Theme Park dan Arsitektur Post-Modern

Theme Park dan Arsitektur Post-Modern

Tulisan berikut merupakan Makalah Akhir Semester dengan judul Theme Park dan Arsitektur Post-Modern: Implementasi negatif Theme Park bagi Arsitektur Post-Modern merupakan bagian dari tugas mata kuliah Teori Arsitektur 2 dalam program Pasca Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Indonesia.

Abstrak:
Theme Park yang muncul dalam era post-modernisme memiliki dilema tersendiri. Pada satu sisi menjunjung tinggi semangat post-modern, namun pada sisi lain implementasi dan perkembangannya yang dipengaruhi oleh konsumerisme dan industrialisasi cenderung menjadikan Theme Park sebagai kemunduran arsitektur post-modern.

Pendahuluan

Konsep Theme Park yang diwarnai dan dipengaruhi oleh berbagai aspek dan konsep lain ini sangat menarik untuk diamati. Pengaruh konsep ini juga cukup besar dalam dunia Arsitektur. Membahasnya dalam kerangka Post-Modern memberikan cakrawala tersendiri.

Secara konsep mungkin Theme Park nampak tidak memiliki pertentangan dengan Post-Modern bahkan ada yang mengganggap konsep ini sangat mencerminkan semangat post-modern. Namun di sisi lain, implementasi konsep ini juga banyak mengundang kritik dalam arsitektur Post-Modern. Bahkan lebih jauh konsep Theme Park bisa membawa post-modernisme kepada kematiannya.

Definisi dan perkembangan Theme Park

Istilah Theme Park memiliki arti yang lebih luas daripada sekedar ‘taman bertema’. Michael Sorkin dalam pengantarnya di buku “A Variation on Theme Park: The New American City and the End of Public Space”, memberikan definisi tentang Theme Park sebagai ‘dunia’ atau tempat yang memiliki ciri antara lain tidak terikat pada geografi tertentu, lingkungan yang terkontrol dan teramati, memberikan stimulasi tanpa henti (Sorkin, Michael; 1992;ix).

Dunia hiburan tidak dipungkiri merupakan salah satu faktor pendorong munculnya konsep Theme Park, namun adalah begitu besarnya impian masyarakat akan suatu kondisi dimana ‘dunia’ mereka nampak atau jadi ‘lebih baik’ inilah yang menyebabkan naiknya popularitas konsep ini.

Theme Park yang menampilkan visi kesenangan yang teratur dan terkendali –meski seringkali menggunakan bentuk/wujud artistik yang cenderung menipu atau memperdaya– merupakan suatu ‘pengganti’ kenyataan demokrasi publik dan bahkan menjadi lebih menarik karena orang diberi ‘stimulasi’ dan ‘simulasi’ tentang keadaan yang lebih baik, dimana tidak ada kemiskinan, kecelakaan, kesenjangan sosial, kejahatan, sampah/limbah dan kondisi negatif urban lainnya karena seluruh komponen dalam lingkungan ini dapat dikontrol sesuai kondisi paling ideal yang diharapkan.

Disney dan industri film Hollywood bisa disebut sebagai pemrakarsa munculnya konsep ini. Kerajaan Disney yang terpuruk semenjak kematian Walt Disney, membuat Michael Eisner – pimpinan Disney yang baru - mengeluarkan ide untuk membangun sebuah kawasan terpadu yang terdiri dari taman hiburan, hotel, resort, pusat perbelanjaan dan lainnya. Keberhasilan ide tersebut membuat banyak pihak mencoba mengikutinya dengan resep yang kurang lebih sama. Beberapa bahkan bereksperimen lebih jauh dengan mengintegrasikan juga area kerja mereka seperti studio, setting lokasi pengambilan gambar, kondisi pengambilan gambar yang sebenarnya, ke dalam kawasan terpadu tersebut sehingga menghasilkan variasi dan mixed-use yang begitu menarik dan ‘hidup’.

Penerapan konsep Theme Park tidaklah terbatas pada desain taman hiburan atau rekreasi (Amusement Park) saja, namun juga dipakai dalam perkembangan kota. Dengan diterapkannya konsep ini pada pusat-pusat kota (downtown) lama, diharapkan mampu mengatasi hilangnya koneksi antar unsur-unsur kota (bangunan dan ruang kota) akibat pengaturan kota yang hanya berdasarkan fungsi saja dan menghidupkan kembali aktivitas dan peranannya.

Theme Park dan Post-Modernisme

Istilah post-modernism –direkomendasikan penggunaannya oleh The British Independent pada 1992– berarti ‘apa pun yang kita pikirkan tentang masa sekarang’. Sedangkan jika ditinjau dari segi semantiknya, sejak kata ‘modern’ yang berasal dari Latin modo berarti ‘sekarang’ (just now), maka ‘post-modern’ jelas berarti ‘sesudah’ sekarang (after just now), atau sesuatu yang diatas, melebihi, melewati, diluar masa sekarang.

Serangan terhadap kata ‘sekarang’ ini dinilai Charles Jencks karena dimotivasi oleh ide untuk hidup melampaui waktu baik dalam kontinuitas sejarah maupun budaya yang membentang ke masa depan. Kata ‘post’ juga berhubungan dengan kata ‘posterity’ yang berarti keinginan untuk hidup melewati/melampaui batas wilayah budaya dan waktu.

Lebih lanjut menurut Charles Jencks, Post-Modern merupakan kelanjutan dari Modern dan masa-masa sebelumnya. Post-modernisme bukanlah anti modernisme, tidak seperti yang diungkapkan oleh Jurgen Habermas dan Jean-Francois Lyotard bahwa post-modern menolak ‘pencerahan’ (enlightment project), tetapi tetap mendukung emansipasi sosial kemanusiaan, meningkatkan kebebasan dan hak asasi (universal rights), yang justru ditentang adalah kenyataan bahwa hak asasi seringkali hanya dimiliki oleh kaum elite atau minoritas tertentu.

Dalam sejarah perkembangan dunia, perkembangan post-modern ini dibentuk oleh banyak aspek seperti politik, pergerakan sosial atau ekonomi dan lainnya, dibanding periode sejarah sebelumnya. Efeknya juga bisa dirasakan dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah dalam konsep liberalisme. Jika Liberalisme Modern berjuang untuk hak asasi dimana sebagian negara maju telah nikmati, Liberalisme Post-modern mengangkat agenda multiculturism, dan pengakuan terhadap hak kaum minoritas tanpa menghilangkan hak kaum minoritas lainnya. Memang logika pemikiran liberalisme modern dan post-modern bisa dinilai cukup berbeda bahkan menimbulkan konflik namun itu bukan berarti membuat mereka invalid satu terhadap yang lain. Keduanya tetap diperlukan dalam membentuk konsep hukum sosial dalam masyarakat.

Dari sejarah perkembangan post-modern, terdapat dua kondisi dasar perkembangan yang terjadi, reactionary post-modernism (reaksioner post-modernisme) dan consumer post-modernism (konsumer postmodernisme) – Margaret Rose, The Post-Modern and the Post-Industrial: A Critical Analysis, 1991

Dalam bidang arsitektur, motivasi utama munculnya arsitektur post-modern sangat jelas adalah akibat dari kegagalan sosial arsitektur modern. Kematian arsitektur modern dan ideologinya disebabkan karena menawarkan/menerapkan solusi teknikal pada masalah-masalah sosial.

Semangat Post-Modern dalam Theme Park

Keinginan untuk hidup melampaui batas budaya, tempat dan waktu telah membawa pada kombinasi yang tak terbatas, yang merupakan prinsip dasar Theme Park, menggambarkan adanya suatu pengakuan terhadap perbedaan dan keberanekaagaman atau pluralitas. Pengakuan budaya lain, konteks tempat lain, arsitektur lain, dan menempatkannya dalam suatu tatanan yang sama juga bisa diterjemahkan sebagai interpretasi liberalisme yang ingin dicapai post-modern.

Keberhasilan Theme Park menciptakan lingkungan yang terkontrol sehingga menghilangkan batas dan perbedaan antara kaum minoritas dan mayoritas merupakan jawaban atas hegemoni modernisme yang dipertanyakan pada awal munculnya gerakan post-modernisme.

Karena dalam semangat demokrasinya, modernisme telah menjadi sesuatu yang elite dan exclusive, sementara pada saat yang bersamaan, arsitek, seperti halnya kaum profesional lain dalam perkembangan peradaban, harus terus mengejar perkembangan yang begitu cepat. Akibatnya mereka terjebak antara lingkungan masyarakat dalam arti luas dan disiplin ilmu yang sangat terspesialisasi. Satu-satunya jalan keluar adalah sebuah radikal schizophrenia: menjadi terlatih untuk melihat ke arah yang berlawanan secara bersamaan. Solusi inilah yang disebut oleh Charles Jencks sebagai post-modern: arsitektur yang profesional dan popular sekaligus berdasarkan pada teknik baru dan pola (pattern) lama, salah satu formula yang banyak dipakai dalam Theme Park.

Implementasi negatif Theme Park dan efeknya bagi post-modern

Sebuah dilema yang dihadapi oleh Theme Park, seperti yang diungkapkan oleh Charles Jencks dalam bukunya “ The New Paradigm in Architecture ” adalah apakah benar dan cukup beralasankah dalam dunia demokrasi yang pluralistik ini untuk mengutip arsitektur lain dan jika ini dibenarkan, apakah ‘kutipan’ tersebut harus bersifat terus terang, mengecilkan arti atau malah menyembunyikan arti sebenarnya?. Karena salah satu masalah yang dihadapi oleh arsitektur modern adalah tuntutan yang tinggi akan originalitas yang sering dihantui oleh plagarisme.

Duplikasi mentah-mentah ide Theme Park yang sama pada berbagai lokasi yang berbeda sebagai akibat dari kemajuan industri dan akibat dorongan konsumerisme memang akhirnya bisa menjadi pisau bermata dua bagi Theme Park. Suatu hal yang bertentangan dengan asas konteltualisme post-modern dan justru mengakibatkan keanekaragaman yang monoton.

Kritik Charles Jencks bahwa Theme Park bisa menjadi ‘ciuman kematian’ bagi post-modernisme nampaknya cukup beralasan. Memang dalam perkembangannya tidak sedikit ditemui implemantasi Theme Park yang negatif. Kritiknya yang dibuat berdasarkan pada pengamatannya terhadap karya Michael Graves bagi Disney seperti Swan hotel dan Dolphin Hotel di Disney Florida memang cukup beralasan. Patung angsa setinggi 46 kaki sebenarnya bisa diolah lebih dari sekedar bentuk patung artistik seekor angsa. Padahal jika struktur patung angsa tersebut diekspos, bisa memberikan fungsi lain bagi angsa tersebut lebih dari sekedar sebagai ikon atau tanda (sign) semata, menjadi simbol, seperti yang dilakukan pada patung lady liberty.

Implementasi seperti itu memang sering kita temui, bentuk-bentuk eksterior yang hanya bersifat sebagai ‘pemanis’ semata tanpa ada korelasi dengan interior. Simulasi visual yang timpang dan stimulasi satu sisi. Tema diterjemahkan, peniruan bentuk yang naif dan mentah-mentah juga merupakan implementasi yang negatif dari Theme Park.

Kesimpulan

Kecurigaan kritis arsitektur terhadap Theme Park sebagai pertanda kematian arsitektur post-modern nampaknya tidak sepenuhnya benar karena secara konsep, Theme Park menyajikan ciri-ciri yang kuat post-modernisme. Efek negatifnya bagi perkembangan post-modern adalah implementasi konsep ini yang setengah-setengah serta ancaman kemajuan industrialisasi yang cenderung menciptakan budaya ‘masal’.

Dalam implementasinya, Theme Park harus tetap mencerminkan pluralitas dan originalitas pada waktu yang bersamaan.. Mengintegrasikan konstruksi, ornamen, furnitur, penanda dan seni dalam suatu tema membutuhkan totalitas seni dan arsitektur.

-------- oleh: Stevanus J Manahampi ----

Bibliografi
Cerver, Fransisco Asensio (1997); Theme and Amusement Park. New York: Hearst Books International.
Jencks, Charles (2002); The New Paradigm in Architecture: The New Language of Post-Modern Architecture. New Haven: Yale University Press
Jencks, Charles; What is Post-Modernism?.
Sorkin, Michael (1992); A Variation on Theme Park: The New American City and the End of Public Space. New York: Hill and