering mengecat sembarangan,” kata Imron.

Standard Chartered

Menurut Chief Executive Officer Standard Chartered Stewart D Hall, bangunan bekas Bank Bumi Daya itu pernah menjadi kantor Standard Chartered hingga tahun 1960-an. “Gedung itu luar biasa, karakternya kuat, dan terletak di kawasan bersejarah pada Oud Batavia. Kawasan Kota ini mempunyai potensi budaya dan sejarah yang kuat untuk dikembangkan. Juga untuk tempat komersial dan perdagangan,” katanya.

Menurut rencana, renovasi bangunan berlantai tiga dengan luas lantai dasarnya mendekati 1.000 meter persegi itu akan selesai sebelum September tahun ini.

Imron Yusuf mengatakan, Gedung Kota Bawah nantinya akan dijadikan pusat budaya dan seni pertunjukan. “Setelah kami renovasi, nantinya gedung itu, kalau bisa, dijadikan tempat untuk pameran, pertunjukan teater dan musik, dan lain- lain sehingga kawasan Kota menjadi hidup,” katanya.

Komite JakArt@2003 Ahmad Djuhara menambahkan, bangunan yang dulu pernah dipakai Standard Chartered adalah contoh sangat baik untuk menggambarkan satu jejak sejarah kota.

Kompas mencatat, gagasan untuk merevitalisasi kawasan Kota seluas 139 hektar di Jakarta Utara dan Jakarta Barat tersebut sudah bergulir lama, yaitu pada tahun 1970-an. Tahun 1972-1974, ketika Jakarta dipimpin Ali Sadikin, beberapa bangunan dipugar, yaitu Museum Sejarah Jakarta, Museum Bahari, Gedung Joang 45, Museum Sumpah Pemuda, dan gedung lain. Namun, pemugaran dan revitalisasi itu kemudian terhenti hingga sekarang. (IVV)

Sumber: Kompas, 23 Juni 2003

Yang Masih Tersisa dari Bangunan Stasiun Semut

Saturday, June 7th, 2003

DENGAN perasaan sangat prihatin dan hanya bisa mengelus dada menyikapi ketamakan manusia yang sudah tidak peduli lagi dengan sejarah masa lalu. Di negara mana pun tempat-tempat bersejarah selalu dipelihara dengan baik, museum menjadi tempat yang ramai dikunjungi.

SANGAT mengherankan apabila kemudian melihat cagar budaya yang usianya lebih dari 100 tahun “digerilya” untuk dijadikan tempat bisnis. Stasiun Semut pasti dikenal setiap orang yang pernah tinggal di Surabaya, sekalipun PT KAI sekarang tidak mampu lagi menghidupkan sebagai tempat bisnis kereta api.

Bahkan kesan kuno dan kusam sangat tampak pada wajah depan dari stasiun yang juga dikenal sebagai Stasiun Surabaya Kota. Berita penjarahan bagian dalam stasiun kuno ini memperlihatkan, betapa tidak pedulinya bangsa ini dengan peninggalan berharga.

Pembongkaran untuk dijadikan ruko adalah alasan yang sangat sederhana, sekadar memenuhi keinginan mendapatkan uang secara cepat. Sekalipun tidak terlihat dari wajah depannya, namun pembongkaran itu hanya menyisakan bongkahan sisa dinding batu yang belum dirobohkan, sejumlah pintu dan kusen berwarna abu-abu kusam di bagian depan dan belakang stasiun.

Pintu serta bingkai jendela di dalam gedung itu sudah raib, atap sejumlah ruangan juga tidak ada lagi. Demikian pula atap peron yang tinggal kerangka besinya. Bahkan gagang pintu sekalipun sudah menghilang. Hanya tertinggal satu buah gagang pintu di salah satu pintu belakang stasiun.

Stasiun Semut yang pernah menjadi salah satu pusat kesibukan di Kota Surabaya dan bagian sejarah panjang perjalanan sebuah Kota Surabaya kini seolah telanjang. Akan jauh lebih berharga kalau stasiun ini dijadikan museum “hidup” untuk memperlihatkan kekayaan masa lalu, sekaligus mempertahankan kereta-kereta lama yang cenderung dijual sebagai besi rongsokan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda cagar Budaya dan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 tidak lagi dihiraukan.

“SAYA sebenarnya sangat eman kalau stasiun ini dibongkar. Ini kan benda cagar budaya dan bangunannya juga bagus dan kuat. Seperti atap seng stasiun yang sudah diambili, saya yakin sampai dengan tiga sampai empat keturunan saya pasti masih akan bertahan,” ujar seorang pria yang bekerja sebagai staf PT Kereta Api Indonesia di tempat tersebut.

Ia mendongakkan kepala ke atas, menantang terik Matahari yang menyiram area bekas peron itu. Mungkin ia juga hanya bisa berkata dalam hati, siapa yang begitu tega melakukan semua ini?

Petugas yang telah 23 tahun bekerja di Stasiun Semut itu tampaknya hanya bisa mengeluh. Apa yang akan dia tunjukkan kepada anak cucunya sebagai bukti pengabdiannya terhadap pekerjaan yang dicintainya itu.

Pria lulusan Sekolah Teknik (sederajat SLTP) itu hanya mengetahui, rencananya pembongkaran dimulai pada 17 Maret, tetapi kemudian diundur hingga awal April. Selama dua-tiga bulan ini pembongkaran dimulai. Dimulai dari bangunan bagian belakang sehingga pekerjaan besar itu tidak terlalu terlihat.

Seng-seng diangkuti, tembok-tembok pemisah dan atap ruangan bagian dalam dihancurkan, kusen dan bingkai pintu dilepas dari dinding bangunan, atap peron pun juga diturunkan. Padahal, kalau pemerintah sekarang disuruh membangun lagi dengan kualitas yang sama rasanya kok tidak akan mampu.

Selain itu pembongkaran tersebut diikuti juga dengan penjarahan oleh sejumlah orang. Seperti dikatakan petugas PT KAI tersebut. Tanpa perlu perintah, marmer-marmer yang menghiasi separuh dinding sepanjang hampir 150 meter di bagian belakang stasiun dicungkili sehingga menampakkan plesteran semennya saja.

Kayu-kayu jati zaman Belanda yang masih sangat berharga ikut dijarah. Gagang pintu antik di pintu-pintu bagian belakang pintu itu juga tak luput jadi korban.

Penjarahan ini juga dibenarkan oleh Dilah (30), perempuan pedagang nasi di dekat lokasi tersebut. “Barang-barang kuno seperti kayu jati dan besinya laku mahal kalau dijual, mbak,” ujar perempuan yang berjualan sejak dua bulan belakangan.

Seperti halnya petugas di stasiun tersebut, ia juga menyesalkan kalau bangunan itu terpaksa dibongkar. “Yang saya tahu, ini bangunan peninggalan Belanda. Gedungnya sebenarnya bagus, tinggal diperbaiki sedikit,” ujar perempuan yang mengaku tidak pernah mengecap bangku sekolah itu.

Padahal di tengah keruntuhannya, stasiun tersebut masih menjalankan sebagian tugasnya. Dikatakan petugas pria di PT KAI itu, setiap hari sekitar 22 kereta datang dan dalam jumlah yang sama berangkat dari jalur rel di stasiun tersebut sebelum menjemput penumpang di stasiun lain.

Kereta api juga masih menurunkan penumpang di stasiun itu sehingga satu-dua orang pekerja pengangkut barang masih berkeliaran di sana.

“Memang kalau membeli karcis atau naik harus ke stasiun lain, meski masih banyak yang turun di sini sampai sekarang. Karena gelap, di waktu malam tak jarang ada penumpang jatuh atau dicopet,” ujar pria itu. Di atas rel-rel Stasiun Semut, aktivitas penyambungan gerbong di tempat itu masih berjalan.

BARANGKALI petugas di stasiun tersebut dan ibu pedagang nasi itu berbicara tentang saksi sejarah sebuah kota dalam bahasa mereka yang sederhana.

Apa yang dituturkan oleh Dukut Imam Widodo dalam bukunya Soerabaia Tempoe Doloe dapat memberikan gambaran betapa Stasiun Semut merupakan bagian tak terpisah dari denyut Kota Surabaya. Menjadi bagian kenangan ketika lokomotif hitam mendengus-dengus dan uap yang menyembur- nyembur dari cerobong menemani perjalanan warga kota saat itu.

Dukut menuliskan, berdasarkan Undang-Undang tertanggal 6 April 1875 Staatsblad No 141 Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membangun jaringan jalur kereta di Jawa dengan biaya dari pemerintah dan diberi nama staats spoorweg (SS).

Pada tahun 1875 dimulailah pembangunan jalur kereta api Surabaya-Pasuruan dan Surabaya-Malang. Stasiun Surabaya Kota yang terletak di kawasan bisnis penting dijadikan pedoman bagi permulaan kedua jalur tersebut.

Spoorstation Semoet atau Stasiun Semut diresmikan oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal JW Van Lasberge tahun 1878, bertepatan dengan dibukanya jalur Surabaya-Pasuruan.

Saat itu jalur Surabaya-Pasuruan dianggap sangat penting lantaran di Umbulan terdapat sumber air yang sangat besar. Pasokan air dari Umbulan ke Surabaya itu diangkut menggunakan kereta api.

Pada masa itu Stasiun Semut merupakan salah satu dari dua stasiun yang terkenal di Kota Surabaya tempo dulu. Lainnya adalah stasiun Pasar Turi.

Stasiun ini merupakan bagian dari jalur selatan yang melayani rute Surabaya-Solo-Yogyakarta, Tasikmalaya, Bandung, dan Jakarta.

Ketika itu jalur Jakarta-Surabaya masih ditempuh dengan perjalanan selama tiga hari. Begitu malam tiba, kereta berhenti dan penumpang menginap di hotel-hotel untuk melanjutkan perjalanannya keesokan harinya. Entah sudah berapa orang yang datang dan pergi dari stasiun tersebut.

Sebenarnya, dituliskan Dukut, Kota Surabaya pada zaman itu dapat disebut sebagai Kota Sepur lantaran memiliki empat stasiun yang besar, yakni Wonokromo, Gubeng, Pasar Turi, dan Semut yang kini semakin tidak jelas nasibnya. Ia menyayangkan Kota Surabaya tidak memiliki Museum Kereta Api. Bahkan, bangunan bersejarah Stasiun Semut kini terancam roboh.

SUGENG Gunadi, anggota Lembaga Pelestarian Arsitektur Surabaya (LePAS?) sekaligus anggota Tim Pertimbangan Pelestarian Cagar Budaya Pemerintah Kota Surabaya, mengatakan, menghancurkan bangunan-bangunan cagar budaya tersebut berarti juga menghancurkan identitas sebuah kota.

“Bahkan, kota-kota besar di Jerman dan Roma yang moderen dalam pembangunannya tidak lantas menggilas bangunan kuno yang mereka miliki. Sehingga jika berkunjung tetap dapat menikmati puing-puing sisa peninggalan Kerajaan Romawi di sana yang hanya berupa pilar-pilar atau serakan puing-puing yang dirawat dengan baik. Demikian juga Malaysia yang merawat bangunan peninggalan masa koloni Inggris di sana dengan sangat baik,” paparnya.

Selain itu, bangunan bersejarah mengandung unsur pendidikan. Ia dapat menjadi laboratorium hidup bagi generasi selanjutnya dalam mempelajari berbagai hal, mulai dari fisik bangunan hingga nilai sejarahnya. Ujungnya, pemeliharaan terhadap bangunan tersebut akan menguntungkan dari segi pariwisata.

Ketua Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra Timoticin Kwanda menambahkan, pengalihfungsian menjadi rumah toko dapat dilakukan melalui adaptasi dengan bangunan lama.

Untuk kasus stasiun kota misalnya, dapat dilakukan adaptasi. Tampak depan atau wajah bangunan tidak diubah, namun bagian dalam dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Penambahan bangunan dapat dilakukan dengan menyesuaikan desain dengan bangunan lama. Hotel Ibis misalnya, dapat menjadi contoh yang baik di Surabaya.

Dalam upaya pembangunan yang ramah terhadap bangunan cagar budaya, dikatakan Timoticin, Surabaya masih tertinggal dibandingkan dengan Jakarta yang juga kaya akan bangunan cagar budaya.

Sebagai contoh adalah adaptasi bangunan cagar budaya galangan kapal Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di Jalan Kakap, Jakarta Utara, menjadi sebuah restoran mewah yang kini ramai dikunjungi.

“Kondisi Galangan VOC saat itu jauh lebih parah daripada Stasiun Semut. Tetapi dengan komitmen dari pengusahanya, itu dapat diwujudkan,” katanya. Bahkan, kini restoran tersebut mempunyai kelasnya tersendiri yang tidak mungkin disaingi oleh restoran mana pun, seperti juga sejarah yang terkandung didalamnya tidak dapat dibeli dengan uang berapa pun.

Untuk sementara, PT KAI memutuskan untuk menunda pembongkaran gudang. Namun, itu belum berarti akan menyelamatkan situs bersejarah tersebut. Butuh beban moral untuk mempertahankan bangunan yang pernah menjadi bagian dari geliat Kota Surabaya tersebut.(Indira Permanasari)

Sumber: Harian Kompas, Sabtu 07 Juni 2003